Pertengahan Juni 2022 di Jakarta, kasus catcalling dilakukan oleh enam anggota TNI kepada RF dan temannya. Kedua perempuan tersebut dilecehkan secara verbal dan aktifitas mereka direkam dengan sengaja. RF memberanikan diri untuk melapor dan berujung dengan permintaan maaf dari keenam anggota TNI tersebut. RF berupaya menyampaikan pesan kepada semua perempuan untuk berani melapor agar memutus rantai pelecehan terhadap perempuan.
Awal Oktober 2022 di Spanyol, asrama mahasiswa perempuan kampus Santa Monica diserang perilaku catcalling dari asrama mahasiswa laki-laki kampus Elias Ahuja. Perilaku catcalling tersebut merupakan bentuk pelecehan berbasis gender terutama perempuan yang kemudian memunculkan banyak kritik dan kecaman dari berbagai pihak. Investigasi internal kampus dilakukan dan hasilnya mahasiswa yang terlibat dikeluarkan dari asrama dan diwajibkan mengikuti kelas kesetaraan gender.
Dua contoh di atas menunjukkan bahwa perilaku catcalling masih kerap terjadi di banyak negara. Perilaku catcalling pun menjadi persoalan sosial karena dapat dilakukan oleh siapa saja dan terjadi di mana saja. Catcalling seringkali dinormalisasi di masyarakat sebagai candaan atau hanya sekedar ucapan biasa. Dampaknya catcalling menjadi sulit dipersoalkan meskipun hal tersebut merupakan bentuk pelecehan seksual.
Ucapan kalimat seperti “kerudungnya cantik bener, kayak orangnya”, “neng kalau senyum manis deh” atau “mau kemana dek, abang antar yuk” dan masih banyak kalimat melecehkan yang diucapkan dari pelaku. Korban seringkali berupaya untuk mengacuhkan karena membuat tidak nyaman dan takut ketika bepergian, namun sering dijumpai pelaku tidak berhenti. Sebaliknya, perilaku tersebut dilakukan kepada perempuan-perempuan lainnya sebagai bahan objek seksualitas dan lelucon.
Secara umum catcalling merupakan pelecehan seksual yang muncul dalam bentuk tindakan di ruang publik seperti siulan atau kalimat verbal yang mengarah pada indikasi menghina, merendahkan, berkomentar negatif dan menjadikan atribut perempuan sebagai objek serta orientasi seksualitas secara visual.
Hasil Survei Pelecehan di Ruang Publik tahun 2019 menunjukkan bahwa pelecehan seksual di ruang publik dialami perempuan sebanyak 64% dari 38.776 sedangkan laki-laki sebanyak 11% dari 33.403 dan sebanyak 69% dari 45 dialami gender lainnya. Bentuk pelecehan yang sering dialami berupa verbal (komentar atas tubuh, siulan, dan lainnya), fisik (dihadang, disentuh, dikuntit, difoto), serta visual seperti bermain mata, gestur vulgar dan sebagainya.
Perempuan juga memiliki kecenderungan 13 kali lebih banyak mengalami pelecehan seksual. Berbagai bentuk pelecehan seksual tersebut berdampak terhadap psikologis dan emosi korban, seperti tidak nyaman, waspada, merasa tidak aman, terbatasnya ruang gerak, menjadi trauma, takut, dan lainnya.
Pelanggengan Budaya Catcalling
Budaya catcalling menjadi salah satu budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Banyak dari masyarakat yang masih menganggap perilaku catcalling sebagai pujian atau sesuatu yang normal karena hanya berupa candaan. Namun budaya merendahkan dan melecehkan secara fisik seperti ini kemudian memunculkan bentuk penguasaan laki-laki terhadap tubuh perempuan.
Perempuan dianggap sebagai objek yang dianggap layak untuk diperlakukan lebih rendah sehingga mudah dijadikan bahan lelucon dan dilecehkan. Timpangnya relasi juga menjadi pelanggengan perilaku pelecehan yang seringkali berujung pada kekerasan terhadap perempuan. Ini tergambar ketika perempuan sebagai korban berupaya melawan dan melaporkan pelaku namun catcalling masih marak terjadi.
Pelaku tidak berhenti dan mengganggap bahwa upaya yang dilakukan perempuan sebagai pembangkangan dan persaingan posisi. Ini kemudian berdampak pada upaya penundukkan dari laki-laki terhadap perempuan agar terlihat jantan yang teraplikasi dalam bentuk kekerasan.
Fenomena catcalling juga menjadi hal yang masih sulit untuk dikasuskan karena pewajaran di masyarakat patriarki. Bahkan seringkali perempuan yang disalahkan karena dianggap mengumbar atau dengan sengaja memancing perilaku catcalling dari laki-laki dan tidak mengikuti norma yang berlaku. Selain itu, perempuan dianggap melebih-lebihkan karena catcalling dianggap persoalan kecil dan biasa.
Sulitnya untuk memutus perilaku catcalling juga dikarenakan minimnya korban yang melaporkan apa yang dialami. Kalaupun pelaporan terjadi, korban seringkali disuguhkan dengan upaya damai dan permohonan maaf dari pelaku. Dengan demikian, pelaku bebas dari jerat hukum pidana dan perilaku melecehkan cenderung berulang.
Penting untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat terkait kesetaraan gender. Sebab kenyamanan dan keamanan dalam beraktifitas di lingkungan masyarakat menjadi hak dasar bagi semua orang. Disamping itu, kesadaran masyarakat terutama perempuan untuk melaporkan peristiwa pelecehan dan kekerasan dalam bentuk apapun dalam rangka menghentikan rantai kekerasan. Sebab perempuan berhak atas hidup aman, dihargai, setara dan diperlakukan adil.