Kisah Jurnalis Perempuan di Kota Tepian Hadapi “Jahat”nya Dunia Pekerjaan

Sebagai jurnalis perempuan, tak hentinya diri siap untuk menghadapi segala permasalahan yang dihadapi. Hak sebagai perempuan dan pekerja hanya sebagai omong belaka di mata kekuasaan. Kisah 3 jurnalis perempuan di Kota Samarinda ini menjadi salah satu kisah yang terungkap bagaimana susahnya menjalani profesi ini.

 

Terjerat Relasi Kuasa, Asya Masih Dihantui Trauma Dilecehkan

Masih terngiang di pikiran Asya, seorang jurnalis perempuan di salah satu media online lokal di Kota Samarinda. Rasa trauma yang selalu dirasakan ketika menemui salah satu pejabat yang telah melakukan kekerasan seksual kepada dirinya.

Pada suatu hari, dirinya ingin melakukan wawancara secara eksklusif kepada pejabat bernama Dwan (nama samaran). Dwan merupakan Kepala di salah satu OPD di lingkungan pemerintah. Asya menelepon Dwan untuk meminta janji temu. Mudahnya, Dwan menyanggupi untuk bertemu di ruang kerjanya.

Sekitar 13.00 wita, Asya berkunjung ke kantornya. Melalui arahan dari pegawai di sana, Asya dipersilahkan untuk ke ruangan kerja. Terlihat, ada layar CCTV yang menangkap kegiatan pegawai-pegawai OPD di tiap ruangan.

Asya pun langsung memulai pembicaraan untuk memulai wawancara kepada Dwan. Ketika memulai bertanya, Dwan menjawab dengan tenang. Namun, ketika mengajukan pertanyaan selanjutnya, Dwan mendekati Asya dengan senyuman yang membuat Asya kebingungan.

Tanpa menyatakan sepatah katapun, Dwan menyentuh muka Asya dan menciumnya. Seketika, sekujur tubuh Asya terdiam tak berkutik. “Dia mencium bibir saya dan saya bingung harus ngapain. Saya melihat sekeliling dan menyadari kalau tidak ada CCTV di ruangan dia,”kata Asya.

Pelecehan tersebut berlangsung beberapa menit. Asya mau menyelesaikan wawancara tersebut, namun terbebani kewajiban pemberitaan yang dia buat, dengan terpaksa ia melanjutkan wawancaranya kembali. Dwan menjawab kembali pertanyaan-pertanyaan Asya.

Tetapi, Dwan tidak berhenti hingga di situ. Ia kembali memegang payudara Asya tanpa bersuara. Asya yakin Dwan tidak mengeluarkan suara apapun, karena rekaman masih  dinyalakan. Asya,anehnya, tidak memiliki pikiran untuk melawan maupun teriak.

“Saya juga nggak tahu kenapa nggak melawan, kenapa nggak teriak. Saya menahan rasa jijik itu,”sambungnya menahan tangis.

Setelah seluruh pertanyaan tersebut dikemukakan, Asya secepatnya untuk keluar dari ruangan tersebut. Asya merasa seluruh pegawai di sana melihat saya seperti telah paham bahwa Asya jadi salah satu korban dari Dwan.

Asya pulang dan langsung mandi. Ia menggosokkan badan berulang kali karena rasa jijik terus menjalar. Tak hentinya menangis merasa bersalah karena telah mengotori dirinya dan mengkhianati suaminya sendiri.

Kejadian ini terpatri di pikirannya hingga saat ini. Beberapa kali Asya berhadapan untuk wawancara dengan Dwan, Asya merasa takut dan tidak ingin dekat dengan Asya. Mau tak mau, Asya meminta tolong kepada rekan kerjanya untuk menggantikan dirinya wawancara Dwan.

Keinginan untuk melaporkannya pun tak berani dilakukan olehnya. Asya pesimis akan dilindungi, karena tidak ada bukti yang dipegang. Stigma “korban salah” selalu menghantui dirinya.

 

Meli,  Jurnalis Perempuan yang Rela Liputan dengan Menahan Sakitnya Haid

Meli, jurnalis perempuan ini dengan berani menuntut hak dia sebagai seorang buruh tulis. Hak cuti haid yang telah tertuang di  Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hak yang kerap kali pun terlupakan untuk diambil, kar00ena mementingkan kewajiban sebagai buruh di salah satu media cetak di Kota Samarinda.

Setiap haid, dirinya selalu mengalami kesakitan. Terutama di hari pertama dan kedua. Meli selalu mengalami pegal-pegal di sekitar pinggul,kram di bagian perut, hingga lemas. “Hari pertama dan kedua itu paling krusialnya. Karena lagi deras-derasnya, sering kram perut seperti digebukin berkali-kali,”ucapnya.

