Sebelum munculnya istilah Pekerja Rumah Tangga, masyarakat kita mengenal istilah, abdi, babu, jongos dan pembantu atau emban. Istilah-istilah tersebut muncul setelah berakhirnya zaman perbudakan atau ketika Indonesia menjadi negara koloni Belanda. Dari sisi peran, istilah-istilah tersebut memiliki kesamaan, yaitu orang yang menjalankan pekerjaan domestik seperti pekerjaan bersih-bersih, mencuci, memasak, tukang kebun dan mengasuh anak untuk keluarga lain dari kelas sosial yang dominan. Namun, istilah-istilah tersebut memiliki konteks sejarah yang berbeda-beda dan menunjukkan hubungan sosial yang berbeda-beda pula.
Pada zaman kerajaan, istilah budak dilekatkan kepada seseorang yang dipaksa bekerja di bawah perintah tuannya tanpa upah. Budak ini tidak memiliki hak apapun atas kehidupannya, mereka hanya memiliki kewajiban, menjalankan semua perintah dari sang tuan yang memilikinya. Kehidupan budak sepenuhnya dimiliki oleh tuannya. Seorang budak juga diperlakukan layaknya barang yang dapat diperjualbelikan. Secara historis seseorang menjadi budak karena berhutang, melanggar hukum yang dibuat penguasa dan seseorang yang kalah dalam perang.
Ketika Kolonialisme Belanda masuk melalui kerajaan-kerajaan, istilah budak mengubah menjadi abdi. Para abdi ini bekerja semata-mata karena pengabdiannya terhadap sang raja, bukan karena upah. Yang membedakan budak dengan abdi adalah jika budak bekerja dengan unsur paksaan sedangkan abdi berdasarkan unsur kesukarelaan. Sang raja hanya akan memberikan jaminan tidak akan hidup kelaparan atau tak lebih dari cukup. Meskipun seorang abdi ada yang mendapat imbalan dari sang raja tapi itu bukan dimaknai sebagai upah pekerja, melainkan sebagai bentuk ‘kepedulian’ raja terhadap abdinya. Karenanya jumlahnya kecil dan tak sebanding dengan kerja pengabdian para abdi. Secara politik, keberadaan abdi dipertahankan karena untuk melegitimasi eksistensi dan kuasa sang raja. Praktik semacam ini masih terjadi di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Pada masa Kolonialisme, Belanda berhasil ‘menundukkan’ kerajaan-kerajaan nusantara. Mereka mendirikan perusahaan perkebunan seperti tebu, teh dan beberapa rempah-rempah lainnya. Pada masa-masa itu, banyak orang Belanda yang didatangkan untuk menjadi tuan kebun dan administrator di perusahaan perkebunan milik Belanda. Selain mempekerjakan pribumi sebagai buruh kebun, mereka juga mempekerjakan orang pribumi untuk pekerjaan domestik. Istilah babu dan jongos kemudian dilekatkan pada orang-orang yang bekerja di rumah-rumah para pejabat perusahaan Belanda tersebut. Babu sebutan untuk PRT perempuan, sementara jongos sebutan PRT laki-laki. Dalam novel-novel berlatar masa kolonialisme kita akan banyak menemukan istilah babu dan jongos.
Meskipun relasi kerja babu dan jongos dengan majikan sudah mendekati relasi upah, tapi perlakuan buruk dan tak adil dari majikan Belanda kerap diterima babu dan jongos. Biasanya mereka diupah kecil, jam kerja panjang dan tak ada hari libur. Secara politik perlakuan tak adil dan semena-mena tersebut dipengaruhi oleh rasisme Belanda yang merupakan anak kandung dari sistem kapitalisme.
Pasca kemerdekaan, istilah babu dan jongos diganti dengan istilah pembantu. Alih-alih mengubah warisan kolonial, secara makna istilah babu dan pembantu masih sama-sama merendahkan PRT. Selain itu, konstruksi sosial yang terbangun di masyarakat pra kemerdekaan menganggap PRT sebagai orang yang harus melayani semua keinginan majikan, status terendah secara sosial, dan tidak dianggap sebagai pekerja. Secara politik istilah pembantu meneguhkan relasi kuasa yang timpang antara pembantu dan majikan agar mengeksploitasinya.
Tradisi menitipkan anak kepada keluarga atau kerabat yang dianggap lebih mampu banyak terjadi di Indonesia. Biasanya dilakukan karena keluarga atau kerabat tersebut dapat membantu pendidikan anak karena dianggap kaya. Anak yang dititipkan biasanya dituntut untuk mematuhi perintah keluarga tersebut. Dalam budaya Jawa praktik semacam ini disebut dengan istilah “ngenger”. Tradisi yang dibangun tersebut cukup baik, karena memiliki semangat saling bantu membantu sesama keluarga. Namun kenyataannya, banyak anak yang justru tidak disekolahkan dan malah diminta untuk membantu mereka dalam kerja domestik dengan jam kerja panjang dan tanpa upah. Tradisi ini tentu rentan terhadap eksploitasi anak.
Praktik mempekerjakan orang untuk urusan domestik sudah berlangsung lama. Istilah dan penamaan yang berkonotasi merendahkan PRT sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat. Sebutan Babu, Jongos, dan pembantu memposisikan PRT sebagai seseorang yang dianggap hanya membantu pekerjaan dan tidak menghasilkan komoditas tertentu. Hubungan yang demikian memiliki ketimpangan dan relasi yang tidak adil.
Hal ini yang mendorong beberapa organisasi non-pemerintah mengajukan istilah pekerja dalam konteks pekerja rumah tangga. Argumentasi yang dibangun bahwa PRT merupakan pilihan pekerjaan yang bertujuan untuk mendapatkan jaminan kehidupan layak bagi dirinya dan keluarga melalui upah dan situasi kerja yang layak sebagaimana pekerja lainnya. Dengan memposisikan PRT sebagai pekerja, maka PRT dan majikan mempunyai hak dan kewajiban yang jelas.
Argumentasi secara hukumnya definisi pekerja menurut UU Ketenagakerjaan, bahwa “pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lainnya”. Sementara definisi pemberi kerja menurut UU tersebut adalah “orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Jika dikaji, maka PRT tentu saja memenuhi unsur dan ketentuan tersebut, sebagai pekerja, bekerja dengan perseorangan dan menerima upah. Namun, walaupun UU tersebut tidak mengatur secara khusus PRT yang karakteristiknya bekerja di ranah domestik. Pada 2004 sejumlah organisasi mengusulan kepada parlemen untuk dibuatkannya peraturan khusus untuk perlindungan PRT. Sayangnya hingga hari ini belum ada tanda-tanda yang RUU PPRT menjadi insisiatif DPR untuk disahkan.
Rujukan:
Menghapus Kerja Anak Di Indonesia. International Labour Organization Jakarta. Tersedia di https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/—asia/—ro-bangkok/—ilo-jakarta/documents/publication/wcms_616196.pdf