Perceraian: Antara Pandemi dan Patriarki

Sudah hampir setahun kita menjalani kehidupan di tengah merebaknya virus corona. Dampak dari pandemik corona dirasakan oleh semua orang di berbagai Negara. Indonesia mengalami kemorosotan eknomi akibat dari penerapan PSBB. Banyak perusahaan yang collapse dan mulai mengurangi biaya pengeluaran dengan memberhentikan beberapa karyawannya. Pun pedagang kecil mulai kehilangan pembelinya karena jam berjualan yang dibatasi.

Tak hanya itu, dampak dari pandemik lainnya adalah meningkatnya angka kasus perceraian. Dilansir dari laman puspensos.kemsos.go.id, terdapat 3 provinsi yang mengalami peningkatan kasus perceraian secara signifikan yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Jawa Barat sendiri, hingga 7 September 2020 terdapat  51.646 kasus cerai gugat dan 17.397 cerai talak yang telah diajukan dan diproses sejak Januari 2020 di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jawa Barat.

Pengadilan Agama (PA) Palembang hingga Agustus 2020 telah menangani 1.666 kasus perceraian. Sebanyak 1.283 kasus cerai gugat dan 383 kasus cerai talak yang diajukan suami. Mahkamah Syariah Provinsi Aceh juga menyebutkan terdapat 2.397 kasus perceraian yang mana 1.737 kasus adalah cerai gugat dan 660 kasus cerai talak. Masa pandemik meningkatkan kasus perceraian yang bahkan didominasi oleh cerai gugat (gugatan yang diajukan oleh istri).

Kebanyakan orang berpikir bahwa ketika lebih banyak menghabiskan waktu bersama pasangan di rumah akan membuat hubungan semakin erat. Namun kenyataanya, pernyataan itu jauh dari apa yang dibayangkan. Jika melihat angka kasus perceraian yang terjadi selama pandemik, kita bisa menyimpulkan sementara bahwa ada permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga saat suami dan istri bersama di rumah dengan intensitas waktu tanpa jeda.

Orang-orang yang berada di rumah saat PSBB akan beraktivitas lebih ekstra dari biasanya. Pekerjaan yang biasa dilakukan di kantor, harus dibawa ke rumah atau work from home (WFH). Anak-anak yang biasa belajar bersama guru di sekolah, kini harus didampingi orangtua saat di rumah. Belum lagi dengan pekerjaan rumah tangga yang menumpuk juga harus dilakukan. Kegiatan bersosialisasi pun hanya dilakukan di rumah dengan orang yang sama setiap harinya.

Budaya patriarki yang memang masih subur berkembang di masyarakat telah mengambil porsi penting dalam fenomena tingginya angka perceraian (khususnya cerai gugat) di masa pandemik, Karena tidak ada pembagian tugas rumah tangga yang proporsional. Terlebih jika suami istri adalah pekerja. Sang istri akan mendapat beban ganda saat di rumah yaitu melakukan WFH, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sekaligus mengasuh anak.

Dalam budaya patriarki, pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak selalu diberikan sepenuhnya kepada perempuan apapun kondisinya. Sedangkan laki-laki diberikan posisi sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah utama. Akibatnya saat PSBB diberlakukan, perempuan merasa sangat lelah dan tertekan di rumah dengan semua pekerjaan rumah tangga yang dilakukan sendiri. Suami pun merasa itu adalah hal yang wajar sebagai tugas istri dan mengabaikan realitas yang ada.

Masalah lain yang timbul, perusahaan mulai mengurangi karyawan sebagai dampak dari pandemik. Hal ini membuat para ibu rumah tangga mulai berputar otak untuk menghasilkan uang saat sang suami tak lagi bekerja dan menghasilkan uang. Biasanya mereka akan mulai berjualan makanan, sayuran atau jasa seperti menjahit agar dapat bertahan di saat ekonomi sulit.

Namun lagi-lagi beban ganda masih harus diterima perempuan. Perempuan yang mulai bekerja ataupun yang sudah bekerja saat pandemik, tak mendapat dukungan moril dari sang suami. Dukungan moril disini adalah bagaimana suami dapat memahami kondisi yang dialami sang istri; dia bekerja namun juga harus tetap melakukan pekerjaan rumah tangga.

Akibatnya sang istri akan jengah dan mulai terjadi percekcokan diantara keduanya. Seringkali percekcokan berakhir dengan tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Karena tinggal bersama dengan intensitas waktu bertatap muka tanpa jeda, KDRT akan berlangsung terus-menerus. Hingga pada akhirnya sang istri sudah tidak kuat lagi dan memutuskan menggugat cerai suami.

Perlunya mengubah pola pikir masyarakat kita mengenai peran suami istri yang lebih berperspektif gender guna mengurangi kasus perceraian. Karena sampai hari ini pun perempuan masih dituntut untuk melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan utamanya. Bahkan di dalam Undang Undang Perkawinan pun peran suami istri masih sangat bias gender. Jadi sebenarnya sudah tak begitu mengagetkan jika angka perceraian akan terus meningkat khususnya di masa pandemik covid-19.

 

 

Yolanda Eka Safitri

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close