Kami Akan Terus Berjuang Demi Tanah, Hutan, dan Kehidupan

Mama-mama korban menceritakan dampak dari proyek PSN dalam kegiatan konsolidasi Solidaritas Merauke  pada 11 maret 2025.

 

Dalam kehidupan ekonomi keluarga, kami menghadapi ancaman besar akibat Proyek Strategis Nasional (PSN). Mata pencaharian utama kami telah digusur habis-habisan tanpa sisa. “Bagaimana kami bisa menanam bibit singkong, keladi, petatas, pisang, sayuran, buah-buahan, dan sagu jika hutan dibongkar habis?” keluh seorang Mama. “Tanah kami dirampas secara paksa melalui intimidasi dan diskriminasi. Sungai yang dulunya jernih dan bisa kami minum kini telah tercemar limbah perusahaan. Kami tidak berani lagi menyentuhnya, apalagi meminumnya, karena air tersebut sudah beracun.”

Ketika terpaksa minum air yang tercemar, kesehatan mereka terganggu, bahkan nyawa terancam. “Obat-obatan tradisional yang biasa kami ambil dari hutan pun kini sulit didapat karena hutan telah dirampas oleh PSN,” ujar seorang mama yang biasa mencari tanaman obat.

Sebelum perusahaan itu masuk, mereka tidak mengalami kesulitan seperti sekarang. Kehadiran PSN telah membuat masyarakat adat semakin miskin dan terpinggirkan dari tanah, hutan, dan air mereka sendiri. “Ini adalah bentuk perampasan kehidupan yang terstruktur, yang berdampak pada pemusnahan masyarakat adat (genosida) secara perlahan, PSN hadir bukan untuk menyejahterakan masyarakat adat, melainkan menciptakan konflik antarmarga, antaranggota keluarga—antara anak dan bapak, anak dan ibu, serta antar adik dan kakak.”

 

Perempuan dan Perampasan Ruang Hidup di Wilayah PSN

Di Merauke, Papua Selatan, proyek PSN yang terus menggusur hutan adat suku besar Malind berdampak besar pada perempuan dan anak-anak. “Kami, perempuan, yang selama ini bersentuhan langsung dengan hutan adat dan tanah adat untuk menjaga, mengolah, dan melestarikan sumber kehidupan, kini kehilangan segalanya,” ungkap seorang Mama, perempuan Malind.

Salah satu dampak terbesar dari penggusuran ini adalah hilangnya berbagai jenis hewan seperti rusa, kuskus pohon, dan burung. “Sebelum PSN masuk, kami bisa dengan mudah berburu di hutan adat, tetapi kini hewan-hewan itu hampir punah,” tambahnya. “Perubahan iklim semakin ekstrem, suhu meningkat, dan hasil pertanian menurun drastis. Akibatnya, perempuan mengalami beban ganda secara fisik dan mental.”

Nasib anak-anak pun semakin terpuruk. “Bagaimana kami bisa menyekolahkan anak-anak kami jika hasil pertanian tidak mencukupi?” tanya seorang Mama. “Kami hanya mampu menyekolahkan mereka sampai tingkat sekolah menengah atas. Untuk pendidikan tinggi, kami tak sanggup membiayainya.” Semua cita-cita dan mimpi anak-anak terkubur karena PSN, yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat tetapi justru merampas hak masyarakat adat.

 

Papua Bukan Tanah Kosong

Papua, khususnya wilayah Papua Selatan, bukanlah tanah kosong. “Kami, masyarakat adat, sudah ada di sini sejak lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, hutan adat, tanah adat, dan air adalah milik kami, bukan milik negara. Ada manusia yang hidup di sini, ada pemilik sahnya.”

Dalam kegiatan Deklarasi Solidaritas Merauke pada 11-14 Maret 2025, para korban mendesak pemerintah, khususnya Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran, untuk segera menarik Proyek Strategis Nasional (PSN) dari tanah adat Papua Selatan.

“Kami juga menuntut pemerintah daerah dan pemerintah provinsi Papua Selatan untuk menangani secara serius persoalan perampasan ruang hidup kami,” lanjut seorang Mama. “Jangan menutup mata atas penderitaan masyarakat adat! Pemerintah ada karena masyarakat adat, seharusnya mereka mendengar, memberdayakan, dan memenuhi kebutuhan kami, bukan justru mengorbankan kami demi kepentingan korporasi.”

Harapan masyarakat adat jelas: korban PSN harus bersatu tanpa memandang perbedaan marga atau suku. “Perempuan dan anak-anak harus dilibatkan dalam perjuangan ini. Kita harus maju bersama untuk menolak PSN dari tanah adat Papua Selatan dan terus menciptakan ruang-ruang kampanye guna menolak kehadiran PSN,”  Saat ini, proyek tersebut bahkan dilanggengkan dengan kehadiran militer yang bertujuan menguasai dan menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat adat Papua Selatan.

Namun kita tidak akan diam. “Kami akan terus berjuang demi tanah, hutan, dan kehidupan kami,” tegas seorang mama korban perampasan tanah.

 

Linda Mote

Perempuan Mahardhika Manokwari

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close