Perempuan Menolak Lupa: Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto, Usut Tuntas Kejahatan HAM Orde Baru

Di tengah situasi politik yang semakin otoriter dan militeristik di bawah rezim Prabowo, negara kembali berupaya memutihkan sejarah kekerasan Orde Baru. Menjelang hari pahlawan 10 November 2025 Kementerian Sosial tengah mengajukan 40 nama untuk menerima gelar Pahlawan Nasional, dan di antara nama-nama itu terdapat Soeharto, mantan diktator yang memimpin selama 32 tahun dengan jejak panjang pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan penindasan terhadap rakyat.

Langkah ini adalah upaya menulis ulang sejarah yang memperkuat arah politik untuk memulihkan simbol-simbol Orde Baru di tengah kebangkitan militerisme saat ini. Militer kembali menguasai ruang sipil, aktivis dikriminalisasi, dan kekerasan negara terhadap rakyat terus berulang.

Menyikapi hal ini, Aliansi Perempuan Indonesia (API) menggelar konferensi pers bertema “Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto. Usut Tuntas Kejahatan HAM Orde Baru”, Minggu (2/11) lalu. Konferensi ini menghadirkan berbagai organisasi perempuan dan masyarakat sipil: Dian Septi (Marsinah.id), Sari Wijaya (YAPPIKA-FPPI), Yolanda Panjaitan (Cakra Wikara Indonesia), Luviana (Konde.co), Mutiara Ika Pratiwi (Perempuan Mahardhika), Diyah Wara Restiyati (Perkumpulan Kecapi Batara Indonesia), dan Jumisih (JALA PRT), dengan moderator Audrey K. M. dari ICJR.

Soeharto Tidak Layak Jadi Pahlawan

Dalam penyampaian sikapnya, Mutiara Ika Pratiwi, Ketua Perempuan Mahardhika, menegaskan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bagian dari upaya sistematis untuk “menggerogoti demokrasi dan capaian reformasi” di Indonesia.

“Proses untuk memuluskan Soeharto menjadi pahlawan bukan hal baru. Ini sudah diupayakan sejak 2010, lalu dicoba lagi tahun 2015, dan terakhir pada 2024 ketika TAP MPR yang mencabut nama Soeharto sebagai aktor KKN dihapus. Semua ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk memutihkan sejarah dan merusak demokrasi,” ungkap Ika.

Ia menegaskan bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan bukan hanya tindakan yang mengabaikan sejarah, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap jutaan korban kekerasan negara selama Orde Baru.

“Tidak ada landasan moral maupun ideologis untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan. Ia adalah penguasa yang menancapkan ideologi militerisme, membungkam kebebasan berpikir, dan menghancurkan gerakan perempuan,” tegasnya.

Rezim Militeristik dan Warisannya Hingga Kini

Mutiara Ika menyoroti tiga aspek utama mengapa Soeharto tidak pantas menerima gelar pahlawan. Pertama, ideologi militerisme yang diperkuat melalui kebijakan dwifungsi ABRI dan kini muncul kembali dalam bentuk multifungsi TNI.

Kita sedang menyaksikan bagaimana wewenang militer kembali meluas di ranah sipil. Ini bukan kebetulan. Pola yang dulu dijalankan Orde Baru kini dihidupkan kembali, dan itu sangat membahayakan demokrasi serta hak-hak rakyat,” jelasnya.

Kedua, ia menyinggung kebijakan larangan ideologi marxisme melalui TAP MPRS 1966 yang menjadi dasar pembungkaman kebebasan berpikir dan berorganisasi.

“Larangan berpikir dan berideologi itu melegitimasi kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk terhadap gerakan buruh, Partai Komunis Indonesia, dan gerakan perempuan anti-imperialis. Ini adalah akar represi negara yang masih terasa hingga hari ini,” ujar Ika.

Ketiga, ia menekankan bahwa Soeharto telah menundukkan dan menghancurkan gerakan perempuan melalui ideologi ibuisme negara, yang menjadikan perempuan hanya sebagai pendamping suami dan menyingkirkan mereka dari ruang politik.

“Orde Baru membentuk politik perempuan yang tunduk. Organisasi perempuan yang punya semangat pembebasan dibubarkan, dan perempuan ditempatkan sebagai objek pembangunan, bukan subjek perjuangan. Inilah warisan Soeharto yang masih harus kita lawan,” tambahnya.

Pelanggaran HAM dan Tuntutan Keadilan

Dalam pemerintahan sebelumnya, negara telah mengakui 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, dan 8 di antaranya terjadi di masa Orde Baru. Fakta ini, menurut Mutiara Ika, sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Soeharto tidak layak dihormati sebagai pahlawan.

“Yang perlu dilakukan bukan memberikan gelar pahlawan, tapi mengusut tuntas kejahatan HAM Orde Baru. Ribuan korban kekerasan negara belum mendapat keadilan hingga hari ini,” ujarnya.

Ika juga mengkritik pernyataan pejabat publik seperti Mahfud MD yang menyebut bahwa semua presiden layak menjadi pahlawan nasional.

“Pernyataan itu menyesatkan. Kita tidak bisa menutup mata terhadap rekam jejak kekerasan dan pelanggaran HAM di masa Soeharto. Ia bukan pahlawan, tapi simbol dari kediktatoran dan militerisme yang menindas rakyat,” tegasnya.

Menolak Lupa, Melawan Pemutihan Sejarah

Konferensi pers ini menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil untuk menolak pemutihan sejarah dan menegaskan bahwa perjuangan perempuan adalah perjuangan melawan kekerasan negara, militerisme, dan penindasan.

Pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto adalah bentuk pelecehan terhadap sejarah perjuangan rakyat dan korban Orde Baru. Perempuan, menolak lupa dan menolak tunduk pada upaya negara yang ingin menghapus jejak kekerasan masa lalu.

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close