Sepanjang Pandemi: Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perempuan Tidak Dijamin
Pandemi tidak menciptakan krisis, tetapi sistem ekonomi dan politik pro kapitalislah penyebabnya. COVID 19 memperparah situasi krisis yang sudah ada sebelumnya dimana perempuan yang paling banyak harus menanggung akibatnya. Selama krisis pandemi COVID 19, selain beban kerja bertambah berat perempuan juga berhadapan dengan kekerasan.
Setiap perempun adalah pekerja baik itu di ranah domestik maupun ranah produksi. Selama masa pandemik mayoritas perempuan diwaktu yang sama harus melakukan 2 pekerjaan sekaligus yaitu bekerja di luar rumah dan di dalam rumah, berhadapan dengan kekerasan serta tidak adanya perlindungan yang maksimal atas kesehatan mereka.
Pertama, lapangan pekerjaan yang diperuntukkan bagi perempuan adalah lapangan kerjaan yang upahnya rendah, sistem kerja yang tidak layak, tidak ada jaminan K3, kesehatan reproduksi diabaikan dan sarat dengan pelecehan seksual, seperti sektor garmen, pekerja rumah tangga, pekerja rumahan, pekerja toko, pekerja sektor kreatif dan pekerja di sektor perkebunan sawit. Ketika pandemi COVID 19 melanda sebagian besar perempuan kehilangan pekerjaan, kehilangan sebagian besar penghasilannya, dan tidak memiliki kepastian kerja yang berkelanjutan.
Kedua, disatu sisi perempuan masih harus melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah seperti merawat rumah, anak dan orang tua, yang bebannya bertambah pada masa COVID 19 karena semua anggota keluarga harus berdiam dirumah, harus menemani anak-anak belajar, dan memastikan asap dapur tetap mengepul. Semua dilakukan tanpa dibayar.
Ketiga, perempuan masih berhadapan dengan kekerasan baik kekerasan di tempat kerja maupun kekerasan di rumah tangga. Seperti yang dicatat oleh Komnas Perempuan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat dimasa pandemi.
Keempat, sistem kesehatan yang tidak berfungsi memberikan perlindungan yang maksimal pada masa COVID 19 sehingga banyak perempuan terpaksa mengabaikan kesehatannya agar bisa bertahan dan melanjutkan hidup.
Sistem ekonomi dan politik dimana kita hidup hari ini adalah sistem yang tidak melindungi dan menghargai kerja perempuan, sebuah sistem yang mengontrol tubuh perempuan bahkan dengan cara kekerasan sekalipun agar bisa terus mendapatkan tenaga kerja yang murah dan gratis.
Sepanjang Pandemi: Pemerintah dan DPR Mengabaikan Kepentingan Perempuan, Mendahulukan Kepentingan Pengusaha
Hanya ada satu alasan mengapa RUU PKS dan RUU PPRT tidak segera disahkan. Yaitu karena penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan pekerja rumah tangga menuntut pengakuan bahwa perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya. Sehingga kekerasan atas dirinya merupakan kejahatan kemanusiaan, dan kerja yang ia lakukan bukanlah pengabdian.
Tenaga kerja murah dan fleksibel tidak akan tercipta tanpa eksploitasi atas kerja dan tubuh perempuan serta eksploitasi atas sumber daya alam.
Ketimpangan struktur penguasaan, penggunaan dan kepemilikan tanah memicu situasi kemiskinan dan kekerasan dalam skala besar. Penguasaan puluhan juta hektar tanah oleh investor, konversi tanah pertanian untuk pembangunan infrastruktur dan pariwisata menyebabkan mayoritas penduduk tergusur dari mata pencaharian utama sebagai petani. Konflik agraria yang muncul karena perlawanan terhadap investasi skala besar seringkali berujung pada penculikan, penangkapan, kriminalisasi rakyat dan kekerasan terhadap perempuan.
Di tengah kerusakan ekologis yang disebabkan oleh eksploitasi tanah dan sumber daya alam, perempuan terdesak untuk bermigrasi menjadi buruh dengan upah murah dan terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang memudahkan diskriminasi, pelecehan dan kekerasan pada dirinya terjadi.
Maka tidak mengherankan memang jika UU Cipta Kerja disebut sebagai UU Sapu Jagad. UU ini hadir untuk memastikan eksploitasi sumber daya alam, dan eksploitasi atas kerja dan tubuh perempuan tetap terjaga. Keberpihakan Pemerintah dan DPR kepada pengusaha semakin nyata terlihat di saat pandemi dengan pengesahan UU Cipta Kerja ini yang sekaligus meminggirkan RUU PKS dan RUU PPRT.
Maka dari itu Tuntutan Kami adalah:
- Wujudkan sistem kesehatan gratis, bisa diakses setiap orang, dan bebas dari diskriminasi.
- Upah layak untuk kerja perempuan.
- Akui kekerasan seksual sebagai pelanggaran HAM dengan mensahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
- Akui PRT sebagai pekerja dengan mensahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
- Segera Ratifikasi Konvensi ILO 190 beserta Rekomendasi 206 agar semua pekerja bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan berbasis gender.
- Cabut Undang-undang Cipta Kerja.
- Hentikan kriminalisasi rakyat, wujudkan jaminan kebebasan berorganisasi dan berserikat.
Selamat Hari Perempuan Internasional!
Narahubung :
Mutiara Ika Pratiwi – Sekretaris Nasional
082213587565