Aliansi Perempuan Indonesia
Jakarta, 25 November 2024 – Aliansi Perempuan Indonesia (API) yang beranggotakan lebih dari 30 organisasi baik itu perempuan, pekerja, disabilitas, mahasiswa, LGBTIQ+, jurnalis, HAM dan kelompok pro demokrasi lainnya melakukan Aksi Protes “Perempuan Menggugat Negara”. Sikap tersebut adalah respon terhadap negara yang saat ini memiliki andil besar atas penindasan dan eksploitasi yang dialami oleh perempuan. Negara yang hakikat fungsinya adalah untuk melaksanakan amanat rakyat, mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan, menegakkan keadilan, justru bersikap sebaliknya.
Orientasi kebijakan rezim pemerintahan baru Prabowo-Gibran yang tercermin dalam program Asta Cita dan prioritas kerja 100 hari tidak menyentuh kedaruratan situasi kekerasan terhadap perempuan. Fokus terhadap industri ekstraktivisme, pembangunan infrastruktur dan investasi modal, tidak hanya menunjukkan bagaimana pemerintahan Prabowo Gibran adalah rezim baru yang melanjutkan agenda lama pemerintahan Jokowi, namun juga menunjukkan sebuah rezim baru yang berpotensi melanggengkan kekerasan terhadap perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk baik itu seksual, KDRT, kekerasan ekonomi dan tak jarang berujung pada pembunuhan perempuan terus menerus terjadi. Meski telah ada payung hukum yang seharusnya dapat melindungi perempuan, namun lemahnya komitmen dan prioritas negara dalam pencegahan dan penanganan menyebabkan problem kekerasan terhadap perempuan tidak menemui solusi.
Alih-alih memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan melalui kebijakan yang telah lama di dorong masyarakat antara lain UU PPRT, UU Masyarakat Adat, pemerintah justru berfokus dan ambisius melahirkan berbagai produk kebijakan yang tidak menjawab akar permasalahan perempuan. Padahal sekitar 5 juta PRT berada dalam ketidakpastian perlindungan hukum dan kerap mengalami kekerasan berlapis. PRT adalah pensupport lajunya ekonomi di negara kita, yang sampai hari ini sudah 20 tahun menanti pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang. Melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, pemerintah justru terlihat
berambisi negara menjual murah tenaga kerja dan kekayaan sumber daya alam serta mempermudah masuknya investasi dengan dalih untuk kepentingan umum. Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 adalah penegasan bahwa Undang-undang Nomor 6 tahun 2023 sejatinya dibuat secara ugal-ugalan, karenanya, ini menjadi kesempatan bagi pemerintahan saat ini untuk mematuhi putusan MK tersebut dan segera membuat hukum yang lebih adil dan partisipatif.
Proyek Strategis Nasional, Perkebunan Skala Besar dan Industrialisasi yang disertai dengan aksi-aksi militerisme merupakan warisan kolonial karena terbukti panen masalah, rakus akan tanah dan merampas sumber penghidupan perempuan yang selama ini lekat dengan perawatan lingkungan. Proyek pembangunan ini telah merusak alam dan berdampak secara tidak proporsional terhadap perempuan. Pembangunan IKN misalnya, telah mengakibatkan krisis air di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur karena menurunnya kualitas air yang berubah warna menjadi kecoklatan. Krisis air ini pun memiliki dampak yang berbeda bagi perempuan, khususnya terkait sanitasi dan higienitas ketika mengalami menstruasi setiap bulannya. Belum lagi, perempuan secara tradisional dibebankan dengan kerja-kerja domestik, seperti mencuci dan memasak, sehingga krisis air akan menggandakan beban perempuan untuk mencari sumber air bersih.
Ketika air yang menjadi sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan dasar mengalami krisis, hal ini akan mengganggu tatanan reproduksi sosial untuk keberlanjutan peradaban masyarakat
Situasi tersebut adalah gambaran bagaimana pemerintahan saat ini terus melanggengkan pemiskinan struktural, yang membuat perempuan berada pada situasi tidak aman, eksploitatif dan menerima upah murah. Proyek-proyek pembangunan pun saat ini mengkampanyekan tagline “Hijau” seperti “Green City” “Eco-City” yang jika ditelusuri lebih jauh hanya membangun citra investor agar terlihat baik, seolah-olah pembukaan lahan atau alih fungsi lahan untuk kepentingan berbagai mega proyek tidak merusak alam dan tidak berdampak pada kehidupan perempuan dan kerusakan lingkungan.
Jaringan API terus mencatat berbagai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi akibat perampasan lahan di berbagai wilayah. Di Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah misalnya, Badan Bank Tanah yang dibentuk sejak tahun 2021 telah secara sepihak mengklaim lahan Eks HGU PT Sandabi Indah Lestari (SIL) seluas 7.740 Ha. Dalam luasan lahan yang diklaim tersebut ada tanah adat dan lahan pertanian produktif masyarakat. Klaim tanah sepihak ini memicu perlawanan dari masyarakat yang mempertahankan sumber-sumber agrarianya. Selain itu, skema perampasan lahan dan tanah masyarakat yang dikuasai oleh negara dan korporasi atas nama pembangunan untuk kepentingan umum seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) Food-Estate(Lumbung Pangan), Bendungan, Pelabuhan, Proyek Energi Geothermal dan PLTA Poso Energy juga tersebar dengan subur di provinsi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Lampung, Maluku Utara, NTT dan Tanah Papua. Proyek PSN di sejumlah provinsi ini terbukti gagal dan menimbulkan konflik sosial agraria di Masyarakat (Sumber data : Solidaritas Perempuan dan FAMM Indonesia).
Masyarakat bersuara dan berjuang untuk merebut kembali haknya atas tanah dan sumber-sumber penghidupannya. Namun, masyarakat justru di intimidasi, diteror dan bahkan kriminalisasi oleh aparat kepolisian tanpa ada perlindungan hukum. Pun demikian dengan rekan-rekan jurnalis yang menyebarluaskan perjuangan masyarakat yang mengalami ketidakadilan ini. Skema perampasan ruang agraria rakyat tersebut dilegitimasi melalui UU No. 2 tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk kepentingan umum.
Dari berbagai situasi di atas Aliansi Perempuan Indonesia menuntut negara untuk:
1. Memprioritaskan agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan, salah satunya dengan menerbitkan Instruksi Presiden untuk percepatan implementasi UU TPKS No.12/2022, UU PKDRT No 23/2004, Segera Mengesahkan RUU PPRT dan penegakan hukum lain yang berpihak pada perempuan.
2. Mencabut semua kebijakan pro investasi dan anti demokrasi yang justru menciptakan pemiskinan struktural, menghancurkan ruang penghidupan perempuan dan membatasi ruang gerak masyarakat sipil, seperti : UU Cipta Kerja; UU No.2 thn 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum; Pasal karet dalam UU ITE, dan kebijakan lainnya.
3. Menghentikan proyek pembangunan dan strategis nasional yang merusak alam
4. Menghentikan proyek transisi energi yang merebut hak hidup masyarakat, khususnya perempuan dan menjalankan Rencana Aksi Gender Perubahan Iklim (RAN-GPI) dengan mengedepankan partisipasi bermakna perempuan, serta memastikan pemenuhan dan penghormatan hak perempuan atas sumber penghidupan.
5. Menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM
Narahubung :
Mutiara Ika – 082213587565 | Midha Karim – 082187486528 | Fanda Puspitasari – 081359228484 | Amelia –
082291853619 | Jumisih – 08561612485 | Nindya Utami – 085252135567