Hadapi Dominasi Militer, Komite Basis Jurnalis Perempuan Mahardhika Samarinda Ajak Wartawan Berserikat

Dengan disahkannya Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Supremasi sipil menjadi terancam sepenuhnya dengan kehadiran militer di ranah sipil. Militer yang seharusnya fokus pada pertahanan negara justru berpotensi mengambil alih peran lembaga sipil dalam pengambilan keputusan dan politik.

Dominasi militerisme ini juga akan mencoreng nilai demokrasi. Tak terkecuali kepada pilar ke-4 demokrasi, jurnalis. Jurnalis sebagai pilar keempat demokrasi, yang berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat dan pengawas kekuasaan, menjadi sasaran utama, terutama jurnalis perempuan. Militerisme yang melanggengkan budaya kekerasan dan dominasi akan mengancam kerja sebagai jurnalis dan nyawa sebagai perempuan.

Melihat kondisi yang mengkhawatirkan ini, Perempuan Mahardhika Samarinda melalui Komite Basis Jurnalis mengadakan Diskusi Publik bertemakan ” Menguatnya Dominasi Militer dan Ancaman Bagi Jurnalis Perempuan” di Aula Kantor PWI Kaltim Jalan Biola, Sabtu (26/5/2025). Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, Titah selaku Koordinator Komite Basis Jurnalis dan Noviyatul dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Samarinda.

Titah menjelaskan, sebelum adanya pengesahan revisi UU TNI ini, jurnalis perempuan telah mengalami kekerasan dan intimidasi yang jarang terjadi oleh jurnalis laki-laki. Jurnalis perempuan kerap mendapatkan perkataan seksis dan kekerasan seksual oleh narasumber maupun rekan kerja.

Namun, kekerasan berlapis pun terjadi ketika isu revisi UU TNI menguak.”Terbukti pada kasus yang telah terjadi di tahun 2025, Jurnalis perempuan Tempo, Cica mengalami teror kiriman kepala babi dan bangkai tikus. Teror itu langsung ditunjukkan kepada Cica hanya karena dia perempuan. Ada pula kasus pembunuhan jurnalis Juwita di Banjarbaru yang mana ternyata kasusnya merupakan pembunuhan berencana. Ini bentuk nyata dari femisida, dia dibunuh karena gendernya,”jelas Titah.

Hal-hal ini pun terjadi di Kota Samarinda. Baru-baru saja, ada jurnalis perempuan yang mengalami intimidasi dari narasumber. Dimana, narasumber menyatakan bahwa jurnalis tersebut tidak etis untuk menanyakan isu yang tidak sesuai dengan agenda yang dihadiri.

Sementara itu, Novi menyatakan kerentana bagi jurnalis perempuan setelah adanya revisi UU TNI semakin berlapis. Karena sebelumnya saja, kerentana pada jurnalis perempuan masih layaknya fenomena gunung es. Hanya terlihat di permukaan saja.

Memang, Dewan Pers telah mengeluarkan aturan tentang SOP kekerasan seksual yang seharusnya bisa diadopsi oleh perusahaan media. Namun, hingga saat ini masih belum banyak perusahaan media yang menerapkan hal tersebut. “AJI Samarinda sendiri memiliki SOP sendiri dan Satgas sendiri. Tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi,”ujarnya.

Jurnalis perempuan perlu menghadapi tantangan tersebut dengan berserikat untuk bersuara bersama. Pun untuk meningkatkan keamanan melalui pelatihan keamanan holistik.

“UU TNI tidak menuju kebaikan. Karena banyak kasus kekerasan kepada media yang pelakunya oleh TNI. Jadi jurnalis harus berpikir dengan merdeka,”tegasnya.

Pemantik dua narasumber ini menggugah semangat para peserta untuk berani menyuarakan pendapat mereka. Dari diskusi ini, seluruh narasumber dan peserta menyetujui bahwa pentingnya jurnalis untuk berserikat agar jurnalis terlindungi dan secara kolektif mampu menuntut hak perlindungan bagi jurnalis perempuan.

Seperti yang ditekankan oleh Titah.”Satu suara tidak akan melawan sistem kekerasan. Tetapi dengan berserikat, jurnalis bisa bersatu untuk melawan sistem kekerasan,”kuncinya.

Perempuan Mahardhika Samarinda juga mengajak jurnalis perempuan untuk tergabung dalam Komite Basis Jurnalis untuk bersama-sama mewujudkan dunia jurnalistik yang aman. Komite Basis Jurnalis menjadi alat perjuangan jurnalis perempuan untuk bisa melawan dunia jurnalistik yang masih maskulin, melawan patriarki di ruang redaksi maupun di lapangan, serta mewujudkan penerapan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perusahaan media.(*)

Disya Halid

Jurnalis Perempuan di Kota Samarinda yang juga anggota Perempuan Mahardhika Kota Samarinda. Seorang perempuan yang memiliki minat untuk lebih memahami hak sebagai perempuan dari segi kehidupan sehari-hari. Seorang perempuan yang terus menerus belajar

Comments

wave
1 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close