Amanat Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Harus Ditegakan

Pengejewantahan dunia kerja yang setara dan adil bagi setiap orang, termasuk penyandang disabilitas, adalah tanggung jawab  konsitusional negara. Perlakuan dan kemudahan khusus sebagai bagian dari kebijakan afirmasi penting untuk dipenuhi. Kendati sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, implementasinya masih menjadi jejak buruk negara yang harus dibenahi.

Undang-undang ini menjamin hak penyandang disabilitas untuk mendapat pekerjaan layak, pendidikan, layanan kesehatan, hak politik, keagamaan, hak keolahragaan, hingga hak kebudayaan dan pariwisata dengan bebas dari diskriminasi. Undang-undang ini juga menjamin pelaksanaan dan pemenuhan hak asasi manusia penyandang disabilitas secara penuh dan setara.

Terdapat tiga poin dalam UU ini yang mengatur soal ketenagakerjaan, yakni kebijakan kuota minimum, kebijakan peningkatan keterampilan kerja, dan pembentukan unit kerja layanan konsultasi bagi pemberi kerja sebagai upaya mendorong perluasan kesempatan kerja penyandang disabilitas. Tetapi dalam kenyataannya, masih terjadi kesenjangan yang tajam di dunia kerja antara penyandang disabilitas dengan non-disabilitas, baik laki-laki maupun perempuan.

Perbandingan antara disabilitas yang bekerja dengan non-disabilitas yang bekerja masih sangat tinggi, yakni 1 banding 1.000. Pada 2021, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi pekerja disabilitas menunjukkan presentase penurunan dari 6 persen ke 5,37 persen. Pada 2022, BPS mencatat hanya ada 7,6 juta disabilitas yang bekerja dari sekitar 17 juta penyandang disabilitas yang masuk usia produktif. Data ini juga belum menggambarkan keadaan sebenarnya mengenai keterlibatan disabilitas di dunia kerja karena tidak tersedianya data yang mampu mencatat seluruh penyandang disabilitas di Indonesia.

Hak penyandang disabilitas juga dijamin melalui UU Ketenagakerjaan, UU tentang Layanan Publik, UU tentang Hak Asasi Manusia, UU tentang Pencegahan Kekerasan di Rumah Tangga, dan sejumlah konvensi internasional yang telah diratifikasi pemerintah.

Selain itu juga ada PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan, PP No. 43 Tahun 1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas, dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) yang sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Kendati demikian, implementasinya juga masih jauh dari harapan.

Selain mengenai angka keterlibatan kerja, kondisi kelayakan pekerja disabilitas yang masih rentan juga harus menjadi sorotan, terutama buruh perempuan disabilitas. Pada penelitian “Pelecehan Seksual dan Pengabaian Hak Maternitas pada Buruh Garmen: Kajian Kekerasan Berbasis Gender di KBN Cakung” yang dirilis oleh Perempuan Mahardhika pada 2017, buruh perempuan disabilitas fisik yang hamil kerap kali mendapat perlakuan diskriminasi dari atasan, tidak ditempatkan di line khusus ibu hamil seperti buruh perempuan hamil lainnya, dibatasi untuk membuang air kecil karena dianggap memperlambat target produksi, dan dibuat tidak nyaman oleh supervisor. Buruh perempuan disabilitas fisik juga mengungkapkan beberapa dari mereka tidak mendapatkan meja dan kursi di pabrik yang disesuaikan dengan kondisinya.

Pembicara dan moderator diskusi

Dalam diskusi publik yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika dengan tema “Peran Multi-Stakeholder dalam Mewujudkan Dunia Kerja yang Inklusif Bagi Perempuan Disabilitas” pada 13 September 2022 lalu, diskusi ini melihat minimnya perlindungan atas terjaminnya hak-hak disabilitas dalam isu ketenagakerjaan, khususnya untuk perempuan. Upaya mewujudkan dunia kerja yang ramah, aman dan inklusif untuk buruh perempuan disabilitas membutuhkan komitmen dan sinergi dari beragam stakeholder. Untuk itu, Perempuan Mahardhika mengundang Koordinator Bidang Peraturan dan Kerja Sama Ditjen PHI dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Agahata Widia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Susanto, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Rina Prasarani, dan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Maharetta Maha.

