Terciptanya lingkungan yang aman dari praktik kekerasan seksual merupakan pintu gerbang untuk meningkatkan indeks pemberdayaan manusia. Harapannya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dapat mewujudkannya, meskipun terdapat banyak tantangan.
Berdasarkan indeks gender dalam Sustainable Developments Goals (SDGs), Indonesia ada di peringkat ke-76 dari 144 negara. Untuk menempati posisi peringkat 3 teratas dalam indeks gender SDGs, maka partisipasi perempuan harus 50 persen keatas untuk menuju kesetaraan.
Di Indonesia khususnya di Kaltim, Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) berada dibawah rata-rata, dengan IPG menempati peringkat ke-32 dari 34 provinsi dan IDG ada di peringkat ke-27 dari 34 provinsi. Padahal, Indeks Pemberdayaan Manusia yang ada di Kaltim menempati 3 besar nasional. Melalui hal ini, dapat diartikan keterwakilan perempuan dari Kaltim dalam parlemen masih sangat sedikit.
Saat ini, hampir semua negara setuju menandatangani tujuan jangka panjang, salah satunya adalah kesetaraan gender. Hal ini diutarakan oleh Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Tyas Widuri dalam Seminar Nasional dengan tema “Meningkatkan Indeks Pemberdayaan Manusia Kalimantan Timur melalui Implementasi UU TPKS” yang digelar di Samarinda, Kalimantan Timur pada 22 Juni 2022 lalu.
Negara dengan indeks gender SDG’s tertinggi ditempati oleh Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tyas mengatakan, negara-negara tersebut sudah memiliki UU tentang kekerasan dalam rumah tangga, UU anti kekerasan seksual, dan UU mengenai pelecehan seksual sejak dini. Bahkan, di Swedia sudah ada UU yang bertujuan untuk melindungi pekerja yang menjadi korban pelecehan seksual.
Menurutnya, implementasi UU TPKS dapat meningkatkan indeks pemberdayaan karena terpenuhinya hak-hak perempuan, jaminan perlakuan setara pada siapapun, perlindungan dari resiko kehilangan pekerjaan pada perempuan, hingga turunnya angka kekerasan yang diharapkan bisa berbanding lurus dengan indeks pemberdayaan.
“Hal-hal tersebut sangat penting karena semua orang berhak mendapatkan rasa aman dan didengarkan,” tuturnya.
Di dalam negeri khususnya di Kaltim, Direktur LBH Apik Kaltim Kasmawati mengatakan, LBH Apik Kaltim kerap kali mendampingi kasus kekerasan seksual fisik, KBGO dan kelompok disabilitas. Namun dalam mendampingi kasus-kasus tersebut, pihaknya terkadang mendapat hambatan seperti penolakan dari pengacara terdakwa, bahkan hakim sekalipun. Hakim menganggap korban tidak butuh pendamping karena telah memiliki jaksa.
Selain itu, Kasmawati juga mengatakan pada kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), korban takut video atau foto miliknya yang seharusnya menjadi barang bukti, malah akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri di kemudian hari.
Sikap masyarakat terhadap korban pelecehan seksual juga turut andil dalam sulitnya penanganan kekerasan seksual. Masyarakat justru sering kali menyalahkan dan menghakimi korban, terutama dalam hal berpakaian. Padahal, lanjut Kasmawati, korban butuh perlindungan dan tempat aman.
“Hal inilah yang kemudian menjadi alasan banyaknya korban kekerasan seksual memilih untuk tetap diam dan tidak melaporkan kasusnya,” ungkapnya.
Namun, Kasmawati tetap berharap adanya UU TPKS dapat membantu mengatasi hambatan-hambatan tersebut dengan adanya pembahasan mengenai hak-hak korban yang dibahas di pasal 67, pembaruan mengenai apa saja yang bisa menjadi alat bukti dalam pasal 24, lalu pembaruan mengenai siapa saja yang bisa menjadi saksi dalam persidangan yang dibahas di pasal 25.
Seminar Nasional ini pun turut mengundang Asisten Tindak Pidana Umum Kejati Gde Made Pasek Swardhyana. Ia menyampaikan, kasus kekerasan seksual lebih rumit dalam penanganannya karena pelaku bisa saja menemukan celah untuk membuat “bumerang” kepada korban. Sehingga jika penanganannya kurang baik, lanjutnya, maka korban bisa saja dituntut balik menjadi pelaku.
Selain itu, ia membagi tiga kendala teknis aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual, yaitu hambatan prosedur yang meliputi minimnya saksi serta alat bukti, kesulitan menghadirkan saksi karena kondisi korban yang trauma, dan kurangnya perspektif korban di persidangan.
Selain itu, terdapat juga hambatan substantif, yakni paradigma penegakkan hukum yang punitive dan retributive belum menyentuh restorative justice. Terakhir, hambatan koordinasi yang meliputi sulitnya koordinasi antara penyedia layanan, pendamping, aparat penegak hukum, dan perbedaan pemahaman penegak hukum mengenai lingkup dan substansi penanganan perkara perempuan dan anak.
Sehubungan dengan Gde, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH Apik Indonesia Khotimun Sutanti juga mengkritisi substansi hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Baginya, masih banyak hambatan dalam proses hukum karena sistem hukum masih belum mencukupi dan spesifik untuk mendukung korban, sarana dan prasarana hukum yang belum memadai, serta prosedur hukum yang meminta korban tetap di BAP.
“Dalam penanganan dan pemulihan korban masyarakat dan negara harus berperan aktif. jangan membuat korban merasa terasing dari masyarakat,” tegasnya.
Dengan diterbitkannya UU TPKS, Khotimun berharap hal-hal tersebut sudah tidak lagi terjadi. Sebab dalam undang-undang tersebut, sistem peradilan kasus kekerasan seksual sudah menjadi lebih baik, misalnya definisi saksi tidak hanya yang melihat langsung tetapi juga yang terkait, saksi penyandang disabilitas setara dengan saksi lainnya, surat keterangan psikolog yang sudah bisa dianggap sebagai bukti, serta pelapor tuntutan pidana KGBO dilindungi melalui UU TPKS dari ancaman UU ITE.
Di sektor pendidikan, khususnya dalam lingkup kampus, kekerasan seksual berada di level darurat. Hal ini disampaikan Monalisa selaku Koordinator Daralead. Menurutnya, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) masih belum terimplementasi dengan baik dalam proses pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus-kampus di Kaltim.
Menurutnya, Permendikbud PPKS dan UU TPKS harus diaplikasikan oleh seluruh warga kampus, tidak hanya mahasiswa tapi juga seluruh akademisi dan pengajar. Seluruh mahasiswa harus bergerak bersama mendukung UU TPKS dan Permendikbud agar kasus-kasus kekerasan seksual segera diselesaikan dan korban dapat mendapat hak-haknya.
“Kampus Merdeka (salah satu program Kemendikbud Ristek) harus juga berarti merdeka dari kekerasan seksual.”