Budaya lisan di daerah kami—Kecamatan Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara—sudah sangat mengakar. Orang bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bertukar informasi dengan mengobrol. Bertukar cerita dianggap sebagai cara termudah dalam memperoleh pengetahuan tentang berbagai peristiwa yang terjadi. Namun, memperoleh informasi dengan mengandalkan cara seperti ini, hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran, terutama dengan derasnya informasi dari internet. Informasi yang muncul, tak berbanding lurus dengan dengan minat membaca di masyarakat, apalagi buku seperti barang mewah, hanya bisa diakses oleh kelas menengah ke atas, maupun mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi di luar kota.
Padahal, membaca buku merupakan aktivitas yang tak hanya memperkaya wawasan, melainkan juga sebagai cara mengubah cara pandang dalam melihat fenomena sosial yang terjadi di sekitar. Melalui buku-buku, terutama buku yang menitikberatkan pada isu tertentu, pembaca dilatih untuk mengasah kepekaaannya. Banyaknya manfaat dari membaca tak serta-merta menjadi alasan untuk oran tertarik pada buku. Tak jarang buku dianggap sebagai sesuatu yang asing di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Sula. Ini disebabkan masih minimnya gerakan untuk membangun kebiasaan membaca ditambah adanya anggapan bahwa membaca buku hanya dilakukan oleh orang-orang cerdas.
Membaca merupakan aktivitas yang penting, terutama di kalangan anak muda yang berkontribusi sebagai agen perubahan dan sosial kontrol dalam masyarakat. Mereka harus memiliki pengetahuan mumpuni dalam menjawab berbagai masalah yang krusial di masyarakat, misalnya masalah yang terjadi pada perempuan seperti pernikahan dini yang diakibatkan peristiwa hamil di luar nikah, kekerasan seksual, pemerkosaan, KDRT, pedofilia, bahkan perdagangan anak sebagai pekerja seks dan lain sebagainya. Berbagai masalah tersebut semakin diperparah oleh bias gender yang berkembang di masyarakat. Bias gender ini memunculkan stigma perempuan sebagai sumber dari berbagai masalah yang terjadi.
Itu lah yang mendorong kami untuk berani mencoba menggalakkan kebiasaan membaca melalui lapak baca, sebagai usaha mengubah cara pandang masyarakat pada beragam isu yang terjadi pada perempuan. Lapak baca yang akan kami selenggarakan menyasar pembaca tanpa batas usia. Namun lebih dikhususkan pada perempuan, karena kami berharap setiap perempuan memiliki kesadaran akan tubuh dan dirinya sendiri. Kami juga berharap dapat mengedukasi pembaca melalui aktivitas membaca buku. Meskipun kami menyadari bahwa koleksi buku yang kami miliki masih terbatas. Buku-buku tentang perempuan masih sangat minim. Belum lagi, akses dalam memperoleh bacaan tentang gender dan perempuan masih sulit.
Penyebabnya adalah sama sekali tidak tersedia toko buku maupun toko yang menjual buku bacaan disini. Membeli buku-buku di luar kota pun menjadi salah satu solusi, tapi terkendala oleh ongkos kirim yang dua kali lebih mahal dibandingkan harga bukunya sendiri, mengingat jarak dan waktu tempuh yang cukup panjang. Bagi kami, beragam bacaan tentang gender maupun perempuan bisa menjadi cara ampuh dalam mengajak perempuan mengenali dan memosisikan dirinya ditengah masyarakat.
Lapak baca ini akan kami galakkan pada akhir pekan. Di lokasi yang strategis, di pusat kota, terutama di kampus, di depan pertokoan dan taman baca sebagai tempat yang paling banyak didatangi oleh masyarakat. Di sela-sela aktivitas membaca pun, kami tertarik untuk mewawancarai para perempuan, tanpa mengenal batasan usia dalam melihat kehidupan perempuan Sula saat ini. Cara ini dimaksudkan sebagai metode mengumpulkan bahan untuk dijadikan diskusi bersama kawan-kawan. Harapan kami, adanya lapak baca adalah cara berkontribusi dan berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan sesama, khususnya bagi ana fina sua (anak perempuan Sula), untuk gerak bersama meretas ketidakadilan terhadap perempuan.