Pandemi Covid-19 menjadikan kita lebih sadar akan pentingnya ketersediaan air bersih sebagai sarana untuk mencegah berbagai penyakit menular. Namun, akses terhaddap ketersediaan air bersih ini sering kali tidak terjangkau oleh masyarakat. Salah satunya adalah karena adanya perampasan hak atas air yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terus menerus diizinkan untuk melakukan ekspansi.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit ini terus didorong oleh pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2000-an untuk memenuhi permintaan global akan minyak sawit. Secara global, produksi minyak sawit mencapai 72 juta ton dan Indonesia memproduksi 35 juta ton per tahunnya. Daerah perkebunan kelapa sawit di Indonesia sendiri utamanya ada di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Saat ini, Indonesia memiliki 14 juta hektar perkebunan sawit dan direncanakan terus didorong hingga mencapai 26 juta hektar.
Akibat dari ekspansi perkebunan kelapa sawit ini, cadangan air di kedua wilayah tersebut menipis. Ini ditambah dengan cadangan air virtual di kedua wilayah Sumatera dan Kalimantan dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit. Air virtual adalah air yang digunakan dalam proses produksi makanan dan bidang sejenis. Unesco.org mencatat 80% air virtual global digunakan untuk untuk produksi terkait bidang agrikultur. Perampasan air virtual memperlihatkan tahap lanjutan dari liberasi air selain privatisasi Air Minum dalam Kemasan (AMDK).
Diskusi terbatas bertajuk “Sungai Beracun Perlawanan Merebut Kembali Air dari Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” pada Jumat, 22 Januari 2021 oleh Kruha, Grain dan Ecoton melaporkan keadaan 2 kabupaten di daerah Kalimantan Barat, Sambas dan Ketapang. Dua kabupaten tersebut merupakan kabupaten dengan perkebunan sawit terluas di Kalimantan Barat.
Di Sambas, tepatnya di Desa Semanga, terdapat dua perkebunan kelapa sawit, PT. Agro Nusa Investama, anak perusahaan Wilmar Internasional dan PT. Wana Hijau Semesta, anak perusahaan grup Duta Palma, dengan luas lahan sekitar 208 hektar. Kejadian seperti berkurangnya tangkapan ikan nelayan atau ikan yang tiba-tiba mati di sungai bukan hal baru. Namun, tidak pernah ada tindakan lebih lanjut yang diambil oleh pemerintah.
Terjadi peningkatan hama yang menyerang persawahan penduduk dan kualitas air yang menurun akibat herbisida yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit. Herbisida yang digunakan merupakan jenis glisofat dan paraquat. Kedua jenis itu sebenarnya sudah dilarang dibanyak negara akibat kadar racunnya yang tinggi, tetapi masih digunakan dengan bebas di Indonesia. Herbisida ini menyebabkan tingginya kadar klorida dan fosfat di sungai yang menyebabkan warga mengalami iritasi kulit.
Kondisi serupa juga dialami di daerah Ketapang, khususnya Desa Simpang Tiga yang dekat dengan PT. Agro Lestari Mandiri, anak perusahaan Sinar Mas dan PT. Ladang Sawit Mas dari kelompok Bumitama Gunajaya Agro. Sungai-sungai menjadi tercemar, padahal sungai yang ada adalah sumber air warga yang digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Warga kemudian jatuh sakit akibat mengonsumsi air yang tercemar dan mereka terpaksa mencari sumber air baru. Saat ini, 670 rumah tangga harus membayar iuran untuk membuat penampungan air bersih, 75 rumah tangga menggantungkan kebutuhan air bersih mereka kepada Ladang Sawit Mas, 140 rumah tangga lainnya bergantung pada pasokan air tanah.
“Lonjakan perkebunan kelapa sawit perlu dipahami juga sebagai perampasan sumber air bersih,” pungkas Kartini Samon dari Grain. Ia menjelaskan bahwa prioritas penggunaan air harusnya didahulukan untuk mencegah penyakit dan memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti mencegah kelaparan dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekologis. Lebih lanjut lagi, pencemaran air yang terjadi di Kalimantan Barat, terutama yang dekat dengan perkebunan kelapa sawit, lebih banyak merugikan anak-anak dan perempuan. Karena kedua kelompok ini yang paling sering melakukan aktivitas di sungai, mengingat sungai berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan domestik seperti mencuci dan memasak dan bermain. Akibatnya, kedua kelompok ini juga yang kesehatannya lebih berisiko karena terpapar sungai yang tercemar.
Referensi: