Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia di Kancah Internasional

Tonggak keempat sejarah gerakan perempuan di Indonesia dijelaskan oleh Ita Fatia Nadia, pegiat dari Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Indonesia dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika berjudul Kiprah Perempuan Muda dalam Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia yang diadakan pada tanggal 24 September 2020. Ita menceritakan mengenai tonggak keempat yang ditandai dengan Gerakan Pembebasan Nasional, Internasionalisme dan Dekolonisasi yang melibatkan perempuan dalam Gerakan pembebasan nasional dan kemerdekaan untuk negara-negara yang terjajah. Organisasi perempuan yang berada di Indonesia menjadi anggota dari GWDS atau Gerakan Wanita Demokrat-Sosialis dan International Women’s Sufferage. 

Untuk mewujudkan pembebasan nasional maka diperlukan segara perangkat dalam membebaskan perempuan. Oleh karena itu, didirikanlah Yayasan Kesejahteraan Buruh Wanita kemudian didirikan pada 25 tahun Kongres Perempuan di Solo pada tahun 1950. Yayasan tersebut memberikan beasiswa pendidikan pada anak-anak perempuan dan mengeluarkan resolusi perempuan yang menuntut pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap harga bahan makanan pokok.

Pada era ini, perempuan pertama kalinya diangkat sebagai menteri. Maria Ulfah diangkat sebagai Menteri Sosial yang pertama oleh Presiden Soekarno. Presiden Soekarno kemudian mengeluarkan dekrit Presiden No. 316 Tahun 1959 yang menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu untuk menghormati perempuan dalam perjuangan kemerdekaan dan kesejahteraan hidup bangsa.

Kiprah perempuan Indonesia tidak berhenti pada tingkatan nasional saja. Setiati Surasto, seorang aktifis buruh dan anggota Konstituante dari Partai Komunis Indonesia bergerak dari akar rumput hingga ke tingkat internasional untuk membicarakan kondisi buruh perempuan. Pada tahun 1946 ia mendesak didirikannya Barisan Buruh Wanita (BBW). BBW kemudian melebur dibawah SBSI (Sentra Organisasi Buruh Indonesia) pada kongres SOBSI ke IV tahun 1947 dimana ia terpilih sebagai wakil ketua II Dewan Nasional SOBSI.

Pada tahun 1956, Setiati dipilih menjadi ketua delegasi buruh perempuan Indonesia pada konferensi buruh Asia Afrika dan mendesak untuk memperluas Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 agar memasukkan persamaan upah antara buruh lelaki dan perempuan dengan pekerjaan yang sama serta menghapus segala bentuk diskriminasi. Usulannya diterima oleh Gabungan Serikat Buruh Sedunia yang berpusat di Praha. Ia kemudian menjadi bagian dari drafter perluasan Konvensi ILO NO. 100 Tahun 1951 khusus untuk persamaan upah dan anti diskriminasi. 

Setiati juga bergabung dalam Gerakan Pembebasan Nasional dan Internasionalisme bersamaan dengan organisasi Gerwani, Setiati menjadi anggota delegasi di konferensi WIDF (Women’s International Democratic Federation) pada tahun 1953 di Copenhagen Denmark. Ia juga mengikuti Sidang Biro Gabungan Wanita Demokratis Sedunia di Jakarta pada tahun 1960. Ia juga dilibatkan dalam Manifesto Politik Republik Indonesia dalam Kongres Pemuda Indonesia di Bandung sebagai anjuran presiden Soekarno pada 14-21 Februari 1960.

Keterlibatan Setiati dalam internasionalisme juga mencakup dalam usaha menghentikan senjata nuklir. Ia berpidato dalam konferensi tingkat tinggi dunia di Perserikatan Bangsa Bangsa. Ia juga menulis surat kepada pemerintah Perancis untuk menghentikan percobaan senjata nuklir di Sahara. Kemudian menyerukan kebangkitan perempuan Asia-Afrika untuk Gerakan perdamaian dan anti kolonialisme. Ia juga ikut dan turut serta membangun dan meningkatkan solidaritas perempuan Asia Afrika untuk mengambil bagian dari pembangunan nasional, kesejahteraan rakyat dan keamanan keluarga. Gerakan perempuan dari 12 negara di Asia Afrika kemudian diperingati Kembali pada 50 tahun Hari Perempuan Internasional di kota Copenhagen dari tanggal 21-24 April 1960. Peringatan ini juga disertai dengan perlawanan terhadap penjajahan, menentang rasisme dan tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan di Asia, Afrika dan Amerika Latin.  

Setiati juga menjadi anggota delegasi Gerwani. Ia pun ikut dalam demonstrasi buruh kulit hitam di Afrika Selatan tahun 1956/1957 dengan menggunakan semangat Bandung untuk melawan apartheid. 

Setiati Surasto yang lahir di Banyuwangi pada tanggal 23 Februari 1920, meninggal di Stockholm, Swedia pada tanggal 20 November 2006.

Selain Setiati, ada R.A. Hidayat yang juga ikut dalam pertemuan Kopenhagen karena ia melihat pentingnya kemajuan dan hak-hak kaum perempuan di seluruh Asia-Afrika. Hal ini berkaitan erat dengan kemerdekaan nasional yang dilandasi dengan persahabatan internasional dan perdamaian dunia.

Ada pula Dr. Hurustiati Subandrio, seorang anggota presidium Musyawarah Wanita Internasional di Kopenhagen, ia berpidato dan menulis dalam Majalah Wanita Internasional:

Kebodohan dan keterbelakangan perempuan di Asia-Afrika karena tekanan dari kolonialisme dan imperialism. (Oleh karena itu-Red) Ditekankan pentingnya persahabatan dan persatuan internasional untuk melawan kolonialisme dan imperialisme.

Pada tahun 1960, Setiati menjadi anggota dalam konferensi WIDF (Women’s International Democratic Federation). Setiati pun bergabung dengan pemuda sosialis internasional. Ia pergi ke Albania untuk berlatih militer dan bergabung bersama tentara rakyat Albania dalam melawan penjajahan Perancis.

Pada tahun 1964, Setiatu pun diangkat menjadi sekretaris Gabungan Serikat Buruh Sedunia pada tahun 1964 di Praha. Ia secara khusus memperjuangkan solidaritas kaum buruh internasional yang bernafaskan anti imperialisme dan dekolonisasi. Ia tidak bisa pulang ke Indonesia pada tahun 1965 karena saat itu pemerintah Orde Baru melakukan pembunuhan dan pemerkosaan massal terhadap Gerwani. Saat itu ia berada di Praha dan menjadi eksil di Swedia.

Dari Maria Ulfah hingga Setiati Surasto kita bisa belajar bagaimana kita bisa melakukan berbagai bentuk emansipasi nasional dari tingkatan lokal hingga internasional. Setiati pun menunjukkan bagaimana solidaritas perempuan Indonesia juga tak mengenal perbatasan negara. Ia berjuang untuk seluruh manusia tanpa terkecuali. Namun sayangnya namanya jarang didengar dan ditelan oleh sejarah. Darinya kita bisa belajar untuk bisa bersolidaritas bersama perempuan dan rakyat dimanapun berada untuk kepentingan seluruh manusia dalam melawan rezim kolonial dan imperialis. 

Fira Bas

Seorang feminis Jawa yang sesekali melakoni sebagai dokter gigi serta melawan segala ketidakmungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan, dan semangat hidup.

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close