Jakarta, 1 Mei 2024
“Gerakan Perempuan adalah Pemberontakan Terhadap Penindasan, Menghancurkan Dinding-Dinding Ketidakadilan dan Hegemoni Kekuasaan “
Sejarah gerakan perempuan seperti gerakan hak pilih (suffragette) dan gerakan feminis awal memiliki keterkaitan yang erat dengan gerakan buruh. Jika merujuk pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketidakadilan terhadap pekerja perempuan, seperti upah rendah, jam kerja panjang, dan kondisi kerja yang tidak aman, menjadi sorotan utama. Perempuan sering kali menjadi buruh pabrik yang terpinggirkan dan dieksploitasi secara ekonomi.
Untuk itu, Hari Buruh Sedunia atau May Day menjadi penting dalam mengingatkan akan perjuangan sejarah ini, karena perempuan secara signifikan berkontribusi dalam gerakan buruh dan terus memperjuangkan kesetaraan di tempat kerja. Meskipun ada kemenangan penting, dominasi dan hegemoni terus berkembang dengan metode baru. Kesejahteraan seringkali hanya dipandang dari sudut pandang eksploitasi sumber daya alam dan manusia, yang mengancam kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Eksploitasi Tenaga Kerja
Di tengah krisis ekonomi global, pengusaha menggunakan ancaman dan kekerasan untuk mempertahankan keuntungan, memaksa pekerja menerima jam kerja panjang dengan upah rendah. Merujuk pada catatan ILO tahun 2016 terdapat 745.000 kematian pekerja karena kelelahan akibat jam kerja panjang. Buruh garmen sering diberi target tinggi, membuat mereka bekerja hingga 14 jam sehari tanpa upah lembur.
Di sektor perikanan dan kelautan, perempuan yang bekerja sebagai buruh perikanan atau nelayan masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang layak. Mereka terlibat dalam setiap tahap rantai pasok perikanan, dari menangkap ikan hingga memasarkannya. Namun, perempuan nelayan sering menghadapi diskriminasi, ketidaksetaraan, dan kesulitan akses terhadap sumber daya. Dan, di sektor lain seperti industri kreatif dan PRT yang 20 tahun menanti disahkannya UU PPRT, mereka tidak mengenal jam kerja, yang artinya mereka dapat diminta bekerja kapan pun sesuai permintaan majikan atau atasan.
Pekerja perempuan tidak hanya mengalami eksploitasi jam kerja, tetapi juga sering menjadi korban eksploitasi seksual. Kontrak kerja yang singkat membuat mereka rentan kehilangan pekerjaan dan memunculkan ketakutan, yang dimanfaatkan untuk memperoleh layanan seks sebagai imbalan perpanjangan kontrak.
Eksploitasi Alam
Ekonomi Indonesia tidak hanya bergantung pada eksploitasi tenaga kerja, tetapi juga pada eksploitasi sumber daya alam. Di era pemerintahan Jokowi, industri ekstraktif dan investasi modal tumbuh subur dengan regulasi yang mendukung, menciptakan surga bagi investor asing. Namun, dibalik kemakmuran yang dijanjikan, ada gelombang kekerasan yang semakin menerpa perempuan dan rakyat jelata. Penguasaan sumber daya alam tidak menghasilkan kemakmuran bagi rakyat, terutama perempuan. Perampasan lahan masyarakat adat, petani, dan nelayan telah menciptakan konflik agraria yang merugikan. Di negara agraris seperti Indonesia, jutaan perempuan nelayan dan petani terpinggirkan, sementara kekayaan alamnya dijarah habis-habisan.
Norma sosial tradisional gender serta kebijakan negara tentang pembangunan yang tidak berpihak pada perempuan, telah menempatkan perempuan dalam peran domestik dan pekerjaan reproduktif, mereduksi identitas mereka dalam masyarakat dan kebijakan.
Dalam konteks ini, perempuan menjadi sasaran utama dari eksploitasi, kekerasan, dan degradasi lingkungan. Mereka tidak hanya menjadi korban langsung, tetapi juga menderita dampak yang lebih besar dari kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang terus memburuk. Ini menyoroti ketidakadilan sistemik yang menindas perempuan secara terus-menerus.