Sebelumnya, Meli belum mengetahui adanya hak cuti haid. Sehingga setiap haid, ia terus bekerja liputan. Kondisi tersebut berdampak dengan performa kerjanya. Ketika dirinya di kantor pemerintahan, naik-turun tangga, yah.. rasa sakit menghantam. Bahkan, sering pula darah menstruasi ‘tembus’ ke celana. Mau tak mau ia harus pulang ke kost yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi liputan, hanya untuk mengganti celananya.

“Kadang harus bolak-balik ganti. Kadang suka nggak nyaman pas lagi deras-derasnya,”bebernya.

Suatu hari, salah satu rekan kerjanya memberitahu mengenai hak cuti haid tersebut. seperti tercerahkan, Meli langsung memberanikan diri untuk mengajukan haknya kepada pimpinannya melalui chat Whatsapp. Chat tersebut seperti ultimatum.

Meli meminta izin cuti dengan melampirkan screenshot pasal hak cuti haid tersebut. Mungkin karena ada pasal yang dibubuhkan, untungnya pimpinannya menyetujui hak cuti itu. Karena keberanian itulah, setiap haid Meli mengajukan cuti haid.

Meskipun ia tahu kalau dia berhak mendapatkan hak cuti haid, tetapi Meli mengakui dirinya kadang tidak mengambil haknya. Lantaran adanya stigma dan persepsi sebagian orang bahwa perempuan yang mengambil hak cuti haid dianggap “terlalu manja”. Khususnya bagi jurnalis perempuan di Kota Samarinda.

 

Penantian Gaji 6 Bulan yang Tak Kunjung Dibayar

 Gaji menjadi hak dasar yang dimiliki oleh seorang pekerja. Apapun jenis pekerjaannya. Jika hak dasar tersebut saja tak terpenuhi, apalagi hak yang lainnya? Kondisi ini pernah dialami oleh Cici (nama samaran), jurnalis perempuan yang pernah bekerja di salah satu media online di Kota Samarinda.

Pada saat bekerja di Perusahaan A, Cici bekerja sesuai dengan yang diperintahkan. Dalam sehari, ia harus menulis 2-3 per hari. Ia banting tulang untuk menuntaskan kewajibannya sebagai jurnalis di Perusahaan A.

Awal-awalnya, Cici menerima gaji secara rutin. Yah.. walaupun di bawah UMR Kota Samarinda. Ia mendapat Rp 2.000.000,-. Nominal tersebut ia terima lantaran diberikan jaminan akan dinaikkan gajinya secara bertahap.

Setelah itu, selama 6 bulan lamanya Cici tidak mendapatkan gaji tersebut. Ia coba untuk mempertanyakan hal tersebut kepada pimpinannya.”Jawabannya karena kantor saat ini memang belum dapat kontrak kerjasama dengan instansi. Jadi belum ada pemasukan,”ujarnya.

Cici mencoba menanti gaji tersebut dengan menunaikan kewajibannya untuk liputan. Mengingat, ia masih terikat dengan kontrak kerja. Tetapi ia juga mengalami kesulitan untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Salah satunya membayar uang kuliahnya.

“Supaya tetap lanjut kuliah, mau nggak mau aku menggadaikan perhiasanku hanya untuk membayar uang kuliah,”kisahnya.

Pikiran positif kepada pimpinan terus Cici pegang. Tetapi realita menampar dirinya. Itikad baik dari pimpinan tak kunjung terealisasi.

Cici memutuskan mengundurkan diri dari Perusahaan A. Keputusan itu, sayangnya, diterima oleh pimpinannya tanpa ada jaminan hak gaji 6 bulannya akan dilunasi.

Hingga detik ini, hak Cici tak pernah terbayarkan.”Dari situ saya belajar apa yang diniatkan dengan ikhlas, rejeki berlipat ganda akan datang lewat pintu lain,”kuncinya.

 

Dari 3 kisah ini, masih banyak suara buruh perempuan yang urung dikeluarkan. Adanya hak yang seharusnya bisa didapatkan, adanya perlindungan yang seharusnya ada sejak awal, tak pernah diterima. Mau sampai kapan kejahatan ini dimaklumi dan dibiarkan ?

Ayo buruh perempuan !  Kita berorganisasi agar mampu menyelaraskan dan dukung sesama agar kita bersama-sama  mengembalikan kesejahteraan kita yang seharusnya menjadi hak kita !

Sudah waktunya buruh perempuan menyuarakan perlawanan kepada para pemegang kuasa untuk memenuhi hak kita! Tuntut pemegang kebijakan untuk berpihak kepada buruh, bukan perusahaan. Di momentum Hari Buruh ini, satukan suara dan teriakkan hak kita sebagai buruh kepada dunia !

Disya Halid

Jurnalis Perempuan di Kota Samarinda yang juga anggota Perempuan Mahardhika Kota Samarinda. Seorang perempuan yang memiliki minat untuk lebih memahami hak sebagai perempuan dari segi kehidupan sehari-hari. Seorang perempuan yang terus menerus belajar

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close