26 tahun sudah berlalu, tahun 1998 menjadi saksi banyaknya catatan pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di Indonesia. Tragedi pemerkosaan massal yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 merupakan salah satu sejarah kelam bangsa yang sangat pahit bagi perempuan Indonesia dan masih belum terselesaikan hingga sekarang. Peristiwa tersebut hingga kini masih banyak menimbulkan luka berdarah bagi masyarakat, terutama perempuan etnis tionghoa yang banyak ditargetkan menjadi korban kekerasan dan penjarahan. Hal tersebut terjadi bersamaan dengan kerusuhan Mei 1998 yang melanda Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Kerusuhan 1998 dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda Asia, terutama Indonesia, serta meningkatnya ketidakpuasan terhadap pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto.
Selama kerusuhan, etnis Tionghoa menjadi sasaran utama kekerasan. Penindasan yang terjadi sangat memilukan yang mana banyak sekali melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Toko-toko milik tionghoa dijarah dan dibakar, rumah-rumah mereka diserang dan banyak yang mengalami kekerasan fisik. Tidak hanya properti mereka yang hancur, tetapi juga banyaknya nyawa manusia melayang. Termasuk dari banyaknya kasus, perempuan etnis Tionghoa menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual yang sistematis.
Sentimen Anti Etnis-China: Kambing Hitam dalam Krisis
Di tengah krisis ekonomi dan tekanan sosial yang melanda Indonesia pada akhir 1990-an, sentimen anti-Tionghoa menjadi alat yang dimanfaatkan dalam rezim Orde Baru untuk mengalihkan rasa frustasi masyarakat. Orang Indonesia keturunan Cina dijadikan kambing hitam dan dianggap sebagai biang keladi yang membuat Indonesia terpuruk dalam krisis ekonomi.
Kerusuhan rasial pertama pecah di Kota Medan, Sumatera Utara pada 4 Mei 198. Kerusuhan ini dipicu oleh kematian seorang pelajar yang terbunuh setelah digebuk dengan tabung gas air mata oleh personel militer. Kejadian ini memicu kemarahan dan protes yang kemudian beralih menjadi kerusuhan dengan sasaran utama komunitas Tionghoa.
Rasisme terlihat dari bagaimana kerusuhan- berakar pada ketidaksukaan masyarakat terhadap etnis Tionghoa karena keistimewaan yang dirasakan diberikan pada pebisnis Tionghoa oleh rezim Soeharto. Hal ini yang akhirnya memunculkan stereotip, tumbuhnya kebencian dan menyalakan segala bentuk diskriminasi terhadap etnis Tionghoa terutama perempuan dari etnis tersebut.
Dalam waktu singkat, kekerasan yang terjadi menyasar semua yang berbau Tionghoa. Toko-toko, rumah-rumah, dan properti lainnya milik etnis Tionghoa dijarah dan dibakar. Tidak hanya properti yang rusak, tetapi juga terjadi kekerasan fisik dan seksual terhadap anggota komunitas ini. Lebih dari seribu orang tewas di Jakarta saja dalam rangkaian kekerasan yang terjadi sepanjang kurun waktu 13-19 Mei.
Perempuan sebagai Target Kekerasan
Di Tengah kekacauan ini, terjadi serangkaian pemerkosaan yang mengerikan dan sistematis terhadap perempuan etnis Tionghoa. Laporan dari berbagai organisasi Hak Asasi Manusia dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mengungkap bahwa kekerasan seksual ini dilakukan dengan cara yang sangat terorganisir. Para korban diperkosa di berbagai lokasi di Jakarta, dan kejadian serupa dilaporkan dari kota-kota lain.
Dinamika dari kasus pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa ini menunjukkan dalam situasi negara yang menghadapi konflik, perempuan dijadikan target yang lemah dan tidak bisa melawan sehingga menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual. Perempuan sering kali dianggap lemah dan kurang mampu membela diri, membuat mereka menjadi sasaran empuk dalam situasi kekacauan. Kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 dapat dikatakan sebagai simbol penghinaan dengan cara untuk menghancurkan kehormatan dan martabat komunitas Tionghoa yang saat itu mendominasi 70% ekonomi Indonesia.
