Anak perempuan di seluruh dunia masih menghadapi berbagai permasalahan menyangkut pendidikan, kesehatan fisik maupun mental, serta perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi. Apalagi, anak perempuan penyandang disabilitas juga menghadapi berbagai tantangan untuk mendapat akses dukungan dan layanan yang memadai.
Masalah berbasis gender yang tak dapat dipungkiri lainnya adalah pernikahan anak yang dihadapi setiap anak perempuan di seluruh dunia. Padahal, begitu banyak dampak buruk pernikahan anak bagi perempuan, baik fisik maupun psikis. Tingginya tingkat kematian ibu usia remaja dan bayi, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perceraian pada perkawinan usia muda. Perkawinan paksa yang umumnya menimpa anak perempuan, kerap kali menghambat pendidikan dan karier mereka karena adanya relasi kuasa oleh suami yang biasanya terpaut perbandingan usia yang begitu jauh. Adanya ketimpangan relasi kuasa tersebut juga menempatkan perempuan menjadi rentan terhadap kekerasan.
Dari aspek kesehatan, anak perempuan yang menikah di usia muda juga berisiko mengalami keguguran, gangguan fungsi reproduksi, komplikasi medis, hingga ancaman kematian baik pada ibu maupun pada anak saat proses melahirkan.
Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tantangan bersama dan perlu adanya upaya seluruh pihak untuk melindungi kelompok tersebut. Sebab, menurut Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15 sampai 64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual; 1 dari 4 perempuan yang pernah/sedang menikah pernah mengalami kekerasan berbasis ekonomi; dan 1 dari 5 perempuan yang pernah/sedang menikah mengalami kekerasan psikis. Meskipun di Indonesia sudah ada aturan-aturan yang menyangkut perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, implementasinya masih jauh dari harapan.
Selain regulasi, perlindungan terhadap perempuan, khususnya anak perempuan, juga diperingati setiap 11 Oktober sebagai International Day of The Girl Child atau Hari Anak Perempuan Sedunia. Merujuk laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), peringatan ini bertujuan untuk menyuarakan hak-hak anak perempuan di seluruh dunia dalam menghadapi tantangan yang mereka tempuh.
Berdasarkan sejarahnya, Hari Anak Perempuan Sedunia tercetus ketika Konferensi Dunia tentang Perempuan di Beijing, Cina pada 1995. Saat itu, perwakilan negara-negara merumuskan agenda untuk memajukan hak-hak perempuan dan anak perempuan. Deklarasi Beijing ini kemudian dikenal sebagai yang pertama secara khusus menyerukan hak-hak anak perempuan.
Kemudian pada 19 Desember 2011, Majelis Umum PBB mengangkat Resolusi 66/170 dan resmi menetapkan 11 Oktober sebagai Hari Anak Perempuan Sedunia. Peringatan itu bertujuan untuk memberdayakan hak-hak anak perempuan dan tantangan yang dihadapi anak perempuan di seluruh dunia.
Hari Anak Perempuan Sedunia tahun ini mengambil tema “Our time is now – our rights, our future”, yang artinya “Waktu Kita adalah Sekarang–Hak-hak Kita, Masa Depan Kita”. Tema yang diusung oleh The United Nations Children’s Fund (UNICEF) ini mengindikasikan dibutuhkannya investasi dalam menegakkan hak-hak anak perempuan dalam menghadapi berbagai tantangan. Sebab, pemenuhan terhadap hak-hak mereka masih dianggap terbatas. Anak perempuan acap kali menghadapi berbagai tantangan untuk memenuhi potensi mereka yang diperburuk oleh krisis bersamaan dengan perubahan iklim, Covid-19, dan konflik kemanusiaan.
Melalui tema ini, UNICEF memberikan tiga cara untuk mendukung anak perempuan seluruh dunia. Pertama, mendukung kepemimpinan anak perempuan di garis depan dalam upaya perubahan, termasuk dengan mendengarkan suara mereka, menanggapi permintaan mereka, dan memberikan ruang untuk keterlibatan mereka dalam mengambil keputusan. Kedua, meningkatkan sumber daya pada anak perempuan, termasuk untuk organisasi yang mendukung pendidikan berkualitas dan kesejahteraan mereka. Ketiga, meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan inklusif yang berpusat pada anak perempuan setiap saat, terutama dalam hal merespons dan pemulihan krisis.