Pada 17 Maret 2022, Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang memberikan restorative justice kepada seorang pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pelaku dilaporkan karena telah melakukan pemukulan terhadap isterinya. Pertimbangan Kejari memberikan resotative justice mengacu pada Perda No 15 tahun 2020, karena ancaman hukuman di bawah lima tahun. Pertimbangan lainnya karena korban telah memaafkan pelaku dan pelaku belum pernah ditahan.
Di Kota Batang Hari, Jambi, seorang anggota DPRD dilaporkan ke polisi oleh isterinya sendiri lantaran telah melakukan KDRT. Pihak kepolisian yang menerima laporan tersebut menempuh jalur mediasi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk diproses secara hukum. Selain itu, pihak kepolisian juga melaporkan kasus KDRT tersebut kepada pimpinan DPRD Batang Hari. Kabar terakhir dari kasus ini, korban yang merupakan isterinya sendiri mencabut laporan karena telah memaafkan pelaku dan berdamai.
Dua kasus di atas merupakan contoh bahwa kasus KDRT yang dilaporkan seringkali tidak ditangani secara tuntas dan tidak mengacu pada Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Pelaku tindak kekerasan masih dapat bebas dari jerat hukum. Parahnya, perlindungan terhadap korban terabaikan, bahkan pemulihan korban tidak dilakukan secara tepat. Anggapan bahwa persoalan akan selesai ketika korban telah memaafkan pelaku justru malah menafikkan fakta kekerasan yang telah dialami korban.
Kasusnya Mencuat dan Terus Bertambah
Sejak disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT, kasus KDRT semakin banyak dilaporkan. Komnas Perempuan mencataat, sepanjang 2004-2021 terdapat 544.452 kasus KDRT. Menurut salah satu Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yetriyani, kasus-kasus tersebut meliputi kekerasan terhadap isteri, kekerasan terhadap anak perempuan khususnya inces, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, relasi personal dan kekerasan oleh mantan suami.
Semakin meningkatnya kasus KDRT tentu saja miris jika cerminan penanganan kasusnya masih tidak merujuk pada UU PKDRT sebagaimana dua cerita di atas. Padahal korban berharap akan mendapatkan perlindungan dan penanganan secara jelas. Namun kerap kali kasus KDRT berujung pada cerita damai, sementara pelaku tak diberikan sanksi sebagaimana yang tercantum dalam UU PKDRT. Padahal, UU tersebut dibuat untuk memastikan bahwa korban KDRT akan dilindungi sepenuhnya dan pelaku akan dihukum sebagai efek jera sebagai upaya untuk memutus mata rantai kekerasan di level rumah tangga.
Undang-Undangnya Ada, tapi Tak Digunakan
UU PKDRT menjadi landasan hukum bagi penanganan kasus KDRT di peradilan. Upaya terus dilakukan selama 18 tahun penerapan UU PKDRT agar optimal dan tepat. Namun masih ditemui kendala dalam aplikasinya, seperti Aparat Penegak Hukum (APH) masih belum sepenuhnya memahami tentang UU PKDRT. Peradilan seringkali mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sebagaimana dua kasus di atas yang mencerminkan bahwa APH masih banyak yang menggunakan acuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) daripada menggunakan UU PKDRT dalam penanganan kasus KDRT.
Proses penanganan yang demikian menjadi bermasalah, karena tidak mengarah pada perspektif korban. Sebaliknya, malah melanggengkan budaya pelaku hanya dengan megatakan permintaan maaf dan berjanji akan berubah dan membangun keluarga harmonis kembali. Padahal fakta kekerasan yang dialami korban tak akan pernah hilang dari rasa troumatiknya. Dengan budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat kita, tentu saja perempuan akan berada pada situasi yang rentan terhadap KDRT.
Padahal jika merujuk pada UU PKDRT, Bentuk-bentuk kekerasan telah dijelaskan secara konkrit, seperti kekerasan fisik. Dalam peradilan, penetapan pelaku seringkali tidak mengacu pada UU PKDRT namun ke KUHP yaitu penganiayaan. Ini secara jelas memperlihatkan bahwa APH masih belum memahami secara menyeluruh tentang UU PKDRT. Sehingga penanganan kasus KDRT pun menjadi kurang tepat dan tidak berspektif kepada korban.
Saksi pada kasus KDRT pun dipermudah dan jelas dalam UU PKDRT. Korban menjadi saksi utama dan didukung satu alat bukti petunjuk sudah dapat dijadikan pembuktian. Nyatanya, dilapangan masih sulit diterapkan. Seringkali APH menutut untuk memberikan bukti lain yang hal itu menyulitkan bagi korban. Sebab tindak KDRT lebih banyak terjadi di dalam rumah, yang itu membuat minimnya saksi dari luar.
Problem lain adalah dicabutnya pelaporan KDRT oleh korban juga banyak ditemui. Hal ini disebabkan anggapan bahwa persoalan selesai apabila sudah berdamai dan memaafkan. Hal ini memperlihatkan bahwa persoalan KDRT masih dianggap sebagai persoalan di ranah privat. Dengan begitu penyelesaian cukup selesai di antara keluarga kedua belah pihak. Padahal UU PKDRT secara jelas menegaskan bahwa perilaku KDRT merupakan urusan negara. Lepasnya pelaku dari jerat hukum tentu membuat rantai kekerasan tidak dapat terputus.
Pendampingan dan pemulihan korban pun menjadi fokus utama di UU PKDRT. Hal ini berkaitan dengan kompleksnya tekanan yang dihadapi oleh korban. Itulah sebabnya, pada saat pelaporan Aparat Penegak Hukum (APH) diharuskan melakukan analisis kebutuhan bagi korban. Namun, banyak ditemui di lapangan bahwa APH lebih berfokus pada proses pelaku dan mengabaikan kebutuhan pendampingan serta pemulihan korban.
Tekanan tidak hanya datang dari keluarga, namun juga dari masyarakat. Korban yang melapor biasanya akan berhadapan dengan banyak situasi yang berpengaruh terhadap psikologisnya. Mulai dengan stigma masyarakat dan disalahkan atas persoalan KDRT yang dialami korban. Terkadang minimnya dukungan keluarga juga menambah tekanan psikologis terhadap korban.
Problem lain yang tidak bisa dipungkiri bahwa faktor ketergantungan perempuan-dalam hal ini istri- terhadap ekonomi kepada suami masih tinggi. Dengan begitu menerima kembali suami sebagai kepala keluarga harus diterima korban untuk dapat bertahan hidup. Meskipun terdapat perempuan yang mandiri secara ekonomi, namun tidak membuat mereka lepas dari lingkar KDRT. Hal ini disebabkan adanya gambaran keluarga yang harmonis dan ideal adalah keluarga yang utuh meskipun berada dalam lingkar kekerasan.
Apabila mengacu pada UU PKDRT, secara jelas bahwa untuk memutus mata rantai kekerasan siapa pun yang melihat, mendengar atau mengetahui terjadinya tindak kekerasaan diwajibkan untuk melakukan upaya-upaya. Dengan mencegah perilaku kekerasan, melindungi korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses penetapan peradilan. Maka dari itu, penting bagi setiap orang untuk membantu memaksimalkan penerapan UU PKDRT dimulai dari lingkungan terdekat. Sebab, setiap orang berhak untuk hidup aman dan terbebas dari segala bentuk kekerasan.