May Day 2025: Tolak Solusi Palsu Pemerintah, Wujudkan Kesejahteraan Nyata untuk Buruh, Perempuan, dan Rakyat

Puluhan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia (API) turun ke jalan memperingati Hari Buruh Internasional pada Kamis, 1 Mei 2025. Tema yang diusung dalam aksi ini adalah “Tolak Solusi Palsu Pemerintah, Wujudkan Kesejahteraan Nyata untuk Buruh, Perempuan, dan Rakyat.” Aksi yang akan berlangsung di depan Gedung DPR-RI pada pukul 8 pagi ini menyoroti kegagalan pemerintah dalam menangani krisis ketenagakerjaan dan membela hak rakyat kecil, khususnya buruh perempuan.

PHK Massal dan Kemiskinan Struktural

Sepanjang 2023–2025, jumlah buruh yang kehilangan pekerjaan melonjak tajam. Di awal 2025 saja, tercatat 40.000 buruh ter-PHK. Pemerintah gagal mencegah krisis ini meskipun sebelumnya menjanjikan langkah antisipatif.

Presiden Prabowo merespons dengan menerbitkan PP No. 6 Tahun 2025, yang memberikan kompensasi 60% dari gaji selama enam bulan bagi korban PHK. Namun, kebijakan ini dinilai hanya solusi jangka pendek dan tidak mengatasi akar persoalan PHK massal. Lebih jauh, program-program seperti Satgas PHK dan UU Cipta Kerja justru dianggap memperburuk kondisi ketenagakerjaan.

Di sisi lain, perempuan adalah kelompok paling terdampak. Setelah kehilangan pekerjaan, banyak dari mereka terpinggirkan ke sektor informal, kerja rumahan tanpa jaminan sosial, atau terpaksa bermigrasi ke luar negeri. Tanpa perlindungan sosial, buruh perempuan juga menanggung beban kerja domestik berlipat sebagai tulang punggung keluarga.

Selain krisis PHK, dampak perang dagang global juga patut dikritisi saat ini. Terutama akibat kebijakan proteksionis Amerika Serikat lewat Donald Trump. Pengenaan tarif tinggi terhadap produk tekstil asal Indonesia memperlemah industri dalam negeri, memicu PHK, dan memperburuk kondisi buruh perempuan. Mereka menghadapi pemotongan upah, cuti tidak dibayar, hingga eksploitasi di rantai pasok global.

Pemerintah hanya sibuk mencari solusi diplomatik jangka pendek tanpa membangun pondasi ekonomi yang berkeadilan dan memperkuat perlindungan sosial. Tanpa upaya serius untuk menerapkan prinsip kerja layak dan upah layak, buruh perempuan akan terus menjadi korban utama krisis ekonomi global.

Masalah lain yang disoroti adalah krisis dalam kerja-kerja perawatan yang sepenuhnya dibebankan kepada perempuan. Akses terhadap jaminan sosial seperti BPJS maupun PBI terbatas, dan program-program seperti Makan Bergizi Gratis dinilai tidak mampu menjawab kebutuhan riil keluarga buruh yang kehilangan pendapatan. Pemerintah pun belum menunjukkan kemauan politik untuk mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang telah tertunda selama dua dekade.

Kritik juga timbul terhadap strategi pemerintah dalam mendorong pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) demi meningkatkan remitansi nasional, yang tahun lalu mencapai Rp253 triliun. Revisi UU PPMI disebut dilakukan tanpa melibatkan organisasi pekerja migran, dan lebih berfokus pada keuntungan negara ketimbang perlindungan buruh migran—yang mayoritas adalah perempuan di sektor perawatan.

Demokrasi Terancam, Ruang Sipil Menyempit

Di tengah krisis sosial dan ekonomi, kita tidak mungkin melupakan tentang kondisi demokrasi dan kebebasan sipil yang terjun bebas. Revisi UU TNI, pembahasan RUU POLRI, dan RUU KUHP dapat membuka jalan bagi kembalinya militerisme dan pembungkaman ruang gerak sipil.

Revisi UU TNI yang disahkan pada Maret 2025 berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI. Berdasarkan catatan Imparsial, ribuan personel TNI kini menempati posisi di kementerian dan lembaga sipil. Penempatan ini tidak hanya merusak sistem demokrasi, tapi juga menciptakan ketimpangan struktural, di mana militer aktif tidak tunduk pada hukum sipil.

Problem yang paling serius adalah penempatan TNI di proyek-proyek strategis nasional (PSN), termasuk di lahan sawit Kalimantan hingga pengamanan di Papua. YLBHI mencatat bahwa hingga Juli 2024, 2.887 prajurit dikerahkan ke Papua tanpa dasar hukum yang sah. Ini menghidupkan kembali mode Darurat Militer, hanya saja dibungkus dengan istilah baru seperti “KKB” atau “Kelompok Kriminal Bersenjata”. Tindakan ini tidak hanya ilegal, tapi membahayakan keselamatan sipil karena dilakukan di area pemukiman warga, bukan medan perang.

Sementara itu, RUU Polri yang memperluas kewenangan pengawasan digital dan intelijen siber juga dikritik karena berpotensi memata-matai dan membungkam aksi buruh, gerakan feminis, serta komunitas sosial lainnya. Menurut catatan KontraS (2023) pengawasan terhadap aktivis perempuan meningkat 47% pasca pengesahan UU ITE dan perluasan fungsi intelijen kepolisian. Hadirnya UU Polri besar kemungkinan bakal meningkatkan kriminalisasi buruh, perempuan dan rakyat.

RUU KUHP juga menjadi ancaman karena menghidupkan kembali pasal-pasal karet seperti penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, serta mengkriminalisasi aksi unjuk rasa. Padahal, gelombang kriminalisasi terhadap aktivis gerakan sosial telah berulang kali terjadi. Menurut catatan SAFEnet (2024), terdapat 62% pengaduan kriminalisasi aktivis berasal dari kelompok rentan termasuk buruh perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Tuntutan Aliansi Perempuan Indonesia 

Menghadapi situasi di atas, dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day, API menuntut:

  1. Stop solusi palsu yang menyesatkan dan wujudkan kesejahteraan buruh, perempuan dan rakyat yang memprioritaskan keadilan ekonomi berbasis kehidupan, bukan profit. 
  2. Stop PHK massal, berikan jaminan perlindungan bagi pekerja dan keluarganya dari gelombang PHK massal. 
  3. Perlindungan sosial terhadap kerja – kerja perawatan seperti penyediaan Day Care bagi anak pekerja yang berkualitas dan murah, subsidi sosial terhadap kerja – kerja domestik/ perawatan.
  4. Wujudkan kebijakan jaminan sosial universal tanpa diskriminasi terhadap status kerja atau gender. 
  5. Ratifikasi KILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap semua lapisan pekerja termasuk PRT, pekerja diinformalkan, pekerja digital, pekerja migran dan lainnya. 
  6. Tolak kembalinya Dwifungsi ABRI, cabut UU TNI dan tolak RKUHAP, dan RUU Polri yang melegalkan represi terhadap warga sipil. 
  7. Sahkan segera UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) dan libatkan Masyarakat Sipil untuk RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI). 

Para peserta aksi mengenakan pakaian merah sebagai simbol perjuangan. Aliansi Perempuan Indonesia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersolidaritas dan bersama-sama memperjuangkan kesejahteraan sosial bagi buruh, perempuan, dan rakyat Indonesia. 

Prabowo – Gibran, Setop Tipu – Tipu!
Kami Tidak Butuh Solusi Palsu 

 

Narahubung:

  • Salsa (081770791860)
  • Sari (081298945139)

Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close