PT. Freeport Indonesia Akar Persoalan Orang Papua

Aksi Tolak Freeport 7 April 2025
Aksi Tolak Freeport 7 April 2025

Freeport Indonesia adalah akar dari penindasan, perampasan, penculikan, pembunuhan, peminggiran, eksploitasi, dan pemiskinan, semua terjadi di atas kekayaan alam milik rakyat Papua sendiri. PT. Freeport Indonesia harus ditutup.

Mengapa demikian? Karena sejak kontrak karya disepakati antara pemerintah Indonesia, Amerika, dan sekutunya pada 7 April 1967, janji-janji pembangunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Papua hanya menjadi utopia. PT. Freeport berjanji akan memberikan fasilitas bagi masyarakat adat, membangun pasar yang layak, namun hingga hari ini, mama-mama Papua masih berjualan di pinggir jalan beralaskan karton robek. Mereka bertahan di bawah panas terik, hujan, debu, dan becek. Keinginan mereka untuk memiliki pasar yang layak tidak pernah diwujudkan.

Sementara itu, sumber daya emas dan tembaga di Pegunungan Nemangkawi terus dibor, digali, dan diperluas tanpa peduli terhadap dampak ekologis: rusaknya ekosistem, punahnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, erosi tanah, terganggunya siklus air, serta dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan, baik untuk pangan, obat-obatan, maupun bahan bangunan. Semua itu kini sulit ditemukan. Proses ini sedang menuju pemusnahan, bahkan banyak hal yang dulunya ada di hutan telah benar-benar hilang.

Air sungai yang dulunya jernih dan dalam kini berubah menjadi dangkal dan tercemar. Masyarakat sudah tidak bisa lagi mencari ikan atau mendulang emas seperti dulu. Sungai Ajkawa, Sungai Yamaima, dan anak-anak sungainya kini dipenuhi limbah tailing. Limbah ini juga mengalir hingga ke muara dan merusak kawasan pesisir. Transportasi melalui sungai menjadi sulit, masyarakat terpaksa harus melewati laut dan melawan ombak besar untuk mencapai ibu kota Kabupaten Mimika.

Selama 58 tahun penguasaan sumber daya alam Nemangkawi oleh PT. Freeport, tidak ada satu pun keuntungan yang memberikan dampak signifikan bagi rakyat Papua, pemilik sah Bumi Amungsa. Yang mereka dapat hanyalah limbah, hutan yang berubah menjadi lahan tambang, dan rusaknya tatanan sosial masyarakat Amungsa. Semua ini berujung pada pemusnahan sistematis akibat konsumsi bahan makanan yang telah terkontaminasi limbah beracun.

Kesehatan masyarakat semakin memburuk, angka kematian meningkat akibat air dan tanah yang tercemar logam berat. Sementara itu, fasilitas kesehatan sangat minim. PT. Freeport tidak pernah berinisiatif membiayai pendidikan dokter, suster, atau profesor dari anak-anak asli Papua. Lapangan pekerjaan pun sangat sulit diakses. Cara kerja Freeport hanyalah menambang kekayaan untuk kepentingan mereka sendiri, sementara rakyat Papua hidup dalam derita, kehilangan, dan ketelanjangan atas sumber daya alamnya.

Pendidikan pun hanya tersedia untuk anak-anak dari “orang dalam” PT. Freeport. “Jika ada orang dalam yang kerja di PT. Freeport, mereka bisa difasilitasi sekolah gratis, selain itu tidak,” kata masyarakat. Bagaimana dengan masyarakat adat yang hidup dari hasil bumi, yang harus bekerja keras untuk membiayai pendidikan anak-anaknya? Akibatnya, angka anak yang tidak sekolah, putus sekolah, dan minimnya lapangan kerja terus meningkat drastis. Masyarakat pribumi kembali menjadi masyarakat “ijazah kosong, tidak berguna”, meskipun ada yang lulus SD hingga perguruan tinggi, semua menjadi sia-sia. Mereka tetap dimiskinkan, sementara kekayaan alam terus dieksploitasi dalam skala besar lewat praktik ekstraktivisme yang berujung pada ketidakadilan. Pemodal menjadi penguasa, sementara pemilik tanah terusir, dibutakan oleh janji-janji palsu yang tak pernah terwujud.

Freeport Indonesia juga menjadi pintu masuk bagi berbagai bentuk investasi lain, seperti PT. Blok Wabu di Intan Jaya. Masyarakat di sana terusir dari dusun dan tanah tempat tinggal mereka akibat konflik senjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang terus berlangsung. TPNPB mempertahankan tanahnya agar PT. Blok Wabu tidak beroperasi. Namun, militerisasi justru terus meningkat, dengan dalih kepentingan negara untuk membuka tambang. Akibatnya, masyarakat hidup dalam ketakutan. Ruang gerak dan kebebasan berekspresi mereka dikurung dalam cengkeraman kepentingan kapitalis. Negara menutup mata terhadap penderitaan mereka.

Wilayah Lapago (pegunungan Papua) juga terancam oleh berbagai investasi tambang dan perkebunan kelapa sawit yang terus diperluas di atas tanah air Papua. Semua ini bersifat menguras, merugikan, dan mengarah pada genosida, ekosida, etnosida, dan spiritsida secara sistematis, dan proses itu sedang berlangsung.

Maka dari itu, Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat harus segera mencabut izin tambang PT. Freeport di Gunung Nemangkawi.

Aksi Tolak Freeport 7 April 2025

Peristiwa Agimuga: Luka yang Tak Pernah Sembuh

Pada tahun 1977 hingga 1978, Agimuga menjadi ladang pembantaian. Operasi militer Indonesia menyebabkan masyarakat Agimuga tercerai-berai. Mereka melarikan diri ke hutan, menyeberangi sungai. Banyak yang meninggal di dalam hutan.

Salah satu sosok yang hingga kini dikenang adalah Kelly Kwalik, seorang guru SD Papua yang kecewa dan marah karena tambang PT. Freeport menghancurkan gunung yang selama ini dianggap sakral oleh masyarakat adat. Kelly mengangkat senjata melawan tentara Indonesia pada tahun 1977. Hans Frankenmolen menuliskan kisah ini dalam buku hariannya, menyampaikan kekesalan Kelly terhadap negara:

“Indonesia tak berbuat apa-apa untuk orang Papua, terutama yang tinggal di pedalaman. Banyak janji-janji, tapi tak ada yang ditepati. Lihat saja di Agimuga.”

Kelly kemudian ditembak mati pada Desember 2009. Saat pemakamannya di Timika, ribuan orang asli Papua hadir untuk memberi penghormatan terakhir. Meski pemerintah Indonesia menyebut Kelly sebagai teroris, bagi rakyat Papua, ia adalah pahlawan perlawanan.

Kekerasan dan Trauma yang Tak Pernah Selesai

Penyerangan militer Indonesia melalui darat dan udara menyebabkan lebih dari 200 pengungsi meninggal. Komisi HAM Asia mencatat lebih dari 4.000 warga sipil Papua tewas selama operasi militer 1977–1978. Trauma akibat kekerasan negara ini terus diwariskan turun-temurun dan masih terasa hingga hari ini.

Pemerintah Indonesia semestinya melihat kembali sejarah kekerasan yang pernah terjadi. Tidak bisa datang dan menanam investasi tanpa memahami luka-luka lama yang belum sembuh. Hak berekspresi dan hidup bebas rakyat Papua terus dibungkam oleh militerisme dan sistem negara yang tidak memihak.

Aksi Tolak Freeport 7 April 2025

Linda Mote

Perempuan Mahardhika Manokwari

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close