Perempuan kerap kali menjadi sasaran pembunuhan. Maka dari itu, Indonesia perlu merancang aturan khusus terkait hal ini.
Setiap tahun, kasus pembunuhan berbasis gender meningkat seiring dengan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada Juli lalu di Semarang, seorang perempuan dibunuh dan dimutilasi, jasadnya lalu dibuang ke sungai. Pelakunya merupakan pacar korban yang mengaku sakit hati.
Tak hanya itu, seorang mayat perempuan ditemukan di dalam sebuah tas di pinggir jalan pada awal September kemarin. Setelah diselidiki kepolisian, perempuan tersebut dibunuh oleh suaminya sendiri.
Satu bulan kemudian, perempuan berusia 31 tahun ditemukan tewas dengan leher tersayat di sebuah penginapan di Kota Batu. Pelaku merupakan laki-laki desa setempat.
Tak hanya di Indonesia, seruan pembunuhan terhadap perempuan justru pernah diungkapkan mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte pada 2020 lalu. Di hadapan veteran perang, Duterte menyerukan untuk menembak vagina perempuan yang tergabung dalam kelompok komunis New People’s Army (NPA).
Berdasarkan pantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan mengenai pembunuhan terhadap perempuan sepanjang tahun 2019 yang dikompilasi dari media daring, terdapat 145 kasus yang diberitakan media daring. Dari pantauan yang kemudian dituliskan dalam Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019 itu, jumlah kasus tertinggi tercatat di awal dan akhir tahun, yakni Januari terdapat 24 kasus dan Desember terdapat 21 kasus. Terdapat penurunan kasus sejak Februari hingga April. Namun, terjadi peningkatan di bulan Mei. Kasus kembali turun di bulan Juni sampai November, sebelum mengalami peningkatan di bulan Desember. Pada kasus pembunuhan terhadap perempuan di tahun tersebut, pelaku terbesar adalah suami.
Sebelumnya, jumlah pemberitaan kasus pembunuhan terhadap perempuan di media adalah 94 kasus di tahun 2018. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan pemberitaan kasus pembunuhan terhadap perempuan di tahun 2019 sebanyak 51 kasus.
Pada tahun berikutnya, Komnas Perempuan kembali memantau berdasarkan pemberitaan media daring yang dirangkum dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020. Hasilnya, terdapat 97 kasus pembunuhan terhadap perempuan yang tersebar di 25 provinsi, dengan lima provinsi tertinggi yaitu Jawa Barat sebanyak 14 kasus, Jawa Timur sebanyak 10 kasus, Sulawesi Selatan sebanyak 10 kasus, Sumatera Selatan sebanyak 8 kasus, serta Sumatera Utara sebanyak 7 kasus.
Komnas Perempuan menyimpulkan, empat besar pemicu femisida adalah rasa cemburu, ketersinggungan maskulinitas, hubungan seksual yang ditolak, dan didesak bertanggung jawab atas kehamilan tidak dikehendaki.
Layaknya fenomena gunung es, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan yang disebutkan oleh media hanyalah segelintir dari banyaknya kasus-kasus yang sebenarnya terjadi di sekitar kita. Fenomena ini terjadi karena kekerasan terhadap perempuan masih belum mendapat perhatian khusus oleh pemerintah dan masyarakat.
Femisida sebagai Kekerasan Tertinggi terhadap Perempuan
Selama ini, perempuan kerap menjadi korban pembunuhan berbasis gender, atau yang dikenal dengan sebutan femisida. Femisida dianggap menjadi spektrum paling tinggi dalam kekerasan terhadap perempuan. Femisida juga mesti dibaca sebagai puncak penaklukan atau agresi laki-laki terhadap perempuan.
Istilah femisida sendiri pertama kali digunakan oleh Diana Russel pada International Tribunal on Crimes Against Women (1976) dan mengartikannya sebagai “pembunuhan misoginis terhadap perempuan oleh laki-laki”. Ia merupakan penulis sekaligus aktivis feminis kelahiran Afrika Selatan yang fokus pada studi tentang kekerasan terhadap perempuan.
Selanjutnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Sidang Umum Dewan HAM PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan karena ia perempuan, dalam beragam bentuk pembunuhan. Femisida terjadi karena didorong oleh keinginan untuk mendominasi, penundukan, agresi, dan pemuas kenikmatan sebab perempuan dipandang sebagai properti.
Terdapat sebelas bentuk femisida yang dirumuskan dalam Deklarasi Wina tentang Femisida pada 2012, yaitu kekerasan rumah tangga atau pasangan intim, penyiksaan dan pembunuhan misoginis terhadap perempuan, pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan atas nama “kehormatan” (honour killing), pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan dalam perang bersenjata, pembunuhan terkait mahar, pembunuhan karena orientasi seksual dan identitas gender, pembunuhan terhadap perempuan aborigin atau perempuan masyarakat adat, pembunuhan bayi perempuan dan janin berdasarkan seleksi jenis kelamin, kematian terkait pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (female genital mutilation), tuduhan sihir, serta femisida lain yang terkait dengan geng, kejahatan terorganisir, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan penyebaran senjata api.
