Hari PRT Nasional 2024: Rezim Berganti, Perjuangan PRT Tidak Berhenti

Perempuan berusia 15 tahun itu bernama Sunarsih. Sunarsih adalah korban perdagangan orang yang dipaksa bekerja di Surabaya, Jawa Timur. Bersama 4 PRT lainnya, Sunarsih mengalami penyiksaan dan kekerasan dari majikannya. Mulai dari tidak diberi upah, tidak diberi makanan yang layak, dikurung di rumah, hingga bekerja melebihi 18 jam yang membuatnya harus tertidur di lantai jemuran. Pada 12 Februari 2001, Sunarsih meregang nyawa karena dibuat kelaparan dan disiksa oleh sang majikan. Dan pelaku masih saja lolos dari jeratan hukum.

Tragedi Sunarsih dikenang sebagai Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional, yang diperingati setiap tanggal 15 Februari. Adanya hari peringatan tidak menjamin ketidakberulangan. Sampai tahun 2024, selama 24 tahun lamanya, hampir setiap hari kita masih terus mendapati wajah-wajah Sunarsih yang lain. Sutini yang disekap dan disiksa 6 tahun. Ani yang disekap dan disiksa 9 tahun. Nurlela yang disekap dan disiksa 5 tahun. Eni, Toipah, Rohimah, Khotimah, Rizki dan nama-nama PRT lainnya yang menjadi korban. Menurut data dari Jala PRT, setiap hari 10 s.d 11 orang PRT menjadi korban berbagai bentuk kekerasan.

Bagi PRT bukanlah hal yang singkat dan mudah, sebab mereka bekerja sambil berjuang dengan penuh harap dan penantian. Sudah 4 kali pergantian Presiden dan 4 kali pergantian jajaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semangat perjuangan para PRT untuk membebaskan tubuhnya dari penindasan dan mendesak negara memberikan perlindungan tidak meredam. Bahkan secara konsisten menyala di pinggiran kontestasi Pemilu 2024. Merebut ruang politik adalah keseharian yang dilakukan kawan-kawan PRT melalui aksi Mogok Makan di depan Gedung DPR RI Senayan. Mogok makan sebagai simbol kelaparan dan kemelaratan yang dialami PRT. Dengan perkap aksi sederhana, panas sekalipun hujan tetap diterjang, tidak peduli para penguasa sedang libur atau tidak, PRT tidak menjadikannya hambatan untuk hadir di depan Gedung DPR RI Senayan. Kini sudah hari ke-171 sejak aksi simbolik Mogok Makan pertama kali dilakukan pada 14 Agustus 2023 silam.

Indonesia merupakan salah satu negara yang belum meratifikasi Konvensi ILO No. 189 atau Konvensi No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga. Pengakuan sebagai pekerja adalah kepentingan yang selama ini PRT tuntut. Pengakuan atas pekerjaan bukanlah perkara sepele. Pasalnya, perempuan merupakan kelompok mayoritas yang bekerja sebagai PRT. Dan selama itu juga, pekerjaan rumah tangga/domestik memiliki bias ganda: bias gender dan bias kelas. Melalui RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pengakuan holistik terhadap PRT secara hukum dan sosial dapat membangun dan menegaskan bahwa pekerjaan rumah tangga/domestik sama pentingnya dengan pekerjaan yang lain, dan menekankan peran negara serta majikan untuk memenuhi dan menghormati hak-hak dasarnya seperti upah kerja, jaminan sosial, istirahat, libur mingguan, cuti, hak berserikat dan berunding, THR dan perlindungan terhadap kekerasan dan pelecehan.

Di bawah kapitalisme dan patriarki, adanya pembagian kerja secara seksual dan pemisahan yang jelas antara rumah tangga dan produksi komoditas berimplikasi pada meluasnya dimensi persoalan perempuan dalam beragam posisinya sebagai tenaga kerja domestik. Bagi perempuan kelas berpunya, mereka dapat semudahnya membebaskan diri dari kerja-kerja domestik dengan mempekerjakan seorang PRT. Sedangkan PRT sendiri berasal dari kelas pekerja yang tak berupah maupun berupah murah yang kemudian menjual tenaganya. Rumah tangga adalah unit yang berfungsi untuk merawat, mereproduksi dan memulihkan kekuatan manusia itu sendiri. Sehingga kerja domestik adalah sentral agar kegiatan di level makro dapat berjalan. Meski terlihat yang dikerjakan perempuan dan PRT sangat esensial, di tengah sistem ekonomi-politik maskulin, nilai-nilai atas kerja perawatan tersebut seringkali dihilangkan dan tidak diperhitungkan, dan melepas tanggung jawab negara di dalamnya. Akibatnya, PRT menanggung diskriminasi berlapis. Hal ini yang mau direbut kembali oleh kawan-kawan PRT.

