Sekitar lebih dari 1300 massa aksi yang mendatangi kantor DPRD Provinsi Kalimantan Selatan pada Kamis, 8 Oktober 2020. Dengan tuntutan batalkan UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Karena dinilai dalam prosesnya mulai dari pengusulan RUU sampai dengan disahkannya, DPR dan Pemerintah terkesan tergesa-gesa dan tidak transparan. Terlebih pasal-pasal di dalamnya yang sangat tidak berpihak kepada rakyat, terutama rakyat kecil.
Massa aksi terhimpun dari berbagai elemen masyarakat, seperti mahasiswa, buruh, serikat tani, pelajar, dan perwakilan dari rakyat itu sendiri. Salah satu peserta aksi mengatakan, “Mayoritas kita di sini anak buruh, petani juga kan. Kasihan buruh yang bekerja di bawah perusahaan jika pesangon dipangkas. Keluarga saya buruh perempuan baru meninggal, kerja sudah 30 tahun. Alhamdulillah dapat pesangon karena Omnibuslaw belum disahkan.” Ujar Gina, Mahasiswi Politeknik Negeri Tanah Laut. Ia datang jauh-jauh ke Banjarmasin untuk menyampaikan keresahannya. Menurut Gina disahkannya Omnibuslaw akan memperparah kondisi buruh, terutama buruh perempuan.
Begitu pula dengan Adel, Mahasiswi Poltek Hasnur Banjarmasin. Ia juga merasa memiliki kepentingan sebagai perempuan untuk menolak Omnibuslaw. “Yang saya tahu, ada beberapa pasal yang memang secara spesifik merugikan perempuan. Walaupun saya sendiri belum merasakan dampaknya, tapi dengan ikut aksi kita membuktikan kita berada di pihak mana.”
Peserta aksi lainnya, Nada Mauriza juga mengkritik pilihan Pemerintah dan DPR yang mengesahkan Omnibuslaw ini sangat tidak adil bagi buruh perempuan. “Ketika ibu-ibu habis melahirkan, besok udah disuruh kerja. Nah, di situ kita merasa enggak adil untuk buruh perempuan. Kalaupun tetap diberi izin, nanti gajinya dipotong. Itu sangat enggak adil.”
Senada dengan itu, Izzy seorang Mahasiswi asal Depok yang berdomisili di Martapura pun ikut menyuarakan kegelisahannya. Ia merasa sakit hati jika mengingat bagaimana perjalanan teman-teman yang memperjuangkan RUU P-KS (Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) dan RUU PPRT (Rancangan Undang Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga). Namun, DPR malah mengesahkan RUU Omnibuslaw yang dinilai Izzy tidak pro terhadap rakyat dan hanya menguntungkan kelas atas atau investor. “Miris banget sih melihat keadaan sekarang. Nasib RUU P-KS sama RUU PPRT juga masih ngambang dan kemungkinan Pemerintah akan fokus sama UU Omnibuslaw.” Ungkapnya ketika mengikuti aksi di Depan Kantor DPRD Prov. Kalsel.
Buruh Perempuan
Persoalan cuti hamil, cuti melahirkan yang tidak ada di dalam UU Omnibuslaw, menurut Mida itu sangat kejam. “Sangat enggak manusiawi sih, kejam banget.” Saat ini Mida bekerja pada sebuah Stand (makanan/minuman) di Banjarmasin, di mana ia hanya menerima upah sebesar Rp5.000 per jam. Selain kondisi ia sendiri, Mida berpikir bahwa kondisi keluarganya yang kebanyakan adalah buruh juga pasti akan terdampak ketika UU Omnibuslaw ditandatangani oleh Presiden.
Peserta aksi lainnya adalah Berly. Ia datang dari Banjarbaru sendirian untuk ikut aksi dan menuntut pembatalan Omnibuslaw. Ia adalah seorang buruh yang bekerja pada sebuah Instansi sebagai Pramusaji dengan upah Rp1.600.000 per bulan. “Dengan upah segitu, susahlah untuk bertahan. Apalagi kehidupan sekarang serba naik apa-apa. Kurang sih sebenarnya, apalagi di tempat aku sering telat dibayar gajinya. Belum ada Omnibuslaw aja udah kayak gitu, semaunya. Apalagi kalau Omnibuslaw disahkan. Orang tuaku juga buruh di perusahaan di Bati-bati. Menurutku, yang banyak terdampak adalah buruh perempuan.”