Femisida dapat pula dikatakan sebagai representasi misoginis karena kentalnya kultur patriarki yang dipupuk secara terus-menerus, kemudian menghasilkan kekerasan yang spesifik. Dalam konteks ini, perempuan tersubordinasi karena diposisikan pada ranah-ranah domestik semata. Perempuan diidentifikasi masyarakat dengan perannya di dapur atau mengurus rumah tangga, lalu menimbulkan pelabelan serta diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan munculnya maskulinitas yang secara tidak langsung menjadi faktor penyebab laki-laki melakukan kekerasan. Misalnya, ketika laki-laki tumbuh dalam keluarga yang tidak sehat kemudian selalu dipertontonkan dengan kekerasan dalam keluarganya.
Mereka melihat ini sebagai kekerasan yang dibenarkan, karena perempuan dianggap sebagai makhluk subordinat. Pada akhirnya, sifat maskulinitas ini menjadi tidak tergoyahkan yang kemudian membuahkan kekerasan yang spesifik, termasuk femisida.
Perlunya Aturan Khusus
Patriarki akhirnya juga berdampak pada bagaimana perempuan diposisikan dalam ranah hukum. Permasalahan yang terjadi pada perempuan masih dianggap sebagai wilayah yang sifatnya pribadi dan privat. Hal inilah yang menyebabkan kesulitan dalam mencari keadilan dalam konteks kekerasan pada perempuan.
Ketika menyangkut kasus pembunuhan, barulah masyarakat dan pemerintah membuka matanya. Padahal, kasus pembunuhan pada umumnya tidak dapat disamakan dengan kasus pembunuhan yang menyasar pada perempuan. Kasus femisida harus diatur dalam aturan khusus.
Saat ini, tidak semua negara di dunia yang memasukkan perkara femisida dalam aturan khusus. Bahkan, hanya beberapa negara di Amerika Latin yang mungkin menjadi tempat femisida tumbuh subur. Contohnya Meksiko yang pada 2020 lalu menyetujui hukuman yang lebih berat untuk pembunuhan pada perempuan.
Selain Meksiko, Brasil juga menjadi salah satu negara di Amerika Latin yang berupaya menghentikan femisida melalui hukum. Ia tidak masuk dalam pidana pembunuhan seperti pada umumnya, melainkan berdiri sendiri yang didorong kebencian berbasis gender. Femisida di Brasil berarti hukuman penjara 12 sampai 30 tahun.
Di Brasil, angka pembunuhan terhadap perempuan menembus angka 1.000 selama 2018 sampai 2021, dengan jumlah rata-rata sebanyak 1.314 kasus. Bila diringkas, femisida terjadi setiap 7 jam di Brasil.
Di Indonesia sendiri, femisida tidak mendapat perhatian khusus. Hal ini terlihat dari pendataan yang masih mengategorikan kasus femisida sebagai tindak kriminal biasa. Selama ini, sanksi bagi kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian seorang perempuan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pandangan aparat penegak hukum pun masih bersifat normatif. Padahal femisida merupakan bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan dan manifestasi dari diskriminasi terhadap perempuan dan ketidaksetaraan gender.
Layaknya Meksiko dan Brasil, sudah saatnya bagi Indonesia untuk menempatkan femisida dalam aturan khusus. Sebab, tidak ada teks dalam KUHP mengenai dimensi-dimensi relasi kuasa atau dimensi kekhasan ketika pembunuhan terjadi.
Hal ini membuat femisida dianggap sama dengan peristiwa-peristiwa pembunuhan lain yang tidak ada dimensi kekerasan berbasis gender. Sanksi yang dijatuhkan masih tidak memberikan efek jera pada pelaku, dan juga seseorang yang berpotensi menjadi pelaku.
Meningkatnya kasus femisida setiap tahunnya tanpa ada solusi untuk menghentikan atau meminimalisirnya, menunjukkan bahwa perlindungan bagi perempuan Indonesia untuk terbebas dari kekerasan berbasis gender masih belum dijamin oleh negara. Pasalnya, pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakat dan membuat suatu kebijakan dari sebuah permasalahan yang terjadi di masyarakat, salah satunya tentang isu femisida ini.
Melalui pernyataan pers berjudul Femisida sebagai Puncak Kekerasan Berbasis Gender: Meningkat, Tidak Dikenali dan Diabaikan Negara Desember 2020 lalu, Komnas Perempuan meminta pemerintah dan DPR mengintegrasikan isu femisida dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Selain itu, kepolisian juga diharap melakukan pendokumentasian secara nasional dengan memilahan gender korban pembunuhan agar terpetakan penyebab dan pola femisida di Indonesia.
Kendati demikian, Indonesia memang telah menerbitkan berbagai aturan hukum untuk melindungi korban dan mencegah kekerasan, diantaranya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang HAM, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Namun, masih banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung hingga saat ini.
(Pertama kali diterbitkan pada 19/11/22, terdapat update pada bagian cover dan penentuan rubrik)
foto oleh Lee Seung-yeup dalam koreatimes.co.kr