Diskusi dihadiri sekitar 100 orang

Diskusi publik yang melibatkan multi-stakeholder ini diharapkan menjadi kunci agar kondisi pekerja perempuan disabilitas mendapat perhatian bersama dan tidak ditangani secara sektoral. Diskusi ini  dihadiri 100 peserta dari berbagai elemen masyarakat, seperti penyandang disabilitas, mahasiswa, serikat buruh, komunitas lintas agama, ragam gender, advokat, dan lain-lain. Iklim diskusi dibuat interaktif dengan dipandu langsung oleh Luviana, pemimpin redaksi Konde.co.

Maharetta melihat bahwa diskriminasi terhadap penyandang disabilitas masih terjadi di perusahaan-perusahaan sektor negeri (BUMN) ataupun swasta. Ia kerap menemukan perusahaan atau lembaga pemberi lowongan pekerjaan yang hanya menerima ragam disabilitas tertentu, belum lagi syarat lain yang juga sulit.

“Misal mau menerima tuna daksa, tapi ada syarat tuna daksa tanpa tongkat atau kursi roda. Atau persyaratan bisa baca huruf latin, padahal braile juga huruf latin,” jelasnya.

Ia juga menceritakan pengalamannya gagal kerja di PT Telkom. Padahal, ia sudah melalui serangkaian tes dengan percaya diri hingga sudah mengundurkan diri di pekerjaan sebelumnya. Namun, ia justru dipanggil oleh perusahaan outsourcing afiliasi Telkom, tanpa sepengetahuannya terlebih dahulu dan tidak tertulis dalam kesepakatan kerja sejak awal.

Walaupun begitu, Maharetta merasa pengalamannya lebih beruntung jika dibandingkan  dengan pengalaman pekerja disabilitas lain yang terpaksa menerima pekerjaan dengan perlakuan diskriminatif dan tidak adanya akomodasi yang wajar untuk memenuhi fungsi pekerjaan itu sendiri.

“Bagaimanapun, memang ada teman-teman disabilitas yang tidak punya pilihan. Daripada tidak bekerja, mereka merasa lebih baik begitu, bahkan jika ditempatkan di tempat yang tidak seharusnya,” tukasnya.

Selain itu, jargon dunia kerja yang inklusif terasa sebagai formalitas belaka, termasuk soal aturan pemenuhan kuota tenaga kerja. Bukan tanpa sebab, Maharetta mengatakan, ia tidak melihat ada teman di komunitasnya yang diterima kerja oleh perusahaan. Kenyataan ini bertentangan dengan Pasal 53 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahwa aturan kuota tenaga kerja pada lembaga pemerintahan dan BUMN/BUMD sebesar 2%, dan sektor swasta 1%.

Ia menegaskan hal ini harus dibenahi, dimulai dari pembentukan perspektif yang inklusif. Sehingga, akan berbuntut pada pemenuhan akomodasi yang wajar (reasonable accommodation) bagi penyandang disabilitas. Selain itu, jumlah komposisi tenaga kerja juga harus seimbang.

Maharetta menegaskan, harus ada perubahan di level paradigma berpikir bahwa pemenuhan hak disabilitas adalah pemenuhan hak asasi manusia yang wajar dipenuhi. Ini untuk menghindari perspektif diskriminatif dan miskonsepsi yang menyulitkan penyandang disabilitas.

“Padahal dengan menyediakan reasonable accommodation di lingkungan kerja, ini akan membuat teman-teman disabilitas juga bisa produktif,” kata Maharetta.

International Labour Organization (ILO) sudah memperhitungkan, mengabaikan penyandang disabilitas dari angkatan kerja menyebabkan hilangnya 3 sampai 7 persen produk domestik bruto.

Kerentanan Berlapis Perempuan Penyandang Disabilitas

Buruh perempuan penyandang disabilitas sangat rentan mendapat kekerasan dan penindasan. Sebab, selain penyandang disabilitas, mereka juga memiliki identitas sebagai perempuan. Di tengah kondisi yang tidak mendukung seperti infrastruktur perusahaan yang belum memadai bagi disabilitas, sistem target yang mencekik dan hak maternitas buruh perempuan yang sepenuhnya belum dipenuhi dan dilindungi menyebabkan buruh tidak bekerja dengan baik. Sehingga, diskriminasi yang dialami oleh buruh perempuan disabilitas memiliki spesifikasi khusus yang tidak dialami langsung oleh buruh laki-laki disabilitas. Diskriminasi tersebut dialami buruh perempuan disabilitas sejak mereka mengakses lowongan pekerjaan hingga saat mereka sudah berada dalam dunia kerja.

