RUU PPRT: Bentuk Upaya Menghargai Kerja Perempuan

Di jalanan Sudirman menuju Thamrin, kamu bisa menemui billboard elektronik yang menggambarkan 5 pimpinan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dengan bertuliskan 75 tahun DPR bersama rakyat. Namun nyatanya berbeda. Apakah DPR bersama dengan para pekerja rumah tangga? Selama 20 tahun JALA PRT, sebuah serikat pekerja rumah tangga memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Namun hingga saat ini belum juga disahkan.

Di sisi lain, Indonesia berupaya menampilkan sebagai negara yang aktif dalam menyikapi situasi global. Namun Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 189 tentang Pekerja Domestik dan 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Diskriminasi di Dunia Kerja pun tak kunjung diratifikasi. Kedua konvensi tersebut memberikan perlindungan spesifik kepada tenaga kerja terutama pekerja rumah tangga.

Aksi para pekerja rumah tangga agar diakui sebagai pekerja sudah ada dari tahun 2002. Mereka aksi di depan gedung DPR dengan meneriakkan “siapa yang mencuci kolormu anggota DPR?”. Setelah serangkaian aksi RUU PPRT masuk menjadi agenda prioritas PROLEGNAS.

Pada 2013 komisi IX telah mengeluarkan draft RUU Perlindungan PRT serta melakukan serangkaian riset di 10 kota, uji publik di 3 kota bahkan hingga studi banding ke luar negeri. Pada tahun 2014-2019, RUU PRT gagal masuk prolegnas dan prioritas tahunan. Namun berbagai riset dan studi banding yang telah dilakukan tidak menjamin RUU PPRT disahkan. Saat ini,para pekerja rumah tangga masih harus berjuang agar RUU PPRT menjadi RUU Inisiatif DPR.

Sulitnya RUU Perlindungan PRT untuk dibahas bahkan ketika sudah masuk prolegnas menunjukkan bagaimana negara belum memprioritaskan agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Pekerja rumah tangga yang mayoritasnya adalah perempuan, tidak mendapatkan perlindungan hukum untuk melakukan pekerjaan domestik. Anggapan bahwa pekerjaan domestik merupakan kodrat perempuan dan situasi tidak diakuinya PRT sebagai pekerja, membuat PRT dapat dengan mudah diupah rendah, tidak memiliki hak untuk libur, sangat rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi.

Seringkali kita menganggap bahwa pekerja rumah tangga adalah bagian dari keluarga untuk memperhalus relasi kita dengan pekerja rumah tangga, namun tanpa kita sadari ungkapan ini sering digunakan untuk mengabaikan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak pekerja rumah tangga. Ah kan sudah dianggap keluarga, seharusnya dia mau dong capek-capek kerja, pasti pernahkan mendengar anggapan seperti itu?

Namun adakah dari kita yang memilih anggota keluarga dari penyalur tenaga pekerja rumah tangga? Tidak ada kan?

Oleh karena itu, perjuangan PRT adalah perjuangan kita sebagai perempuan. Sebagai individu kita penting mengubah cara pandang melihat pekerja rumah tangga sebagai sebuah profesi bukan pembantu. Karena pada faktanya, kerja rumah tangga memberikan kontribusi besar. Menopang segala aspek kehidupan publik.

Lita Anggraini dari Jala PRT mengatakan bahwa Negara menunjukkan wajah maskulinnya tatkala ia tak bisa menghargai kerja-kerja perempuan. Dalam hal ini negara mengacuhkan hak-hak dan perlindungan kerja hanya karena banyak dari pekerja rumah tangga adalah perempuan. Ini menunjukkan bias gender, bias ras dan praktik feodal.

“Kasus pekerja rumah tangga hanya dilihat sebagai angka saja. Dikatakan angkanya sedikit sehingga dianggap tidak perlu dibahas. DPR hanya memikirkan dirinya sendiri (sebagai pemberi kerja – red) dan tidak memikirkan bagaimana membangun perspektif perlindungan dan kesejahteraan warganya.”

Menurut Lita, tanpa adanya pekerja rumah tangga, Presiden, wakil rakyat hingga rakyat biasa tak akan bisa melakukan kerja produktif di ranah publik jika tak ada yang mengerjakan kerja-kerja domestik di rumahnya.

“Pekerja rumah tangga adalah agen rumah kehidupan” jelas Lita. Tanpa pekerja rumah tangga maka kita akan kesulitan merawat diri bahkan merawat sumber energi dimana kita dapat istirahat sejenak untuk mengisi ulang tenaga kita untuk melanjutkan hidup.

Namun sayangnya profesi yang memberikan kenyamanan kehidupan sering dipandang rendah. Profesi pekerja rumah tangga masih dipandang sebelah mata dan dianggap tak berharga. Padahal banyak perempuan yang menjadikan profesi ini sebagai sumber penghidupan keluarganya.

Indah Mustika dari Jala PRT Panongan pun juga mempertanyakan hal yang sama, “Bayangkan jika PRT sedunia mogok kerja, apakah orang-orang dapat mengerjakan fungsinya dan berproduktif?”

Pekerja rumah tangga berkontribusi besar terhadap psikologis para pemberi kerjanya. Tanpa PRT kita tidak bisa hidup produktif, tidak bisa menjalankan profesi kita di luar rumah dan anak-anak serta anggota keluarga kita lainnya tak akan terurus. Sayangnya seringkali sesama perempuan bahkan lelaki masih belum bisa melihat dan menghargai kerja perempuan lainnya. Dirinya bahkan menganggap bahwa nilai yang diberikan PRT tidak sepadan dengan jika dirinya yang melakukan pekerjaan rumah tangga.

Kerja-kerja domestik tentunya memiliki nilai. Inilah yang hendak diperjuangkan pekerja rumah tangga melalui RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

Seharusnya RUU Perlindungan PRT juga menjadi inisiatif pemerintah juga dan juga inisiatif kita-kita juga yang hidup bergantung pada PRT.

 

Fira Bas

Seorang feminis Jawa yang sesekali melakoni sebagai dokter gigi serta melawan segala ketidakmungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan, dan semangat hidup.

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close