Pernyataan Dukungan
Pada tanggal 24 September 2024 bertepatan Hari Tani Nasional, Mama-Mama Papua dari Suku Malind Makleuw memimpin perlawanan dengan mendatangi PJ Gubernur Papua Selatan untuk menyampaikan sikap penolakannya terhadap Proyek Strategis Nasional di Merauke. Aksi protes dilakukan dengan ritual adat lumpur putih sebagai simbol duka yang masyarakat alami atas kelaliman pemerintah. Sejak aksi dilakukan PJ Gubernur Papua Selatan hanya bergeming, alat-alat besar terus berdatangan untuk meratakan wilayah adat.
Bentuk protes Mama-Mama Papua telah menegaskan bentuk hubungan perempuan dengan alam, bagaimana perampasan ini akan meningkatkan intensitas kekerasan terhadap perempuan. Dengan Mama-Mama Papua menolak pengalihan penguasaan lahan, mereka tidak hanya mengkritik model pembangunan yang memiskinkan, tetapi juga watak dari sistem ekonomi yang yang tidak pernah melibatkan dan menempatkan perempuan serta masyarakat adat sebagai subjek dalam keputusan pengelolaan lahan.
Saat ini kawasan hutan Masyarakat Adat di Kabupaten Merauke, Papua Selatan terancam oleh pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa food estate yang terdiri dari konsesi lahan pertanian, perkebunan tebu dan pabrik bioetanol yang dibanderol seluas 2,29 juta hektar setara dengan 70 kali luas Jakarta. Praktik perampasan ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan yang diterbitkan oleh Joko Widodo pada 19 April 2024 lalu. Dalam melancarkan operasinya pemerintah menggandeng sejumlah perusahaan-perusahaan besar dan menunjuk Bahlil sebagai Ketua Satgas.
Menurut data yang disampaikan oleh Auriga Nusantara dan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Kabupaten Merauke telah menduduki peringkat satu dalam paling luas penyebaran hutan yang hilang diratakan akibat pendudukan industri ekstraktif dan Proyek Strategis Nasional. Berbagai bentuk eksploitasi sumber daya alam yang semakin massif dilakukan di tanah Papua menyebabkan banyak masyarakat adat kehilangan tempat tinggalnya, terampas kedaulatannya atas sumber daya alam, sekaligus kerusakan lingkungan yang parah.
Sudah sejak berpuluh tahun Papua dipandang sebagai lahan kosong tak bertuan tanpa penghuni oleh pemerintah pusat dengan mengekstraksi tanah dan sumber daya tanpa memperhitungkan manusia yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Mayoritas orang Papua tidak diberikan ruang demokrasi, akses ekonomi dan perlakuan yang sama. Perampasan sistematis tanah Papua dilegalkan melalui serangkaian kebijakan yang bertujuan melancarkan jalan investasi dan berorientasi pemodal sekaligus rasisme struktural yang mengiringinya. Melalui diskriminasi ini pemerintah pusat merasa leluasa mengeruk kekayaan alam Papua untuk menguntungkan kepentingan oligarki bisnis dan politik yang terpusat di Jakarta.
Pemerintah mempromosikan Food Estate dengan janji akan membawa kemakmuran dan menyelesaikan persoalan krisis nasional. Padahal dalam praktiknya hanya memperdalam eksploitasi dan memiskinkan rakyat yang tergusur karenanya, terutama lebih dalam kepada perempuan yang memikul beban berlapis. Kenyataan itu melahirkan ekses-ekses yang tak berkesudahan. Mulai dari kualitas hidup yang kian memburuk, ketidakmampuan mencukupi kebutuhan hidup yang paling dasar, terganggunya kesehatan reproduksi, sulitnya perempuan untuk keluar dari jerat lingkaran kekerasan yang kompleks.
Merauke adalah daerah dataran rendah yang kaya akan rawa-rawa, sungai, dan berkembang biaknya tumbuhan endemik. Keanekaragaman hayati di dalamnya adalah
sumber-sumber kelangsungan hidup yang dimanfaatkan oleh Mama-Mama Papua selama ini untuk pangan dan obat-obatan tradisional demi kehidupan yang berkelanjutan bagi komunitasnya. Sehingga mereka memiliki peran penting dalam mempertahankan, menjaga dan merawat wilayah adatnya sebagaimana alam memberi dan memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mengubah kekayaan hidup Mama-Mama Papua menjadi milik korporasi merupakan cara sistematis negara memperdalam kekerasan, kemiskinan dan krisis ekologi. Menggusur Mama-Mama Papua dari mata pencaharian mereka serta mengasingkannya dari tanah subur, kedaulatan pangan, air bersih, dan keanekaragaman hayati, yang sebenarnya cukup untuk menghidupi dirinya beserta generasinya, adalah cara pemerintah memberangus ekspresi budaya, pengalaman dan pengetahuan Mama-Mama Papua terhadap penciptaan ekologi, subsistensi komunitas dan masyarakat.
Sejak proyek ini dicanangkan dan diterapkan, Mama-Mama Papua belum menerima transparansi informasi, yang semestinya dilakukan sejak awal oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Artinya, praktek pengalihan penguasaan tanah di Merauke ini tidak pernah melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, tanpa persetujuan pemilik Hak Ulayat dan Mama-Mama Papua yang terdampak. Mama-Mama Papua membutuhkan pembangunan yang dapat menjamin keselamatan, keamanan dan kesetaraan mereka dan komunitasnya.
Berdasarkan hal tersebut Perempuan Mahardhika menyampaikan pembelaan dan solidaritasnya kepada Mama-Mama dan Masyarakat Adat Papua, sekaligus menuntut Pemerintah Jokowi untuk:
- Menghentikan segala pembangunan Proyek Strategis Nasional yang memperparah krisis ekologi serta merampas sumber-sumber kehidupan masyarakat adat, sekaligus kembalikan wilayah adat kepada Mama-Mama Papua Suku Malind Makleuw
- Menghentikan pendekatan militeristik dan praktek kekerasan yang melibatkan aparat TNI/Polri
- Pelibatan Perempuan dan Masyarakat Adat terkait pengelolaan ruang hidup dan kekayaan alam yang terkandung dalam tanah Papua
- Menghormati dan melindungi serta memenuhi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan dengan mencabut seluruh kebijakan investasi dan pembangunan yang mengancam kehidupan masyarakat adat