Jurnalis Perempuan Menjaga Demokrasi: Perjuangan atas Kebebasan Pers, Ruang Aman, dan Kerja Layak

Jurnalis merupakan garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran dan menjadi pengawas kekuasaan. Dalam sistem demokrasi, keberadaan pers yang bebas dan independen adalah jantung yang menghidupkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Namun di balik peran krusial tersebut, banyak jurnalis terutama perempuan, menghadapi kekerasan yang tak terlihat, tak terdengar, dan seringkali tak tertangani.

Kisah-kisah yang disampaikan oleh para jurnalis perempuan dari berbagai daerah pada Webinar Menuju May day 2025 bertema “Jurnalis Perempuan Menjaga Demokrasi: Perjuangan atas Kebebasan Pers, Ruang Aman, dan Kerja Layak” yang diselenggarakan Perempuan Mahardhika (23/4) memperlihatkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis tidaklah bersifat individu, melainkan bersifat struktural. Kekerasan ini bukan sekadar tindakan satu dua orang, melainkan banyak pihak dari berbagai kalangan. Suburnya kekerasan di kalangan jurnalis ini dilanggengkan oleh sistem yang tidak memberikan perlindungan, tidak menyediakan keadilan, dan membungkam suara-suara kritis.

Kekerasan yang Sistemik dan Berlapis

Disya, jurnalis salah satu media online dari Perempuan Mahardhika Samarinda, menggambarkan bagaimana jurnalis perempuan sering kali mengalami candaan seksis dari rekan kerja atau narasumber. Ia menyatakan bahwa ketakutan untuk melapor sangat tinggi, terutama ketika pelaku adalah pejabat atau aparat negara. Tak jarang, jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan justru diposisikan sebagai pihak yang salah. “Pemilik media lebih memilih menutup kasus kekerasan terhadap jurnalis demi menjaga relasi dengan pemerintah,” katanya. Ketergantungan media terhadap penguasa membuat kritik menjadi sesuatu yang sulit disampaikan secara bebas.

Dalam kasus lainnya, Theresia Tekege dari Papua menuturkan pengalaman saat ia mendapat beasiswa untuk liputan di daerah konflik, wilayah Papua. Alih-alih merasa aman sebagai jurnalis yang membawa misi profesional, ia justru diteror secara langsung. “Pernah saat di penginapan, saya disenter-senter. Takut. Karena kami orang asli Papua, kami juga dianggap tidak netral dan tidak professional saat meliput,” katanya. Kekerasan seksual juga ia alami, tetapi ruang untuk melapor hampir tidak tersedia.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas jurnalis perempuan tidak hanya membawa beban profesi, tapi juga lapisan-lapisan kerentanan lain: etnis, gender, bahkan lokasi geografis. Hal inilah yang disebut sebagai kekerasan berlapis atau interseksional. Mirisnya, hal ini masih belum diakui sebagai isu mendesak dalam diskursus media arus utama.

Femisida dan Budaya Patriarki dalam Dunia Jurnalistik

Putri Nadya atau Putnad dari Banjarbaru mengangkat kasus pembunuhan Juwita, jurnalis perempuan yang dibunuh. Namun kematiannya justru tidak dikaitkan dengan profesinya oleh berbagai pihak, seolah kematian Juwita adalah kasus yang berdiri sendiri, tidak terkait dengan sistem yang aktif melanggengkan dan mereproduksi kekerasan. “Banyak yang bilang, ‘Juwita kan dibunuh tapi bukan karena dia jurnalis.’ Ada juga yang menyudutkan dengan moral dan norma keperawanan perempuan, jelasnya. Pernyataan-pernyataan tersebut adalah contoh dari tindakan victim blaming atau menyalahkan korban alih-alih menyoroti pelaku dan sistem yang memungkinkan kekerasan terjadi.

Kasus Juwita yang dikawal oleh Putnad adalah bentuk nyata dari femisida: pembunuhan terhadap perempuan karena identitas gendernya. Namun, dalam sistem media yang masih sangat maskulin dan patriarkal, femisida terhadap jurnalis perempuan sering diabaikan, atau bahkan dipelintir narasinya sehingga memperburuk stigma terhadap korban dan mengakibatkan terjadinya reviktimisasi, korban menjadi korban berulang.

Perlindungan Masih Minim, Serikat dan Kolektif Jadi Solusi

Dalam menghadapi situasi kekerasan tersebut, beberapa jurnalis perempuan mencoba mencari perlindungan melalui penguatan kolektif. Ajeng dari Hatalea, misalnya, menceritakan bagaimana ia pernah mengalami intimidasi hingga sentuhan fisik yang tidak diinginkan oleh pejabat saat meliput. “Ada hal-hal yang tidak bisa kita kontrol saat liputan,” ujarnya. Dalam menanggapi cerita itu, Mba Luvi dari media Konde menyarankan agar jurnalis perempuan aktif bergabung dalam organisasi atau serikat jurnalis. “Dengan berkolektif, kita punya kekuatan yang lebih besar. Kita tidak sendiri,” katanya.

