Jurnalis Perempuan Diteror: Kebebasan Pers di Ujung Tanduk

Pada 19 Maret 2025, jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana, menjadi sasaran teror ketika kantornya menerima paket berisi kepala babi berdarah. Tidak ada nama pengirim, tidak ada keterangan, hanya sebuah ancaman yang berbicara dalam diam.

Teror ini terjadi sehari sebelum pengesahan Undang-Undang TNI pada 20 Maret 2025, sebuah kebijakan yang menuai kritik luas karena memperluas kewenangan militer dalam urusan sipil. Banyak pihak menilai undang-undang ini bisa mempersempit ruang demokrasi dan kebebasan pers.

Kasus ini menunjukkan bagaimana jurnalis perempuan sering menjadi target utama intimidasi. Mereka tidak hanya menghadapi ancaman karena profesinya, tetapi juga karena gender mereka.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa jurnalis perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Riset International Women’s Media Foundation pada 2018 mengungkap bahwa 64,8 persen jurnalis perempuan mengalami intimidasi dan ancaman saat bekerja. Sebanyak 47,9 persen mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, dan 21,6 persen mengalami kekerasan fisik. Dalam banyak kasus, pelaku adalah pejabat pemerintah dan aparat keamanan.

Di Indonesia, survei PR2Media pada 2021 terhadap 1.256 jurnalis perempuan menemukan bahwa 85,7 persen mengalami kekerasan sepanjang karier mereka. Bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan fisik dan digital, pelecehan seksual verbal, hingga ancaman yang bersifat seksual.

Ancaman seperti ini bukan sekadar serangan terhadap individu, tetapi juga pesan bagi semua jurnalis perempuan: diam atau hadapi teror. Mereka yang meneror tahu bahwa menyerang perempuan bukan hanya melumpuhkan satu suara, tetapi juga menanamkan ketakutan bagi yang lain.

Teror terhadap jurnalis Tempo juga bertepatan dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap kebebasan pers di Indonesia. Pengesahan Undang-Undang TNI menimbulkan kekhawatiran bahwa jurnalisme kritis akan semakin ditekan, dengan alasan menjaga stabilitas nasional. Sejarah telah berulang kali menunjukkan bahwa ketika militer mendapatkan ruang lebih besar dalam politik sipil, pers sering kali menjadi korbannya.

Jika kasus ini dibiarkan tanpa ada konsekuensi, masa depan kebebasan pers di Indonesia semakin suram. Hari ini, kepala babi dikirim sebagai ancaman. Besok, apa lagi?

Jurnalis perempuan selalu menjadi target pertama ketika kebebasan berbicara terancam. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa mereka yang berani berbicara dapat mengubah sistem.

Dari Marsinah hingga Najwa Shihab, sejarah sudah membuktikan bahwa perempuan yang berani berbicara dapat mengubah sistem.

Dan sejarah juga membuktikan bahwa mereka yang takut kehilangan kekuasaan akan selalu menyerang lebih dulu.

Tapi semakin keras mereka mencoba membungkam, semakin besar suara yang akan kita bangun.

Ini bukan hanya soal Francisca Christy Rosana.

Ini soal kebebasan pers, kebebasan berbicara, dan masa depan demokrasi di Indonesia.

Ketika tekanan semakin besar, perlawanan juga akan semakin kuat. Mereka yang berpikir bahwa teror bisa membungkam jurnalis perempuan lupa satu hal: mereka tidak akan diam.

Putri Tsabitah An Nabil

Jurnalis Jurnalborneo

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close