Perempuan: Dimiskinkan, Dibunuh, Dikriminalkan! Perempuan Melawan dan Menggugat Negara!

Jakarta, 8 Maret 2025 – Aliansi Perempuan Indonesia (API) yang beranggotakan lebih dari 30 organisasi baik itu perempuan, pekerja, disabilitas, mahasiswa, LGBTIQ+, jurnalis, HAM dan kelompok pro-demokrasi lainnya melakukan Aksi Protes sebagai respon perlawanan dan gugatan terhadap pemerintahan di bawah Prabowo-Gibran yang tidak melindungi perempuan. Dari pemangkasan anggaran sosial, kesehatan dan pendidikan, eksploitasi sumber daya alam, pelemahan penindakan korupsi pejabat hingga peningkatan represi terhadap kebebasan berekspresi, pemerintahan Prabowo-Gibran malah berandil besar dalam memiskinkan perempuan, melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, mengkriminalkan perlawanan perempuan bahkan membiarkan pembunuhan perempuan.

 

Perempuan dimiskinkan: Jaminan lapangan pekerjaan yang dijanjikan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran adalah omong kosong belaka. Setelah setidaknya 80.000 buruh ter-PHK pada tahun 2024, di tahun 2025 ini angka PHK berpotensi bertambah hingga mencapai 280.000 buruh. Industri tekstil yang sebagian besar buruhnya adalah perempuan, merupakan sektor industri yang melakukan PHK massal tersebut. PHK yang terjadi saat ini adalah bentuk pemiskinan struktural pada perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia. 

 

Pemerintah tidak pernah serius melakukan perlindungan terhadap hak atas pekerjaan dan jaminan pendapatan. RUU PPRT yang diharapkan dapat memberi akses jaminan kerja layak karena pengakuan PRT sebagai kerja justru mengalami langkah mundur, jauh dari harapan untuk segera disahkan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. 

 

Perempuan disabilitas sulit mengakses lapangan kerja karena masih terdapat surat sehat jasmani dan rohani yang menjadi salah satu syarat rekrutmen tenaga kerja. Hal ini jelas berdampak pada penyingkiran disabilitas sebagai tenaga kerja. Ditambah lagi tempat-tempat kerja tidak menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak seperti diamanatkan dalam UU Disabilitas yang tentu menambah kesulitan orang dengan disabilitas dalam bekerja. UU Cipta Kerja juga berlaku diskriminatif yang secara eksplisit memberikan peluang kepada pemberi kerja untuk memecat pekerja atas dasar disabilitas.

 

Praktik perampasan tanah dan penyingkiran perempuan dari diskursus swasembada pangan telah berdampak pada pemiskinan struktural pada perempuan-perempuan adat. Melanggengkan proses migrasi paksa yang menempatkan perempuan menjadi buruh murah dan rentan kekerasan.

 

Perempuan dibunuh: Meningkatnya femisida atau kasus pembunuhan perempuan baik oleh orang tak dikenal maupun orang terdekat mereka: suami (48 kasus), pasangan, anggota keluarga, sanak saudara, tetangga. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 700 kasus femisida terjadi hanya dalam waktu 3 tahun dari 2020 hingga 2023, belum terhitung yang tidak diberitakan. 

 

Lemahnya penegakan hukum atas kasus-kasus femisida, nihilnya perlindungan pelapor kasus femisida, perempuan disabilitas mental dan intelektual oleh hukum digolongkan tidak cakap dalam membuat keputusan, dan minimnya penanganan sistemik oleh kepolisian maupun pemerintah termasuk DPR yang berwenang merevisi kebijakan supaya lebih melindungi perempuan, menunjukkan negara turut andil dalam pembunuhan perempuan! Mereka mengabaikan penegakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). 

 

Perempuan dikriminalkan: Komnas Perempuan mencatat setidaknya ada 15 kasus kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM menggunakan pasal KUHP dan UU ITE selama dalam rentang waktu 2018-2021. Maraknya intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi mengancam kebebasan berekspresi perempuan yang memperjuangkan hak-haknya. 

