Aliansi Perempuan Indonesia menyampaikan keprihatinan mendalam atas jatuhnya korban anak-anak akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah. Berdasarkan catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), pada akhir September, jumlah korban keracunan MBG telah mencapai 8.649 anak. Menurut pantauan CISDI, korban keracunan MBG terjadi di 52 kota/kabupaten di Indonesia per September 2025. Program yang seharusnya menjamin hak anak atas gizi, kesehatan, dan kesejahteraan, justru menimbulkan bahaya serius karena lemahnya perencanaan, pengawasan, dan standar pelaksanaan di lapangan.
Meski Presiden Prabowo telah memanggil sejumlah menteri dan Pemerintah telah mengeluarkan Surat Edaran tentang Percepatan Penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pada Program Makan Bergizi Gratis (MBG), namun kami berposisi bahwa Program MBG ini harus dihentikan, bukan disempurnakan.
Kami menilai, kebijakan MBG terlalu dipaksakan dan terkesan terburu-buru dijalankan tanpa kesiapan infrastruktur, tenaga pendukung, dan sistem pengawasan mutu yang memadai. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya dilindungi, malah menjadi korban kebijakan yang ceroboh. Anak-anak juga menjadi direnggut haknya untuk belajar dengan aman dan nyaman seperti biasanya.
MBG : Makanan Beracun Nir Gizi
Berdasarkan temuan di lapangan, menu MBG jauh dari standar makanan bergizi. Alih-alih menyediakan pangan lokal bergizi, MBG justru menyediakan menu burger hingga spaghetti atau makanan olahan lainnya yang jauh dari kata sehat atau bergizi. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana berdalih menu itu disajikan supaya anak-anak tidak bosan. Dalih ini justru menandakan bahwa penyelenggara MBG tidak peduli, abai dan ceroboh dalam memenuhi gizi anak-anak. MBG sudah tidak berfokus pada pemenuhan gizi anak dengan disajikannya makan-makanan nir gizi dan bahkan beracun.
Tidak sampai di situ, dalam paket MBG yang dibagikan pihak sekolah ke orang tua murid usai pengambilan rapor siswa di Tangerang Selatan pada bulan Juni silam, memuat makanan rendah gizi dan sarat gula seperti makanan kering, diantaranya biskuit. Selain biskuit, tersedia juga roti cokelat dan satu kotak susu cokelat kemasan dan satu saset minuman sereal rasa vanila, empat snack kentang, dan tiga kacang atom, satu kacang kulit. Ada pula buah-buahan seperti tiga buah jeruk dan satu buah pisang.
Temuan terkait rendahnya gizi menu MBG mengundang polemik dan saling lempar tanggung jawab antara Badan Gizi Nasional hingga Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Sementara, pemerintah daerah setempat mengeluhkan ketiadaan koordinasi antara pelaksana MBG dengan perangkat pemerintah daerah setempat. Sehingga, ketika keracunan melanda, pemerintah daerah mengaku kesulitan menangani dengan sigap.
Selain itu, mekanisme penyelenggaraan MBG dinilai tidak transparan dan tertutup sehingga Pemerintah Daerah kesulitan berkoordinasi. Mekanisme yang tidak akuntabel ini memperparah kondisi darurat keracunan MBG di berbagai tempat.
Kebijakan MBG di Tangan Militer: Bukan Ahlinya
Salah satu akar persoalan carut marutnya pelaksanaan MBG adalah dikuasainya struktur BGN oleh purnawirawan militer yang jelas bukanlah ahli gizi. Dalam konteks ini, disinyalir kepentingan politik menjadi latar belakang penempatan orang yang tidak tepat. Penempatan orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan MBG pada akhirnya lebih mengedepankan kepentingan politik balas budi atau bagi-bagi kue kekuasaan.