“Ini yang membuat kami kurang berani berbicara, apalagi ketika diperlakukan tidak semestinya” ungkapnya.

Sebagaimana Maharetta, Rina juga menyadari bahwa identitasnya sebagai perempuan dan disabilitas memiliki kerentanan berlapis yang membuat perempuan penyandang disabilitas menjadi termarjinalkan.

“Perempuan disabilitas untuk keluar rumah sulit, untuk mengakses pendidikan juga sudah susah, apalagi pekerjaan. Makanya, perempuan disabilitas sering terlambat dalam hal pendidikan,” ujar Rina.

Terkait pendidikan formal yang masih rendah diakses oleh penyandang disabilitas perempuan, Rina mendorong pemerintah dan perusahaan untuk mempertimbangkan kondisi ini, apalagi salah satu syarat bekerja adalah umur dan riwayat pendidikan.

“Belum saatnya syarat bekerja untuk penyandang disabilitas itu diberikan batas umur, mengingat kami sulit untuk mengaskes pendidikan. Ini bukan jamannya lagi bersaing siapa yang mayoritas, tapi bagaimana melihat ada inklusifitas. Penyandang disabilitas harus diperlakukan adil dan setara,” tegasnya.

Kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah membuat hidup perempuan disabilitas bergantung kepada orang lain, sehingga semakin rentan mengalami berbagai kekerasan. Komnas Perempuan selama 2014 sampai 2018 menerima 89 kasus kekerasan pada perempuan disabilitas. Provinsi DI Yogyakarta menjadi wilayah dengan kasus kekerasan terbanyak dengan 47 kasus. Dalam mayoritas kasus, tepatnya 64 persen, perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual, 20 persen lainnya kekerasan psikis, sisanya kekerasan ekonomi dan fisik. Catatan Akhir Tahun Komnas Perempuan di tahun 2018 dan 2019 mendata bahwa perempuan dengan disabilitas intelektual, tuli wicara, dan psikososial adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan seksual.

Sesuai Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi disabilitas perempuan dewasa (18 sampai 59 tahun) lebih tinggi (25,2 persen) daripada laki-laki (18,8 persen). Seharusnya, ini juga diikuti dengan perlindungan perempuan disabilitas yang menjadi perhatian khusus pemerintah, mengingat sudah adanya aturan yang mengatur hak khusus bagi perempuan yang dilindungi oleh UU Nomor 8 Tahun 2016, di antaranya adalah hak kesehatan reproduksi, menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi, serta mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis dan tindak kekerasan.

Rina juga menekankan bahwa perlakuan setara bukanlah berarti sama. Pemenuhan hak disabilitas harus diprioritaskan. Ia mengatakan, “afirmative action diperlukan mempertimbangkan kerentanan-kerentanan yang diterima oleh disabilitas, terutama perempuan.”

Mendorong Pemerintah Serius dan Aktif

Tidak tersedianya data nasional yang akurat dan menyeluruh dari sisi jumlah penyandang, ragam, usia, jender, dan tempat tinggal mereka, juga harus menjadi perhatian pemerintah. Hingga pertengahan Januari 2021, Kementerian Sosial hanya mendata 209.604 orang dengan disabilitas.

HWDI mencatat, dari 2.669 penyandang disabilitas di kota Malang pada 2019, hanya ada 3 yang bekerja, 1 diantaranya adalah PNS.

Aghata juga mengatakan, ini adalah catatan untuk pemerintah yang juga belum memiliki data mengenai efektivitas dari aturan pemenuhan kuota minmal bagi pekerja disabilitas di setiap daerah. Dari sinilah bisa terlihat tingkat keberhasilan dari aturan yang sudah ada.