Selain pentingnya kolektifitas, Luvi juga menyoroti pentingnya mendorong jurnalisme publik sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni konten yang sensasional dan tidak berpihak pada rakyat. Ia menekankan bahwa media seharusnya berfungsi sebagai pengawas kebijakan dan pelayan publik, bukan sekadar penghibur atau corong kekuasaan. Sayangnya, banyak media lebih memilih memberitakan hal-hal remeh seperti perselingkuhan pejabat atau gosip selebritas ketimbang isu-isu krusial seperti kekerasan terhadap pekerja rumah tangga atau kebijakan diskriminatif. Menurutnya, jurnalisme publik bukan hanya berbentuk artikel, tetapi juga harus tercermin dalam kebijakan redaksi, budaya kerja, dan relasi dengan komunitas.

Di Konde.co, dua prinsip dasar ini diterjemahkan melalui program Konde for Community, pemberdayaan anggota komunitas, dan keberanian mengkritik institusi sendiri melalui mekanisme umpan balik dari para anggota. Langkah ini menjadi contoh bagaimana media bisa bersikap progresif sekaligus membangun ketahanan kolektif di tengah tekanan politik dan ekonomi.

Konde bahkan telah memulai langkah konkret dengan memberikan perlindungan dan jaminan sosial tidak hanya untuk staf tetap, tetapi juga untuk kontributor dan pekerja magang. Di Konde, keberpihakan kepada kelompok rentan dianggap sebagai bentuk objektivitas. Jurnalisme Konde tidak hanya tercermin pada tulisan, tapi juga kebijakan, dan budaya kerja redaksi.

Urgensi Perlindungan Formal dan Kebijakan yang Progresif

Meski inisiatif akar rumput penting, tetap dibutuhkan perlindungan formal dari negara. Ninik Rahayu dari Dewan Pers menyampaikan bahwa kekerasan terhadap jurnalis perempuan kini semakin kompleks, termasuk bentuk baru seperti Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan serangan melalui penggunaan teknologi dan Artificial Intelligence (AI). Ia menekankan bahwa bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan sangat khas, karena mereka menjadi target bukan hanya karena profesi, tapi karena tubuh mereka, “Karena perempuan punya vagina,” jelasnya.

Sebagai respons atas kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi selama ini, Dewan Pers menyusun pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual terhadap jurnalis yang telah diluncurkan tahun 2024. Pedoman ini bukan hanya untuk lingkup dewan pers saja, melainkan untuk seluruh pers di Indonesia. Selain itu, membahas penanganan kasus kekerasan, Ninik menekankan bahwa kecepatan penanganan kasus sangat penting. Jangan sampai korban makin tersakiti karena proses yang lambat atau tidak sensitif gender. Meski memang, seringkali proses advokasi masih menghadapi berbagai tantangan sehingga masih dibutuhkan kesabaran dalam memperjuangkan hak-hak jurnalis.

Demokrasi Belum Sempurna Tanpa Perlindungan Jurnalis

Tyas Widuri merefleksikan pentingnya kedaulatan bagi para jurnalis. “Ketika jurnalis tidak mendapat kerja layak dan tidak merdeka, maka kita belum merdeka sebagai perempuan.” Pernyataannya menegaskan bahwa perjuangan jurnalis perempuan adalah bagian dari perjuangan demokrasi itu sendiri. Hak atas pekerjaan yang aman, bermartabat, dan bebas dari kekerasan adalah hak asasi yang tidak bisa ditawar.

Melindungi jurnalis perempuan berarti menjaga keberlangsungan informasi yang adil, akurat, dan berperspektif keadilan sosial. Kekerasan terhadap jurnalis perempuan bukan hanya soal kasus individual, tetapi juga cerminan dari sistem sosial yang belum adil terhadap perempuan. Dalam dunia media yang ideal, tidak seharusnya seorang jurnalis harus memilih antara menyuarakan kebenaran atau menjaga keselamatannya.

Perlindungan terhadap jurnalis perempuan tidak bisa ditunda. Ia harus datang dari berbagai arah. Baik itu regulasi negara, kebijakan internal media, solidaritas antar jurnalis, maupun perubahan budaya organisasi yang selama ini kerap mengabaikan isu gender. Hal yang tak kalah pentingnya, publik juga perlu terlibat dalam mendorong jurnalisme yang aman dan adil bagi semua. Karena ketika jurnalis perempuan dilindungi, bukan hanya mereka yang terlindungi. Kita semua, publik, informasi, kebenaran, dan demokrasi pun turut terjaga.

Annisa Nurul Hidayah Surya

Perempuan Mahardhika Jakarta

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close