Tidak banyak yang tahu bahwa tanggal 2 Februari adalah Hari Gambut Sedunia atau World Wetland Day. Sejarah dari peringatan ini diawali pada tahun 1971 yaitu pada Konvensi Ramsar atau Kovensi Lahan Basah yang diadakan di kota Ramsar di Iran. Lahan gambut memiliki peranan penting dalam meminimalisir perubahan krisis iklim. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya restorasi lahan gambut.
Lahan gambut adalah jenis tanah basah yang muncul dimuka bumi dan menutupi permukaan bumi sebanyak 3%. Ia memiliki fungsi untuk memelihara ekosistem dan biodiversitas. Ia juga membantu menyediakan air bersih yang aman untuk diminum, meminimalisi risiko banjir dan membantu menjawab permasalahan krisis iklim.
Minimnya kesadaran masyarakat tentang fungsi gambut mengakibatkan lahan gambut dirusak melalui aktifitas yang dilakukan manusia seperti drainase, konversi lahan pertanian, pembakaran dan pertambangan.
Terdapat 15% lahan gambut yang menutupi permukaan bumi sebanyak 0.4% yang telah dirusak dan didrainase. Hal ini menyebabkan gas emisi rumah kaca seperti terjebaknya CO2 didalam tanah gambut meningkat.
Selain itu lahan gambut yang rusak juga berkontribusi besar terhadap emisi gas kaca dari lahan yang digunakan sekitar 10%. Diperkirakan terdapat 1.3 Gigaton CO2 yang dihasilkan setiap tahun dari emisi CO2 yaitu setara dengan 5.6% emisi CO2 yang dihasilkan oleh akitifitas manusia.
Kerusakan lahan gambut seperti terbakarnya lahan gambut di Indonesia pada tahun 2015 menyebabkan emisi gas CO2 sebesar 16 juta ton dalam sehari. Hal ini melebih emisi gas CO2 yang di keluarkan Amerika Serikat dalam tiap harinya untuk aktifitas ekonomi. Berkurangnya populasi orangutan di Kalimantan sebanyak 60% juga terjadi karena drainase yang dilakuka pada lahan-lahan gambut.
CIFOR mengeluarkan data Global Wetlands dan mencatat jumlah lahan gambut dan lahan basah di Indonesia. Indonesia meimiliki lahan gambut sebesar 22 juta hektar sedangkan untuk lahan basah terdapat 37 juta hektar. Indonesia menempati urutan kedua terkait besar lahan basah setelah Brazil yaitu sebesar 79 juta hektar tanah lahan basah dan 31 juta lahan gambut.
Di Indonesia, Papua memilik lahan gambut sebesar 6.3 juta hektar kemudian diikuti Kalimantan Tengah (2,7 juta ha), Riau (2,2 juta ha), Kalimantan Barat (1,8 juta ha) dan Sumatera Selatan (1,7 juta ha). Selain itu ada Papua Barat (1,3 juta ha), Kalimantan Timur (0,9 juta ha) serta Kalimantan Utara, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan yang masing-masing memiliki 0,6 juta ha.
Lahan basah dan lahan gambut pun memiliki peranan besar dalam kehidupan bermasyarakat. Ia juga mendukung perempuan untuk berdaya dan memiliki relasi yang baik dengan pasangannya.
Purun atau Eleocharis dulcis yang tumbuh di lahan gambut dan rawa memilik pemanfaat untuk mendukung kehidupan masyarakat. Purun digunakan sebagai bahan pupuk organic dan biofilter untuk memperbaiki kualitas air. Purun dapat menyerap unsur beracun seperti besi, sulfur, timbal, merkuri dan cadmium.
Selain itu Purun digunakan dalam industri rumah tangga sebagai bahan dasar kerajinan tangan yang dikerjakan oleh perempuan-perempuan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Perempuan memanfaatkan purun sebagai anyaman tikar, tas, dan sandal. Kerajinan purun akhirnya membuat kecamatan Pedamaran dikenal sebagai “Kota Tikar.” Keahlian perempuan dalam menganyam tikar yang terbuat dari Purun didapatkan perempuan secara turun temurun.
Industri rumah tangga ini juga memberikan penghasilan tambahan dan melibatkan Kerjasama antara suami dan istri. Lelaki akan mencari dan mengambil purun. Kemudian Perempuan akan mengolah dan menganyam purun untuk dijadikan berbagai produk kerajinan.
Begitu pula dengan masyarakat di Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Ibu-ibu dari desa Tumbang Nusa memanfaatkan Purun jenis Lepironia articulata yang merupakan rumput liar yang tumbuh di sekitar danau maupun rawa. Purun kemudian dimanfaatkan sebagai bahan dasar untuk membuat sedotan.
Namun pemberdayaan perempuan untuk mencegah emisi dari kebakaran hutan gambut tak cukup hanya dengan memberdayakan dirinya sebagai pengrajin namun harus dengan melibatkan perempuan dalam perencanaan desa hingga memastikan perempuan ada dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Di Desa Sinar Wajo, Jambi, perempuan memiliki peranan penting dalam memulihkan lingkungan terutama pemulihan dan restorasi Gambut. Terdapat 773 petani perempuan dan perajin yang tergabung dalam pemberdayaan masyarakat. Perempuan terlibat dalam perencanaan desa, pemetaan partisipasi dan penyusunan peraturan desa, pemberdayaan ekonomi kelompok, sekolah lapang petani, pengelolaan kebun contoh pertanian alami dan tanpa bakar dan paralegal desa.
Untuk memastikan tanah gambut dapat dipertahankan, pemerintah telah mengeluarkan larangan penggunaan api untuk membuka lahan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut undang-undang tersebutm setiap orang yang melakukan pembakaran lahan dapat dipidana dengan hukuman penjara 3-10 tahun dan denda 3-10 miliar Rupiah. Namun korporasi besar masih melakukan pembakaran taah gambut karena dianggap murah dan mudah.
Membakar tanah gambut dapat memiliki berbagai dampak yaitu menurunkan kesubutan tanah gambut, menghilangkan kemampuan tanah dalam menampung air, hilangnya cadangan karbon yang sangat besar, dan mempercepat laju penurunan permukaan tanah gambut.
Peran perempuan memang penting dalam mencegah pembakaran tanah gambut dan pengalihan fungsi lahan, namun hal ini saja tidak cukup. Negara harus berperan aktif memastikan perusahaan-perusahaan tidak melakukan pembakaran untuk membuka lahan baru.