Ia juga menyadari bahwa sosialiasi yang dilakukan belum bersifat massif. “Kami membutuhkan banyak dukungan dari stakeholder, kami belum bisa mnejangkau perusahaan-perusahaan atau banyak organisasi lainnya,” ungkapnya. Sangat disayangkan, mengingat aturan mengenai penyandang disabilitas sudah disahkan sejak 2016. Namun hingga kini, usaha untuk mengimpelementasikannya masih minim.

“Dalam hal koordinasi ke daerah, kami ada Permenaker Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyelenggaraan Unit Layanan Disabilitas. Disinilah yang kemudian melakukan sosialisasi di daerah masing-masing soal perekrutan, memperlakukan itu lebih pada pembinaan dan sosialiasi. Sama halnya dengan mekanisme pengawasan juga bersifat pembinaan, bukan penegakan hukum,” ucapnya.

Aghata menjelaskan lebih lanjut soal fungsi pengawasan dalam menjamin inklusifitas pekerja disabilitas. Menurutnya, hal pertama yang harus dilihat adalah tidak ada pelarangan bagi penyandang disabilitas untuk melamar dan bagaimana sarana di tempat kerja dipenuhi atau tidak. Situasi ini bisa diadukan ke pusat agar diketahui, kemudian pemerintah daerah melalui unit layanan disabilitas bisa melakukan pembinaan.

 

Perusahaan Harus Menciptakan Lingkungan Inklusif

Sebagai perwakilan dari APINDO, Susanto menyampaikan bahwa usaha APINDO dalam menciptakan kultur inkusif di perusahaan sudah mulai dijalani, seperti adanya sosialiasi dan pengadaan acara-acara yang melibatkan penyandang disabilitas untuk mendiskusikan ide baru dan konstruktif.

“Harapannya, ini bisa jadi pemahaman bersama, sehingga menerima disabilitas bukan hanya sekedar formalitas. Tapi kami memiliki kendala karena kami juga bukan gabungan dari seluruh perusahaan,” ucap Susanto yang juga bagian dari PT Sampoerna TBK.

Ia juga mengungkapkan, perusahaan masih kesulitan untuk menyediakan akomodasi, misalnya kantor yang masih bergabung dengan gedung lainnya. Sehingga untuk membuat fasilitas, butuh perizinan lebih lanjut dari pemilik gedung. Lebih jauh dari itu, Susanto juga menyadari bahwa logika perusahaan yang masih mengedepankan efisiensi, efektivitas dan produktivitas dalam kerangka keuntungan masih menjadi kendala untuk menerapkan kebijakan afirmatif.

Terdapat banyak catatan yang harus dibenahi oleh pemerintah ataupun pengusaha dalam menciptakan dunia kerja yang inklusif, diantaranya:

  1. Mendorong implementasi tercapainya kuota tenaga kerja pada lembaga pemerintahan dan BUMN/BUMD sebesar 2%, dan sektor swasta 1% serta memastikan jumlah tenaga kerja yang seimbang
  2. Mendorong masyarakat untuk berperspektif inklusif dan tidak diskriminatif terhadap disabilitas
  3. Pemerintah harus secara tegas menindak diskriminasi di tempat kerja atau perekrutan kerja
  4. Penghapusan syarat rekrutmen yang diskriminatif, seperti diharuskan sehat, berpenampilan menarik, batasan umur dan syarat diskriminatif lainnya.
  5. Mendorong tersedianya akomodasi dan aksesibilitas untuk disabilitas di dunia kerja, termasuk etika berinteraksi
  6. Memastikan terpenuhinya hak-hak perempuan penyandang disabilitas di tempat kerja, hak dasar atas kesehatan reproduksi, hak atas rasa aman, dan hak atas pekerjaan yang layak
  7. Perusahaan secara aktif mengutamakan perspektif berbasis gender dan disabilitas, serta bekerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas
  8. Pemerintah memastikan perempuan penyandang disabilitas terpenuhi hak-hak tenaga kerjanya oleh perusahaan berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.
  9. Pemerintah harus memastikan penyandang disabilitas bisa mengakses pendidikan terutama perempuan
  10. Dalam hal Unit Layanan Disabilitas (ULD) Ketenagakerjaan dapat melibatkan masyarakat sebagai tenaga pendamping dengan proses rekrutmen dan seleksi secara transparan dan akuntabel, harus melibatkan peran serta penuh organisasi perempuan penyandang disabilitas.

 

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close