Mengapa stigma perceraian lebih besar dihadapi oleh perempuan ketimbang laki-laki? Dalam masyarakat kita, perempuan menjadi orang pertama yang dilihat ketika terjadi keretakan dalam rumah tangga. Padahal penyebab perceraian bisa jadi karena hal lain yang tidak dilakukan oleh perempuan, atau karena kedua belah pihak sudah tidak memiliki rasa cinta, sehingga perceraian menjadi mungkin terjadi.
Namun anehnya, seringkali perhatian hanya kita tumpukan pada perempuan. Seakan semua keretakan yang terjadi dalam rumah tangga itu bermula dari ketidaksanggupan perempuan dalam mengatasi persoalan. Ini menjadi semakin rumit ketika perempuan bekerja di ruang publik atau tidak berada di dalam rumah yang biasanya memunculkan komentar yang menyakitkan, mendiskriminasi perempuan seperti, “bagaimana suami tidak selingkuh, istrinya saja jarang di rumah?” atau “siapa suruh perempuan kerja, tugas perempuan kan harusnya di rumah. Jadi jangan salahkan kalau suaminya selingkuh,” atau “begitulah kalau perempuan tidak becus menjadi istri, ujung-ujugnya bercerai.”
Selain perceraian yang masih tabu dalam masyarakat, diskriminasi pada perempuan yang bekerja dan stigma pada perempuan yang bercerai atau stigma janda itu masih sangat kental terjadi. Ditambah dengan adanya sistem patriarki yang menganggap bahwa laki-laki adalah manusia nomor satu, sementara perempuan adalah manusia nomor dua.
Ini sangat jelas terasa di masyarakat kita ditandai dengan adanya pembagian tugas berdasarkan gender. Pembagian tugas berdasarkan gender ini yang kemudian disebut sebagai konstruksi sosial. Laki-laki bertugas sebagai kepala rumah tangga sehingga ia harus bekerja mencari nafkah dan bertanggung jawab atas keuangan keluarga. Sementara perempuan harus mengurusi urusan rumah tangga, seperti mengasuh anggota keluarga yang masih kecil atau sakit, menjaga kondisi rumah agar tetap layak huni dan memastikan selalu ada makanan yang tersedia di meja.
Meskipun tidak sedikit laki-laki yang tidak sanggup menjadi tulang punggung keluarga. Misal, ia lebih suka memasak dan merawat rumah, ketimbang bekerja di ruang publik. Namun dalam masyarakat patriarki, kesenangan dan kebutuhan hidup kita sebagai manusia tidak diakomodasi. Tugas-tugas yang hanya dibagi berdasarkan dua gender, dan tiap-tiap peran harus dikerjakan sesuai gendernya masing-masing. Seringkali membuat kita tertekan dan menjadi palsu. Tidak jujur terhadap diri sendiri dan menutupi jati diri di depan banyak orang.
Begitu pula yang terjadi pada perempuan. Ia dianggap sebagai ibu rumah tangga. Bekerja di ruang domestik untuk memastikan tempat tinggal mereka adalah tempat yang paling nyaman, sehingga laki-laki menjadi betah dan senang berada di sana. Sebagian besar dari kita pasti mengenal istilah “kasur, sumur, dan dapur” yang dilekatkan pada perempuan. Tiga hal tersebut menjadi sesuatu yang kemudian dianggap sebagai kewajiban dan tidak boleh dilanggar oleh perempuan.
Hal ini terus menerus diproduksi dan berkembang secara masif di masyarakat melalui banyak hal. Nilai-nilai itu ditanamkan lewat pelajaran atau pendidikan yang kita dapat sejak kecil, entah dalam ruang lingkup keluarga, masyarakat, atau sekolah. Pada saat kita terpaku dengan apa yang sudah ada, laki-laki harus begini dan perempuan harus begitu. Di mana ada hal-hal yang kita percaya itu adalah wajar bagi laki-laki dan tidak wajar bagi perempuan, atau sebaliknya.
Misal, perselingkuhan laki-laki dianggap wajar karena dia laki-laki, “wajarlah namanya juga laki-laki, kalau pelayanan (seksual) dalam rumah kurang, dia pasti cari yang lain.” Menyambung ini petuah-petuah yang tidak diharapkan biasanya akan muncul, seperti, “makanya jadi perempuan pintar-pintar merawat diri dan menjaga suami, biar dia tidak ke lain.” Sementara perempuan yang berselingkuh dianggap perempuan nakal.
Laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan karena ia tidak memasak atau karena ia menolak untuk melakukan hubungan seksual, dianggap wajar. Karena pada saat perempuan tidak mau atau tidak bisa memasak atau melakukan hubungan seksual, perempuan itu dianggap melanggar “kodratnya” sebagai seorang perempuan atau istri.
Konstruksi sosial tersebut berkontribusi besar pada kaburnya kemampuan kita dalam menganalisa persoalan sehingga tidak jarang menghasilkan pandangan-pandangan yang kurang atau tidak logis. Seperti perceraian yang dianggap salah ketika pasangan sudah tidak saling mencintai. Dan hanya dibenarkan setelah adanya KDRT, ada yang mengalami kekerasan entah secara fisik ataupun mental.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA), per 1 Januari hingga 6 November 2020 menunjukkan dari seluruh kasus kekerasan terhadap perempuan yaitu 5.573 kasus, mayoritas kasusnya adalah KDRT yaitu 3.419 kasus atau sebesar 60,75% (suara.com, 14/11/2020). Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah kita harus menunggu terjadi kekerasan baru bisa menerima fakta perceraian adalah hal wajar ketika sudah tidak ada kecocokan dalam sebuah hubungan?
Begitu pula dengan stigma yang tidak berhenti terjadi pada perempuan. Entah saat proses perceraian itu berlangsung maupun saat sudah selesai, seperti stigma janda atau stigma perempuan yang gagal membangun rumah tangga. Stigma yang hanya terjadi pada perempuan disebabkan konstruksi sosial yang tidak tepat dan tidak setara. Akibatnya, meski sudah banyak perempuan yang berani menggugat cerai, tetapi masih banyak juga yang sulit untuk keluar dari hubungan rumah tangga yang tidak sehat atau penuh dengan kekerasan karena stigma.