 

Sementara itu, terdapat ribuan perempuan disabilitas psikososial yang dikurung di panti rehabilitasi mental dan mengalami kekerasan, kekerasan seksual hingga penyiksaan. Mereka mengalami kontrasepsi/sterilisasi paksa, pelecehan seksual hingga perkosaan. Hingga kini perempuan disabilitas psikososial tidak dapat melaporkan kasusnya ke layanan pengaduan/polisi karena terkurung di institusi serupa penjara, ditambah layanan pengaduan/pelaporan yang masih bersifat pasif menunggu korban datang melapor.

 

Kriminalisasi dilakukan terhadap petani yang memperjuangkan tanahnya seperti petani masyarakat Kapa Sumatera Barat, Kubu Raya Kalimantan Barat, Kwala Langkat Sumatera Utara; pendidik, akademisi dan pejuang lingkungan hidup yang mengkritik kerusakan lingkungan; buruh migran yang berjuang memperbaiki hidup seperti Sofiatun; dan pengungkapan data pribadi ke publik para pembela HAM yang bersuara.

 

Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia: Melihat berbagai praktik kebijakan negara yang semakin anti perempuan, rakyat miskin dan semakin merusak lingkungan, maka kami : 

 

  1. Menuntut Pemerintah Prabowo-Gibran untuk segera menjamin hak atas pekerjaan yang layak bagi setiap orang dengan menerapkan kebijakan yang melindungi buruh termasuk  buruh perempuan, PRT, perempuan buruh migran, perempuan petani, pengakuan perempuan nelayan, perempuan pengemudi ojek online dan transportasi publik lainnya, perempuan disabilitas, perempuan adat, pendidik dan akademisi perempuan, mahasiswa perempuan, perempuan LBTIQ+, anak perempuan, dan perempuan korban kekerasan termasuk kekerasan seksual dan pembunuhan atau femisida.
  2. Menuntut Pemerintah Prabowo-Gibran untuk menghentikan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melanggengkan praktik perampasan tanah, perusakan hutan dan lingkungan, serta menyingkirkan perempuan dan masyarakat adat dari ruang hidupnya.

 

  1. Menuntut Pemerintah Prabowo-Gibran untuk menghentikan efisiensi anggaran pada lembaga-lembaga yang memberi layanan pada perempuan korban kekerasan, memperbaiki implementasi UU PKDRT dan UU TPKS, termasuk melakukan penjangkauan kepada panti-panti rehabilitasi mental untuk memberikan perlindungan kepada perempuan disabilitas korban kekerasan panti serta membubarkan panti rehabilitasi sebagai sumber perampasan kebebasan terhadap perempuan psikososial; dan mereformasi aparat keamanan dan pengadilan negeri seluruh Indonesia supaya menindaklanjuti kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dari kekerasan seksual hingga femisida dengan perspektif yang berkeadilan gender.
  2. Menuntut Pemerintah Prabowo-Gibran menghentikan pemangkasan anggaran pendidikan, segera mewujudkan pendidikan gratis dan demokratis. 
  3. Menuntut DPR RI segera mengesahkan RUU PPRT, RUU Keadilan Iklim, RUU Masyarakat Adat yang berspektif gender dan Revisi UU PPMI dengan memastikan perlindungan bagi pekerja migran sebagai tanggung jawab negara dalam melindungi, mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat khususnya perempuan, dan mencabut semua kebijakan yang pro investasi dan anti demokrasi diantaranya UU Ciptaker yang menciptakan pemiskinan berwajah perempuan.
  4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil dan organisasi untuk terus ikut aktif menyuarakan gugatannya atas situasi nasional yang memprihatinkan saat ini dan melawan tindakan diskriminatif pemerintah dan kelompok-kelompok yang melakukan kekerasan terhadap perempuan dan minoritas termasuk teman-teman LGBTIQ+.

 

8 Maret 2025

Aliansi Perempuan Indonesia 

Narahubung: Ajeng 0811-1313-760 | Afifah 0878-41511-460 | Jumisih 0856-1612- 485 | Nabila  0896-9368-0646  | Amel 0822-9185-3619



Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close