Pun dalam sepanjang masa kampanye Pemilu 2024, visi-misi yang dilontarkan Paslon selama debat Capres-Cawapres berlangsung, tidak ada yang secara eksplisit menyoroti dan menawarkan gagasan baru untuk menjawab persoalan perempuan pekerja, dalam konteks ini salah satunya PRT. Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi PRT (Jala PRT), dalam tayangan siaran langsung Youtube Pemilu Inklusif: Nobar Debat Capres—salah satu temanya adalah ketenagakerjaan—yang diselenggarakan oleh Yayasan Humanis mengatakan,

“Visi misi para paslon menyederhanakan masalah, salah satunya dari paslon 02 dengan makan gratis itu dianggap dapat menyelesaikan masalah, padahal sebetulnya kalau kita bicara dari segi hidup layak semuanya bisa dimulai dari upah yang layak, perlindungan sosial dan merubah struktur ketenagakerjaan untuk pekerja yang dimarjinalkan.”

Tak heran, sebab ketiga Pasangan Calon hanya peduli pada narasi pembangunan dan liberalisasi ekonomi yang tujuannya memelihara ketidakadilan untuk mendapatkan keuntungan lebih dari eksploitasi kerja-kerja perempuan berupah murah. Pergantian rezim tidak menjamin dapat membawa perubahan berarti bagi PRT.

Perjuangan di ranah hukum telah ditempuh oleh Jala PRT selama bertahun-tahun agar RUU PPRT dapat disahkan. Selalu ada cara untuk berjuang. Berbagai metode telah dilakukan, dari mogok makan, merantai dan menggembok diri di pagar Gedung DPR RI, menutup pagar Gedung DPR RI dengan serbet raksasa, membuat film dokumenter Mengejar Mbak Puan dan nonton bersama di depan Gedung DPR RI, melakukan simbol pekerjaan PRT di depan Gedung DPR RI seperti membersihkan kotoran, sampah, mengosek WC, dan lain-lain. Tidak hanya berdemonstrasi di jalanan, Jala PRT juga telah melakukan lobi, audiensi dan sosialisasi. Tetapi, hingga sekarang negara masih menggantung nasib jutaan para PRT.

Sejak Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah telah diserahkan ke DPR pada bulan Mei 2023 lalu, perjuangan RUU PPRT tinggal selangkah lagi dengan menjadwalkan pembahasan draf RUU kemudian mengesahkannya. Namun, proses legislasi RUU PPRT terkatung-katung di tangan Ketua DPR karena tak kunjung ada keputusan dari pimpinan DPR untuk segera membahas RUU PPRT hingga akhir penutupan masa persidangan 2023 – 2024 dan semua elit sibuk mempersiapkan dirinya di Pemilu. Puan Maharani sebagai pemimpin perempuan justru menggantung nasib para PRT dan membiarkan jutaan perempuan hidup dalam lingkaran kekerasan dan kemiskinan.

Di Hari PRT Nasional ini bukan waktunya untuk mengharap belas kasih penguasa, lantas sebaliknya. Karena keteguhan kawan-kawan PRT yang berdiri selama 20 tahun lebih, lagi-lagi menjadi bunyi keras pengingat bahwa negara belum menyelesaikan PR-nya untuk melindungi PRT. Kawan-kawan PRT akan terus berdiri menuntaskan perjuangannya meski negara kerapkali menghindarinya. Kawan-kawan PRT akan terus bersuara lantang meski RUU PPRT di-oper rezim kesana kemari. Pemilu selesai dalam sekejap mata, rezim berganti, PRT akan terus ada, mengganda, dan memperjuangkan hak.

Jihan Faatihah

Aktivis Perempuan Mahardhika

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close