Akhir Oktober 2022, berbagai media dipenuhi dengan informasi kasus seorang perempuan pegawai honorer diperkosa oleh beberapa pegawai laki-laki di Kementrian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). Kasus ini terjadi pada tahun 2019 dan sempat dilaporkan ke kepolisian.
Sayangnya, kasus ini berakhir secara miris karena korban dinikahkan dengan salah satu pelaku dan difasilitasi oleh pihak kepolisian. Atas dasar ini, pihak kepolisian menutup kasus pidana tersebut sebagai upaya restoratif justice yang dianggap kepolisian bahwa telah terjalin perdamaian antara pelaku dan korban.
Penerapan restorative justice ini kerapkali dijadikan bukti sebagai penyelamatan terhadap korban. Padahal, praktik retoratif justice pada kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya memberikan dampak buruk yang berkepanjangan kepada korban.
Pemulihan yang seharusnya diperoleh korban justru diabaikan dan dianggap tidak diperlukan. Kondisi mental korban pun tidak diperhatikan dan dianggap selesai dengan baik. Restorative justice seperti ini kemudian menjadi salah satu jalan pelanggengan tindakan kekerasan seksual karena pelaku terbebas dari jerat hukum pidana.
Sejak disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) April 2022 hingga kini masih diperlukan pengawalan yang ketat terhadap implementasi di berbagai lapisan stakeholder. Hal ini sebagai bentuk upaya membudayakan kesamaan perspektif kesetaraan gender yang berpihak terhadap korban. Pengaturan tentang hak korban pun menjadi dasar utama UU TPKS agar korban mendapatkan pemulihan dan keadilan atas peristiwa yang diterimanya.
Sebagaimana diketahui kasus kekerasan seksual menempatkan korban dalam jerat relasi kuasa dari pelaku yang berakibat rendahnya posisi tawar korban. Distigma dan disalahkan atas kejadian yang terjadi menambah beban mental korban. Dampaknya korban mengalami kerugian berlipat dan tidak dapat menjangkau pemulihan serta perlindungan yang adil.
Dalam UU TPKS mengenai pemberian keadilan terhadap korban dan keluarga telah diatur secara jelas dan komprehensif. Negara berkewajiban untuk memenuhi hak korban sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban dan keluarga korban.
Hak atas penanganan pada pasal 68 meliputi, jaminan atas akses informasi, dokumen dan fasilitasi bidang pelayanan kesehatan, hukum dan penghapusan konten kekerasan yang ada di media elektronik. Pada pasal 69 hak atas perlindungan meliputi perlindungan fisik dan psikis, jaminan atas perlakuan yang merendahkan korban dan jaminan atas pendidikan, pekerjaan serta akses politik. Hak atas pemulihan pada pasal 70 meliputi, rehabilitasi medis, mental, sosial, dan materi berupa kompensasi dan restitusi.
Pengaturan hak keluarga korban kekerasan seksual pun tertuang pada pasal 71, dari hak atas informasi, kerahasiaan identitas, keamanan pribadi, tidak dituntut pidana dan digugat perdata, penguatan psikologis hingga jaminan sosial. Dengan diaturnya hak-hak korban dan keluarga menjadi pendorong korban untuk berani menuntut keadilan dan penegakan hukum terhadap pelaku.
Menggapai Keadilan bagi Korban
Implementasi terwujudnya keberpihakan terhadap korban dapat terlihat dari sejauhmana penanganan kasus kekerasan seksual itu ditindaklanjuti. Penting memberikan ruang aman bagi korban sehingga terhindar dari intimidasi dan disudutkan baik dari pelaku maupun aparat Penegak hukum (APH).
UU TPKS telah memuat hukum acara yang menjadi terobosan baru karena memuat kepentingan untuk memenuhi dan melindungi hak korban, meliputi komprehensif dari tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kelengkapan alat bukti, pendampingan dan perlindungan korban serta saksi dari kriminalisasi. Selain itu, kewajiban hakim untuk memutuskan hak atas restitusi bagi korban.
Menggapai keadilan bagi korban kekerasan seksual dibutuhkan upaya yang cukup keras. Relasi yang tidak seimbang antara korban dan pelaku serta budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat menjadi penghambat keberpihakan terhadap korban. Kredibilitas APH yang berperspektif gender pun masih patut dipertanyakan, mengingat runyamnya proses penyidikan hingga peradilan kasus kekerasan seksual.
Temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dari kasus yang dilaporkan 40% berhenti di kepolisian dan 10 % lanjut di peradilan¹. Temuan lain melalui survey daring yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menunjukkan bahwa 93% penyintas pemerkosaan tidak pernah melaporkan kasus mereka ke APH dan 6% yang melaporkan pada akhirnya menyaksikan pelaku bebas dari jerat hukum². Kedua temuan menunjukkan bahwa kepercayaan korban dan keluarga terhadap APH masih rendah, sebab kecenderungan APH tidak memihak pada korban menjadi salah satu alasan. Ditambah dengan stigma dan budaya menyalahkan korban menambah traumatis berkepanjangan.
Dalam UU TPKS telah dijabarkan secara lengkap aturan dari segi pencegahan, pemenuhan hak-hak korban, sampai penanganan selama proses hukum. APH, pemerintah dan masyarakat umum perlu meningkatkan pemahaman terkait kesetaraan gender dalam upaya mendukung penerapan UU TPKS. Semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keamanan dan keadilan bagi korban.
Disamping itu, ketegasan dalam proses hukum mengacu pada UU TPKS dapat menjadi jalan untuk memutus rantai kekerasan seksual. Sebab, di satu sisi, korban terperangkap dalam ketidakadilan, jauh dari amanat hak atas hidup aman dan bermartabat. Di sisi yang lain, korban terus berjuang untuk mendapatkan keadilan, kesetaraan dan kemerdekaan atas haknya sebagai manusia.
¹ http://amp.kompas.com/nasional/read/2016/05/12/18281941/konas-perempuan-40-persen-kasus-kekerasan-sesual-berhenti-di-polisi
² http://magdalene.co/story/93-persen-penyintas-tak-laporkan-pemerkosaan-yang-dialami-survei