Ita Fadia Nadia yang lansir dari pernyataannya dalam bbc.com menilai bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa pada Mei 1998 adalah suatu teror yang dilakukan negara untuk menimbulkan ketakutan massal. “Negara atau penguasa membutuhkan sebuah teror dan berdasar teror itu lewat apa yang paling ampuh? Teror yang paling ampuh adalah lewat penganiayaan atau kekerasan terhadap perempuan atau seksualitas perempuan.” Banyak dari laporan yang masuk menunjukkan sebagian kasus perkosaan adalah gang rape, yakni korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Dari laporan ini pun juga menunjukkan adanya kasus penggunaan benda berbahaya (batang logam, pecahan botol, atau kawat berduri) yang digunakan pelaku untuk melukai organ reproduksi korban perempuan.
Perjuangan dalam Mencari Keadilan
Ironi yang terjadi pada saat ini adalah ketika kita berbicara mengenai tragedi Mei 1998, tidak banyak yang menyinggung mengenai Tragedi Pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa ini. Masih buruknya penanganan dan penyelesaian dalam memberikan keadilan kepada korban pemerkosaan ini membuat kita mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Pada 15 Juli 1998, beberapa bulan setelah kekacauan sepanjang Mei, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan surat resmi atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia. Dalam surat tersebut, Habibie mengutuk tindakan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan, khususnya pemerkosaan massal yang menimpa perempuan etnis Tionghoa selama kerusuhan. Pernyataan ini merupakan respons terhadap tekanan domestik dan internasional untuk mengakui serta mengatasi kekejaman yang telah terjadi.
Akan tetapi, upaya ini tidaklah banyak memberikan titik terang dalam penyelesaian kasus Pemerkosaan perempuan etnis Tionghoa. Sosok Ita Martadinata contohnya, perempuan Tionghoa penyintas pemerkosaan 1998- pelajar berumur 18 tahun- yang merupakan anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang hendak memberikan kesaksiannya tentang perkosaan dan pembunuhan 1998. Tiba-tiba terbunuh beberapa hari sebelum keberangkatannya untuk Kongress Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ditusuk berkali-kali di kamar tidurnya. Politik mengklaim pelaku adalah perampok yang panik melihat aksinya ketahuan. Namun, para aktivis meyakini bahwa Ita Martadinata sengaja dibungkam selama-lamanya agar tidak dapat bersaksi.
Upaya lainnya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan bagi korban adalah pengaduan Komnas HAM kepada Kejaksaaan Agung, tetapi kenyataannya hingga sekarang pun Jaksa Agung belum melakukan penyidikan atas kasus pemerkosaan tersebut. Banyaknya kendala pada permasalahan pembuktian dan penyangkalan bahwa hal tersebut tidak pernah terjadi.
Pada 2013 lalu, Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers secara resmi mengakui dan menyesalkan terjadinya sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM) dibentuk untuk menyelidiki dan mengevaluasi berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Sayangnya, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat itu kini terkendala sebab aturan keputusan presiden yang menjadi dasar pembentukan tim pemantau PPHAM tak kunjung diperpanjang oleh pemerintah, sehingga selama lima bulan terakhir sejak masa kerja tim pemantau PPHAM berakhir pada Desember silam, hingga kini belum ada tim pemantau baru.
Diakhir masa jabatan Presiden Joko Widodo ini, kita harus terus berupaya untuk mendorong dalam penjangkauan korban yang belum mendapatkan pemulihan, juga untuk korban yang sudah masuk dalam pemulihan tapi belum maksimal dalam pemenuhan hak-haknya.
“Di setiap sudut gelap Mei 1998, ada cerita duka yang tak terungkap, tentang perempuan-perempuan yang direnggut martabatnya oleh kebencian dan kekerasan.”
Referensi :
https://www.konde.co/2021/05/perkosaan-mei-1998-tidak-terungkap-dan-banyak-dilupakan/
https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8vzzmrz985o