Pemberangusan Gerakan Buruh
Selain itu para buruh yang menyuarakan haknya justru kerap mengalami berbagai serangan, mulai dari demosi, pemotongan upah, PHK hingga kriminalisasi. Terutama mereka yang berjuang bersama dalam wadah serikat pekerja, kerap menjadi sasaran empuk pemberangusan oleh perusahaan karena dinilai paling lantang dalam menagih tanggung jawab perusahaan terhadap pekerja. Berbagai upaya pembungkaman gerakan buruh dilakukan jika melawan rezim yang berpihak kepada kaum pemodal. Padahal jaminan kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat telah dijamin dalam konstitusi hingga Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Namun peran Negara yang seharusnya menjadi pemangku kewajiban dalam pemenuhan dan perlindungan pekerja dan hak-haknya justru nihil.
Kekerasan Berbasis Gender dan Diskriminasi yang Memiskinkan
Sistem kerja yang eksploitatif, juga akan berdampak dengan munculnya kekerasan dan diskriminasi yang menimpa kelompok-kelompok rentan seperti perempuan, LGBTIQ, dan disabilitas. Jenis kekerasannya pun beragam, mulai dari fisik, mental, seksual hingga kekerasan ekonomi. Catatan Komnas Perempuan tahun 2023 terjadi 321 kekerasan pada perempuan buruh migran dan 103 kekerasan pada perempuan disabilitas. Sedangkan dari survei UNESCO tahun 2021 hingga 2024, sebanyak 735 jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan online, 3308 kasus kekerasan terhadap PRT. Data ini masih bagian kecil dari kasus-kasus yang sebenarnya terjadi setiap harinya.
Pada LGBTIQ dan disabilitas, kekerasan dan diskriminasi terjadi pada syarat kerja yang masih menggunakan kata “laki-laki atau perempuan” dan “sehat jasmani rohani” sehingga menjauhkan dari akses pekerjaan. Ditambah pengucilan di tempat kerja, minimnya aksesibilitas, pemaksaan pemakaian jilbab, serta ujaran seksis pada penampilan maskulin transpria maupun transpuan.
Melihat situasi diatas, maka kami dari berbagai organisasi perempuan dan masyarakat sipil melakukan aksi short march dari Bawaslu RI hingga Istana Negara RI, turun melawan dan membangun kekuatan memperkuat perlawanan dalam merebut kembali hak-hak yang telah dirampas.
Kami, Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan :
- Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum;
- Segera Sahkan UU PPRT;
- Berikan upah dan penghidupan yang layak bagi buruh;
- Segera sahkan kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan perlindungan perempuan dengan:
- Mengesahkan beberapa RUU yang penting seperti RUU Perlindungan Masyarakat Adat, RUU Anti Diskriminasi, dan Raperda Bantuan Hukum DKI Jakarta.
- Menyusun aturan pelaksana yang mendukung implementasi UU TPKS.
- Meratifikasi Konvensi ILO No. 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
- Segera Cabut atau membatalkan regulasi yang anti-demokrasi seperti UU Cipta Kerja dan Revisi UU ITE;
- Segera memberikan kepastian untuk perlindungan Pembela HAM dan lingkungan dari praktik kekerasan, serangan, dan kriminalisasi;
- Melarang kebijakan yang mendiskriminasi berdasarkan gender dan orientasi seksual, Hapus syarat kerja yang diskriminatif;
- Mengakomodasi kebutuhan maternitas bagi pekerja perempuan;
- Menyediakan akses yang ramah bagi disabilitas di lingkungan kerja;
- Memberikan jaminan kesehatan yang layak bagi perempuan pekerja;
- Membangun tata kelola pangan yang berkelanjutan dan menurunkan harga sembako;
Aliansi Perempuan Indonesia
Perempuan Mahardhika | Jala PRT | Konde.co | FSBPI | YLBHI | Koalisi Perempuan Indonesia | Institut Sarinah | WMW Indonesia | KIARA – PPNI | Marsinah.id | LBH Masyarakat | LBH Jakarta | Serikat Pekerja Kampus | FPPI | Arus Pelangi | Perhimpunan Jiwa Sehat | Migrant CARE | YAPPIKA I KAPAL Perempuan | RAHIMA| Transparansi Internasional Indonesia| LBH APIK Semarang |HWDI | Kalyanamitra |Komunal Bawah Tanah | Warga Kampung Susun Bayam |Sanggar Seroja |Jaringan Buruh Migran | Solidaritas Pemoeda rawamangun |Komunal Bawah Tanah
Narahubung: Ajeng – 08111313760 | Lita A – 081247200500 | Eno Liska – 085333320018 | Jumisih – 08561612485 |Eka Ernawati – 081229068153