Upaya rezim Prabowo – Gibran untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan merupakan penghinaan terhadap semua korban kekuasaan Orde Baru. Sekaligus, merupakan pengingkaran sejarah terkait serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Orde Baru di bawah Soeharto, yang masih menyisakan luka kolektif rakyat.
“Pengabaian sejarah pelanggaran berat HAM, tak lebih dari upaya membungkam korban supaya kasus-kasusnya tidak pernah terungkap”, kata Yolanda Panjaitan dari Cakra Wikara Indonesia. Ia juga menyampaikan bahayanya pemberian gelar pahlawan pada Soeharto, karena merupakan bagian dari upaya menekan ingatan kolektif akan realita politik pelanggaran berat HAM tersebut.
Lebih lanjut Diyah WR dari Perkumpulan Kecapi Batara Indonesia menyampaikan bahwa pengangkatan Soeharto jadi pahlawan bukan hanya merupakan bentuk pengingkaran dan penyangkalan sejarah akan tetapi juga kelanjutan perampasan hak dari kelompok minoritas Tionghoa. “Kami tidak pernah diperhitungkan sebagai warga negara. Banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa masyarakat Tionghoa tapi tidak pernah diusut”, ucapnya.
Soeharto bukan simbol perjuangan bangsa, melainkan simbol represi, kekerasan, dan pembungkaman politik selama lebih dari tiga dekade kekuasaannya. Selama berkuasa, tangan Soeharto bergelimang darah dan belum pernah dipertanggungjawabkan, tidak ada pengakuan, tidak ada kata maaf, apalagi rasa keadilan, meski ratusan kali selama bertahun-tahun, Ibu Sumarsih dkk menggelar aksi Kamisan. Di bawah ini adalah rangkaian pelanggaran berat HAM di masa Orde Baru:
-
- Pembunuhan massal pasca 1965, di mana ratusan ribu orang dibunuh dan jutaan lainnya ditahan tanpa proses hukum. Pembunuhan massal ini diiringi dengan fitnah keji terhadap Gerwani, sebuah pola kekerasan yang kerap menjadikan tubuh perempuan sebagai objek kekerasan
- Penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembatasan kebebasan sipil terhadap aktivis, jurnalis, dan masyarakat sipil yang kritis.
- Pembunuhan warga masyarakat atau disebut penembakan misterius (petrus) pada 1982-1985 dengan dalih melawan kriminalitas.
-
- Pembunuhan Marsinah pada 1993, buruh perempuan yang menuntut keadilan dan hak-hak buruh, menjadi salah satu simbol korban kekerasan negara di masa Orde Baru.
- Pembunuhan Udin, seorang jurnalis yang tewas dibunuh pada 1996 karena mengungkap dugaan kasus korupsi sebagai bentuk pembungkaman terhadap pers.
-
- Kekerasan dan pembantaian rakyat dalam operasi militer di Timor Timur, Aceh dan Papua
- Kekerasan dan pembunuhan rakyat dalam peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Talangsari (1989)
- Kasus penculikan aktivis 1997–1998 seperti Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Suyat dan aktivis lainnya yang hingga kini masih hilang
- Kasus Trisakti, Semanggi I dan II yang menewaskan aktivis mahasiswa seperti Elang, Wawan, Heri Hertanto, Hendriawan, Yap Yun Hap dan lainnya
- Pemerkosaan massal 1998 terhadap perempuan Tionghoa dan Pembunuhan Ita Martadinata
- dll
Serentetan pelanggaran berat hak asasi manusia di masa Orde Baru di atas menunjukkan karakter militeristik yang mengedepankan pendekatan kekerasan atas nama stabilitas nasional. Itulah mengapa penghapusan Dwi Fungsi ABRI menjadi tuntutan utama reformasi, yang justru hendak dikembalikan lagi oleh negara. Sebenarnya, tidak cukup mengherankan, mengingat presiden Prabowo, dalam sejarahnya merupakan bagian dari Orde Baru.
Luviana dari Konde.co mengatakan Soeharto telah membangun sejarah buruk media yang ada di Indonesia. Media menjadi tidak independen dan tidak berpihak kepada publik. “Soeharto adalah orang yang berhutang yang menyebabkan media tidak berpihak pada publik dan pembungkaman-pembungkaman pada pers yang terjadi sampai sekarang.” ucapnya.
Menyandingkan Soeharto dengan Marsinah sebagai pahlawan = Penghinaan Terhadap Korban
Marsinah, merupakan wujud konkret bagaimana Dwi Fungsi ABRI bebas mengintervensi perselisihan industrial dengan pendekatan kekerasan hingga seorang Marsinah tewas disiksa.
“Karenanya memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menutup mata terhadap darah dan air mata korban. Menyandingkan Marsinah dengan Soeharto adalah penghinaan terhadap korban” Ucap Dian Septi dari Marsinah.ID
Marsinah yang tewas dengan penyiksaan tubuh dan pemerkosaan menandakan bagaimana tubuh perempuan selalu dijadikan objek brutalitas setiap muncul konflik yang dianggap mengganggu kekuasaan terjadi.
Orde Baru, Ibuisme dan Penyingkiran Gerakan Perempuan
Pola kekerasan terhadap tubuh perempuan juga terjadi dalam tragedi pembantaian 1965, pemerkosaan massal 1998 terhadap perempuan Tionghoa, pembunuhan Ita Martadinata, konflik Papua dan Timor Timur. Kekerasan terhadap tubuh perempuan adalah nadinya kekuasaan Orde Baru, sebagai bagian membungkam gerakan perempuan.
“Orde Baru, meletakkan kekuasaan dengan membungkam gerakan perempuan, memberangus organisasi-organisasi perempuan”, tambah Mutiara Ika Pratiwi, dari Perempuan Mahardhika
Selain itu, Orde Baru berkepentingan mengembalikan perempuan ke ranah domestik melalui ideologi ibuisme yang secara sistematis menempatkan perempuan sebagai penanggung jawab tunggal kerja – kerja rumah tangga yang dianggap tak bernilai.
“Melalui ideologi ibuisme, Soeharto menguatkan kerja reproduksi sosial sebagai kerja perempuan, meletakkan kerja perawatan sebagai kerja tak bernilai yang memperkuat eksploitasi pekerja rumah tangga secara sistematis”, demikian kata Jumisih dari JALA PRT.
Dosa-dosa Soeharto, sang simbol Orde Baru melekat dalam ingatan korban, membayangi rakyat dalam perjalanan waktu serupa teror bahwa menjadi berani sama artinya kehilangan nyawa. Teror itu kini hendak dilanggengkan kembali dengan menghapus dosa Orde Baru, memutihkannya supaya ideologi kekerasan bisa terus direproduksi melalui represi dan pembungkaman.
Sehingga, menjadi penting bagi kami, Aliansi Perempuan Indonesia (API) sebagai gerakan perempuan untuk terus merapatkan barisan dan menyerukan:
- Menolak pengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
- Menuntut negara menuntaskan penyelidikan pelanggaran HAM masa Orde Baru
- Mendesak pemerintah menghormati ingatan sejarah korban, bukan menghapusnya lewat penghargaan politik.
Penghargaan kepada Soeharto bukan hanya kesalahan sejarah, tapi juga luka baru bagi korban. Bangsa ini tidak akan pernah benar-benar merdeka bila pelaku kekerasan justru dimuliakan, dan korban terus dilupakan.
Jakarta, 2 November 2025
Aliansi Perempuan Indonesia