Pernahkah kamu bertanya di mana orang tuamu atau kakek nenekmu pada September 1965? Pasti banyak yang bilang bahwa masa-masa itu adalah masa yang sangat mencekam. Setiap orang saling mencurigai gelagat orang yang disekitarnya, terutama jika ia adalah orang yang memiliki jabatantinggi serta dikenal banyak orang.
Setiap malam rumah-rumah akan mematikan lampunya karena siapapun yang menyalakan lampu, akan dicurigai sebagai musuh negara yang sedang berkomplot membuat rencana. Setidaknya itulah yang diceritakan ibu saya yang masih beruntung karena memiliki orang tua yang utuh. Namun tidak dengan Utji Kowati.
Pada tahun 1965, saat usianya masih 13 tahun, Utji melihat orangtuanya didatangi oleh militer setempat. Bapaknya adalah seorang Bupati yang dipilih oleh salah satu partai saat itu, sedangkan ibunya sebelum bapaknya menjadi Bupati ,adalah anggota Gerakan Wanita Indonesia yang merupakan ketua cabang. Namun, setelah bapaknya menjabat sebagai Bupati Cilacap, ibunya menjadi Ketua GOW (Gabungan Organisasi Wanita) yang beranggotakan berbagai macam organisasi perempuan saat itu. Seperti Wanita Demokrat, Gerwani, Wanita Katholik, PWKI, Aisyah, Wanita NU dan lainnya.
Semasa kecilnya, ia melihat sendiri ibunya, Hartati dan teman-teman dari anggota Gerwani membangun Taman Kanak-kanak Melati. Hartati dan teman-temannya juga membangun Koperasi Wanita serta mengadvokasi untuk Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Jika siangnya gedung yang dipakai untuk TK Melati digunakan anak-anak, maka di sore hari digunakan untuk kegiatan PBH.
Tak hanya PBH, mereka juga memberdayakan perempuan untuk mengurus lahan di rumah mereka. Mereka membangun “Gerakan Seribu Satu” yaitu gerakan mengurus pekarangan/ kebun di lingkungan rumah. Mereka menanam tanaman yang bisa digunakan untuk obat-obatan, serta sayur-sayuran untuk memperkuat ketahanan pangan keluarga. Lingkungan rumah bukan hanya asri tapi bermanfaat untuk kebutuhan keluarga.
Namun sejak bulan November 1965 Utji bersama kedua saudaranya terpaksa berpisah dengan orangtuanya. Ia tinggal bersama neneknya yang sudah sepuh di sebuah desa kecil di dekat Cilacap. Sedangkan orangtuanya di tahan di penjara yang berbeda. Ibunya ditahan di Penjara Wanita Bulu, Semarang dan bapaknya berpindah-pindah, dari penjara Mlaten Semarang, Ambarawa, penjara Wirogunan Yogya lalu Cilacap dan terakhir di penjara Permisan Nusa Kambangan Cilacap.
Demi bertahan hidup, Utji bersama neneknya memutuskan untuk menjual perabotan orangtuanya dari rumah sebelumnya saat ayahnya masih menjabat sebagai Bupati. Satu demi satu ia menjual barang-barang milik orangtuanya agar bisa membangun warung kecil. Namun penghasilan dari warung saja tidak cukup.
Terpaksa Utji harus mulai menemukan cara untuk menghasilkan uang. Lambat laun ia mulai membuka jasa jahit walaupun ia tidak tahu cara bagaimana membuat pola. Sedangkan neneknya membantu dengan memberikan layanan jasa pijat bayi. Utji terpaksa berhenti sekolah karena harus membantu perekonomian keluarga, serta mengurus kedua adiknya agar juga bisa sekolah.
Semasa remajanya, ia selalu dikelilingi rasa ketakutan. Orang-orang di sekitar rumahnya mencurigai dirinya sebagai anak tahanan politik. Bahkan setiap malam hari, Utji beserta nenek dan adik-adiknya saling berpelukkan lantaran takut dengan bunyi dentuman sepatu lars atau sepatu tentara yang mengelilinginya tiap malam.
Karena mereka dicurigai otomatis orang-orang di kampungnya sering meronda di sekitar rumahnya dan ini membuat keluarga Utji ketakutan karena sebelumnya rumah neneknya sempat dirusak massa sehingga tidak ada barang yang tersisa. Utji, neneknya dan adik-adiknya tidur di bawah sambil berpelukkan ketika ada orang-orang datang untuk meronda rumahnya.
“Mbah menyuruh kami diam dan memperkuat diri setiap ada yang menghina kami sebagai anak tahanan politik,” ucap Utji. Ia bersama adik-adiknya mampu melewati masa kelam itu, namun bukan berarti traumanya menghilang. Hingga hari ini di usia tuanya, Utji masih trauma dengan suara sepatu lars karena mengingatnya kembali ke masa-masa yang mencekam.
