PRT dan Buruh Perempuan Bersatu! Tuntut Pengesahan RUU PPRT, Hentikan Sistem ‘No Work No Pay’

Jakarta- Aliansi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan Buruh Perempuan menggelar aksi Hari Buruh Internasional atau May Day 2023 dengan tajuk “PRT & Buruh Perempuan Tolak No Work No Pay, Bersatu Sahkan RUU PPRT”. Salah satu tuntutan yang diserukan dalam aksi ini yaitu mendorong DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT).

Sebagai informasi, RUU PPRT hingga saat ini belum juga disahkan. Padahal, DPR RI telah menjanjikan RUU PPRT akan rampung usai lebaran.

Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini mendesak pemerintah dan DPR RI untuk tetap konsisten membahas RUU PPRT di tengah situasi politik menjelang Pemilu 2024.

Upaya mendorong pengesahan RUU PPRT adalah usaha untuk memberikan perlindungan dan kepastian  hukum kepada PRT yang selama ini tidak diakui sebagai pekerja. Kondisi ini berdampak pada persoalan upah, jam kerja, dan hak-haknya  yang tidak dianggap menjadi kewajiban oleh pemberi kerja.

Persoalan upah dan jam kerja yang dilanggar, turut dijelaskan oleh Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika dalam konteks situasi buruh perempuan garmen. Ia mengatakan, permasalahan dalam sistem kerja no work no pay (tidak kerja, tidak dibayar) di industri padat karya, dipraktikan oleh perusahaan dengan tidak membayar buruh perempuan yang ingin mengambil haknya, seperti hak cuti haid, sakit, dan cuti hamil.

Selain itu, lanjut Ika, sistem ini juga menempatkan buruh dalam ketidakpastian kerja dengan merubah status kerja buruh secara masif menjadi buruh harian. Bentuk lainnya adalah meliburkan buruh tanpa upah maupun pemotongan upah.

Perempuan Mahardhika menemukan adanya ratusan buruh perempuan garmen yang terpuruk akibat aturan no work no pay dan yang paling masif adalah masalah status kerja yang kian fleksibel. Dalam hal ini, para buruh sengaja dipekerjakan sesaat untuk melepaskan tanggung jawab perusahaan terhadap buruhnya. Sistem kerja ini terbukti berdampak besar pada pemiskinan buruh perempuan.

Situasi ini kemudian diperparah dengan regulasi yang mendukung fleksibilitas kerja seperti UU Cipta kerja dan  Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Permenaker yang terbit pada 7 Maret 2023 ini bahkan melegitimasi perusahaan untuk lepas tangan terhadap kewajiban memenuhi berbagai macam hak buruh, mulai dari adanya kebijakan penangguhan upah minimum, hingga pengabaian terhadap hak reproduksi buruh perempuan. Maka, dapat dikatakan bahwa Permenaker Nomor 5/2023 ini merupakan aturan yang diskriminatif.

Seperti yang terjadi pada momen sebelum lebaran, Perempuan Mahardhika menemukan banyaknya buruh perempuan garmen yang diminta untuk memenuhi target tinggi untuk kebutuhan pasokan masa lebaran. Mereka bahkan tidak mendapatkan upah tambahan, begitu juga hak THR. Dengan terbitnya Permenaker 5/2023, perusahaan memiliki alasan legal untuk melanggar hak buruh.

“Sistem kerja no work no pay semakin masif terjadi, ditambah dengan terbitnya permenaker no 5 tahun 2023 ini. Pendapatan buruh berkurang terutama di sektor garmen yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan,” ujar Ika.

Tak hanya itu, Permenaker 5/2023 juga memperbolehkan adanya pengurangan upah hingga 25 persen oleh perusahaan. Menurut Koordinator Lapangan Aksi, Jihan Faatiha, ketentuan tersebut merupakan pelanggaran serius.

“Upah minimum adalah hak dasar yang tidak boleh dilanggar sehingga pengurangan waktu dan jam kerja seharusnya tidak boleh berkonsekuensi terhadap perngurangan upah buruh,” pungkas Jihan.

Adapun aksi ini digelar dengan melakukan long march dari titik kumpul Bundaran HI hingga ke Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat. Aksi kali ini juga diwarnai dengan adanya orasi dan teatrikal.

Massa aksi juga membawa alat kerja rumah tangga seperti ember, centong nasi, dan serbet sebagai simbolisasi bahwa PRT membutuhkan perhatian dari pemerintah.

Hadirnya PRT dalam aksi May Day ini menjadi penanda bahwa PRT juga merupakan pekerja yang berperan penting dalam menggerakan roda perekonomian Indonesia. Selain alat dapur, massa aksi juga membawa gunting sebagai simbol penolakan terhadap pemotongan upah buruh perempuan.

Untuk diketahui, Aliansi PRT dibentuk untuk menyorot situasi kerja perempuan yang rentan dan tidak diakui. Terlebih menjelang pemilu, isu kerja perempuan berpotensi semakin termarjinalkan.

Terdapat 3 tuntutan Aliansi PRT dan Buruh Perempuan menyikapi persoalan di atas:

  1. Mendorong pemerintah dan DPR segera bahas dan segera sahkan RUU PPRT
  2. Menolak No work no pay, tolak UU Cipta Kerja dan Permenaker No 5/2023 yang merugikan buruh perempuan
  3. Perjuangkan upah perempuan yang tidak diskriminatif agar perempuan tidak terpuruk dalam kemiskinan.

 

 

 

 

 

 

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close