Pernikahan saat ini seringkali kita artikan sebagai sebuah proses sakral bersatunya dua individu. Namun berdasarkan sejarahnya pernikahan berawal dari sebuah kebutuhan kelompok untuk beraliansi antar keluarga demi keuntungan. Seiring dengan adanya pengaruh dari sosial, budaya, ekonomi bahkan politik, menikah justru menjadi sebuah keharusan yang mutlak.
Bahkan dibeberapa ajaran, pernikahan adalah sebuah kebutuhan dasar manusia. Hal ini memengaruhi bagaimana stigma masyarakat terbentuk dalam memandang kegiatan pernikahan itu sendiri, termasuk di Indonesia. Dengan mayoritas masyarakat yang dipengaruhi kultur Islam, Indonesia menilai pernikahan sebagai sebuah keharusan jika telah sampai pada usia yang ditentukan. Selain karena pernikahan dianggap bernilai ibadah seumur hidup, pun sebagai tanda bahwa seseorang telah dewasa.
Sejalan dengan itu terciptalah label terhadap seseorang yang lambat atau tidak menikah. Mereka dianggap tidak serius, main-main atau tidak bertangung jawab sebagai individu karena mengabaikan salah satu kebutuhan dasar manusia. Hal tersebut kemudian mendorong masyarakat yang dianggap cukup usia untuk segera menikah, meski dalam keadaan yang tidak siap sekalipun. Ketidaksiapan yang dimaksud adalah secara psikologis maupun ekonomi. Ketidaksiapan ini kemudian mengakibatkan sebuah perceraian.
Angka perceraian di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan melonjak ketika dilanda pandemi. Pengajuan perceraian bisa dilakukan oleh pihak laki-laki ataupun perempuan. Menariknya, meskipun dalam kultur agama yang cukup kuat di mana masih tabu jika seorang perempuan menggugat cerai suaminya, angka cerai-gugat justru lebih banyak dari cerai-talak.
Ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, permasalahan ekonomi. Ekonomi menjadi trend alasan tertinggi dalam kasus perceraian. Sebagian besar perempuan atau pihak istri sudah tidak bisa lagi menoleransi kurangnya kebutuhan rumah tangga dikarenakan suaminya yang pengangguran, tidak punya pekerjaan tetap, atau berpenghasilan sangat kecil.
Mau tidak mau perempuan lah yang banting-tulang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ini menyebabkan beban ganda yang dialami oleh perempuan sebagai pencari nafkah dan pengurus rumah tangga. Ditambah situasi pandemi yang membuat perekonomian semakin sulit.
Kedua, permasalahan tanggung jawab dan kondisi psikologis. Membangun rumah tangga membutuhkan tanggung jawab yang cukup besar. Tidak hanya suami kepada istri, tapi juga sebaliknya. Komitmen dan kepercayaan haruslah menjadi landasan kuat untuk terus mempertahankan rumah tangga atau pernikahan.
Pada kasus perceraian, komitmen juga termasuk masalah yang utama. Adanya perselingkuhan, pengkhianatan, ditinggal begitu saja tanpa kejelasan atau masalah emotion control hingga terjadinya KDRT.
Belum lagi dalam kasus kawin paksa atau perjodohan, di mana calon pengantin belum saling mengenal sifat atau pemikiran satu sama lain. Sehingga bisa menimbulkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga, pun sebagai penyumbang angka perceraian tinggi di Indonesia.
Ketiga, permasalahan keluarga. Adanya campur tangan pihak lain dalam rumah tangga bisa membuat pasangan suami-istri kesulitan dalam memecehkan persoalan mereka. Misal, ketika suami dihukum dalam waktu yang cukup lama, pihak istri  melakukan gugatan perceraian.
Cerai Gugat dalam Kacamata Feminisme
Dalam kacamata feminisme, fenomena cerai-gugat bisa jadi sebuah pertanda bahwa perempuan berada di posisi korban. Keputusan cerai-gugat sebagian besar disebabkan penelantaran ekonomi, kekerasan psikologi maupun fisik yang dialami oleh perempuan.
Semakin maraknya pelaporan cerai-gugat dengan sebab di atas sebenarnya adalah hal yang sudah cukup maju bagi kaum perempuan ketimbang kaum perempuan yang jauh sebelum ini.
Mungkin, ini juga dikarenakan adanya teknologi sehingga akses informasi mudah didapat. Pun pengetahuan dan pengalaman perempuan bertambah karena memiliki kesempatan belajar dan bekerja pada level yang sama dengan laki-laki, sehingga perempuan semakin mandiri.
Simpulannya adalah kasus cerai-gugat yang angkanya semakin tinggi menandakan bahwa posisi perempuan dalam rumah tangga tidak selalu menguntungkan. Terlebih dalam sistem patriarki yang masih diterapkan oleh masyarakat kita, dimana tidak hanya merugikan bagi kaum perempuan tetapi juga bagi laki-laki yang harus bertanggung jawab atas segalanya. Padahal banyak yang tidak mampu.
Untuk menekan angka perceraian, maka baiknya menghilangkan kesenjangan yang ada antara laki-laki dan perempuan (suami/istri). Hingga tercipta keterbukaan dan kerja sama yang baik serta diikuti oleh tanggung jawab serta komitmen.