Selama ibunya dipenjara, Utji hanya sempat sekali menjenguk ibunya. Untuk menjenguknya ia harus meminta ijin dari Tim Pemeriksa Daerah dan ijin ini sulit sekali untuk didapatkan. Alhasil Utji hanya bisa mengirim surat melalui teman ibunya, serta menerima barang-barang hasil kreasi ibunya dari dalam penjara, seperti taplak meja tamu yang disulam bunga bunga indah, bando/ bandana yang terbuat dari rajutan benang dan juga emping jagung jatah makan di penjara. Ini bisa sisa tidak dimakan karena ada nasi kiriman dari keluarga.
Pada tahun 1973, Hartati kemudian bebas dari tahanan namun tetap harus melapor ke Polsek dan Koramil. Ia pun bersama anak-anaknya harus bertahan ditengah keadaan yang memiskinkan mereka. Sebelum ditahan, Hartati adalah seorang bidan. Namun sejak ia keluar, ijin praktiknya sudah kadaluarsa namun ia tetap membantu persalinan orang-orang di sekitar rumahnya untuk mencari penghasilan tambahan. Hanya saja ia ditegur oleh Puskesmas setempat karena ia tidak memiliki ijin praktik, namun puskesmas menyarankan Hartati untuk ikut kursus dan mendapatkan sertifikat dukun beranak.
Walau harus turun profesi, Hartati tidak mempermasalahkan statusnya. Ia tetap bekerja membantu perempuan untuk melahirkan anaknya.
Melihat Utji yang putus sekolah, Hartati menyuruhnya untuk kembali meneruskan pendidikannya. Ia menyarankan untuk ikut kursus bahasa Inggris dan kursus jahit di Semarang. Perjuangannya untuk meraih pendidikan tidak sampai disitu. Utji kemudian merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai penjahit. Sedangkan waktu malamnya digunakan untuk mengambil sekolah malam SMA.
Walaupun setelah lulus SMA, Utji sempat berhenti lantaran menikah dan memiliki anak, namun ia tetap meneruskan pendidikan. Ia meneruskan kuliahnya di Sekolah Tinggi Publisistik yang sekarang dikenal dengan IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta) dengan jurusan Jurnalistik. Saat itu ia berhasil meraih gelar Doktoranda.
Ayah dari Utji pun juga dibebaskan dari Nusa Kambangan pada tahun 1980 di usia 56 tahun. Bahkan neneknya pun ikut menunggu hingga menantunya dibebaskan. Dua tahun setelah menantunya bebas, neneknya meninggal. Sedangkan ayahnya karena tidak bisa bekerja, ia hanya membantu istrinya bekerja. Lima tahun setelah bebas, ia meninggal.
Hartati kemudian hidup cukup lama. Untuk menyambung hidupnya ia juga berjualan nasi rames, bubur, hingga pecel. Ia sudah berjualan dari jam 6.30 pagi hingga makan siang. Pada tahun 1994 ia berhenti menjadi dukun anak. Ia kembali aktif di gerejanya dan menghabiskan waktunya untuk mengunjungi anak-anaknya.
Hartati beserta Utji juga menampung Sukarti, adik dari ayah Utji yang juga ditahan lantaran semasa kuliahnya bergabung dengan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia. Saat ditahan, ia disiksa dan disterum. Namun setelah keluar dari tahanan, ia melanjutkan hidupnya dan tinggal di Jakarta bersama teman-temannya untuk mencari pekerjaan. Ia kemudian membangun les bimbel bersama teman-temannya.
Sukarti bergabung dengan kelompok jemaat gereja yang membantunya mencari pekerjaan. Melalui perseketuan doa di dalam gereja, ia juga mengenalkan Utji dengan tahanan politik lainnya beserta keluarganya. Persekutuan doa menjadi tempat aman untuk para tahanan politik dan keluarganya berbagi. Perjumpaan dengan keluarga tapol inilah yang menjadi cikal bakal awal dari Paduan Suara Dialita. Sukarti juga memperkenalkan Utji dengan Muji yang pernah satu penjara dengan Sukarti. Muji juga bergabung dan membantu mengumpulkan lagu-lagu yang lahir dari balik penjara.
Hartati kemudian meninggal pada tahun 2001. Kemudian disusul dengan Sukarti yang meninggal pada tahun 2009. Hingga hari ini keluarga dari korban tragedi 1965 masih ada.
Kisah Utji adalah satu dari sekian banyak kisah dari anak-anak yang terlantar dan dimiskinkan secara struktural akibat orangtuanya ditahan oleh negara. Masa kecilnya terenggut, bahkan haknya untuk meraih pendidikan dihilangkan dan masa depannya sempat terasa tak pasti dan suram.
Mereka menjalani hari-hari dengan penuh stigma dan caci makian. Apa yang terjadi dengan Utji dan anak-anak dari tahanan politik lainnya dapat terjadi pada kita, terutama perempuan. Jika di masa itu perempuan yang aktif membangun desanya ditahan, lantas apa yang bisa dilakukan negara jika kita aktif membangun negara dan memperjuangkan