BGN sendiri dibentuk melalui Perpres No.83, Tahun 2024 sebagai lembaga pelaksana teknis dalam melaksanakan pemenuhan gizi nasional seperti koordinasi, pengawasan, penyediaan dan penyaluran gizi. Namun, dengan meletakkan purnawirawan militer yang awam terkait gizi dan memiliki gaya kepemimpinan militeristik, maka keputusan yang diambil tidak berbasis data lapangan. Artinya, keputusan diambil secara top down tanpa mendengar dan mempertimbangkan situasi di lapangan atau melalui diskusi dengan pelaku lapangan, apalagi para ahli gizi.
Dengan demikian, rezim Prabowo melihat MBG sebatas proyek mega besar untuk kepentingan politik, yang menguntungkan kroni-kroninya dan oligarki. Kepentingan gizi dan kesehatan anak, dilihat sebagai obyek politik. Hal itu semakin dipertegas dengan penyangkalan dan sikap meremehkan jatuhnya korban anak di berbagai wilayah. Prabowo hanya melihat korban anak sebagai angka statistik yang tak perlu diperhatikan keberlanjutan hidupnya
Kebijakan MBG, Sarang dan Rentan Korupsi
Dengan perkiraan anggaran sampai Rp 400 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat, MBG digadang-gadang sebagai program prioritas untuk menurunkan stunting dan memperkuat sumber daya manusia. Namun, pada prakteknya, kebijakan ini sarat dengan potensi korupsi. JPPI menjelaskan bahwa sekitar 67 persen dana MBG bersumber dari anggaran pendidikan.
Transparency International Indonesia (TII), melalui penelitiannya menyingkap beberapa indikator MBG sarat korupsi.
- Ketiadaan regulasi pelaksana, seperti Peraturan Presiden dan tidak dipatuhinya mandat pelaksanaan yang lintas sektor.
- Konflik kepentingan kronis, dimana sistem pelaksanaan tidak terbuka atau transparan. Mulai dari penunjukan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), struktur BGN hingga pelaksana distribusi.
- Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Rawan Manipulasi karena tidak dilakukan secara transparan.
- Lemahnya Pengawasan, sebagai akibat dari proses yang tidak terbuka atau transparan. Hal ini membuka peluang mark up harga yang dilakukan secara ugal-ugalan.
- Meningkatnya potensi kerugian negara, dimana Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya, melampaui batas maksimal defisit 3% PDB seperti yang diatur diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.
Dengan tingginya peluang korupsi dalam pelaksanaan MBG, sudah semestinya rezim Prabowo-Gibran meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama kepada anak-anak Indonesia yang menjadi korban kebijakan MBG. Maaf tentu saja tidak akan pernah cukup, dibutuhkan niat baik pemerintah untuk mengakui kesalahan dan berani mengevaluasi secara keseluruhan pelaksanaan MBG demi keselamatan anak Indonesia.
Aliansi Perempuan Indonesia menuntut:
- Hentikan program MBG secara nasional sampai ada evaluasi menyeluruh atas sistem, mekanisme distribusi, dan standar mutu gizi serta keamanan pangan.
- Bentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kasus-kasus jatuhnya korban anak, serta tindak tegas pihak-pihak yang bertanggung jawab.
- Libatkan organisasi masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan komunitas perempuan dalam penyusunan ulang kebijakan agar program gizi untuk anak benar-benar aman, bermutu, dan berpihak pada kepentingan terbaik anak.
- Alihkan sementara anggaran MBG untuk memperkuat fasilitas sekolah, layanan kesehatan anak, dan dukungan gizi berbasis keluarga serta komunitas.
Kami menegaskan bahwa hak atas gizi dan kesehatan tidak boleh dijadikan eksperimen politik. Anak-anak Indonesia bukan objek coba-coba kebijakan, melainkan generasi penerus bangsa yang wajib dijamin hak hidup, tumbuh, dan berkembangnya.
Jakarta, 7 Oktober 2025
Aliansi Perempuan Indonesia
Narahubung:
– Dian Septi : +6281804095097
– Wanda: +6282330805954
– Mutiara Ika: +6282213587565