Brand dan Supplier harus bertanggungjawab atas Terbunuhnya Jeyasre

Jeyasre Kathiravel, seorang buruh perempuan berusia 21 tahun dari komunitas Dalit dibunuh oleh supervisornya sendiri. Ia bekerja di salah satu perusahaan supplier untuk brand H&M, Natchi Apparels di Kaithian Kottai, Tamil Nadu, India. Sebelum ditemukan tewas dibunuh, Jayasre mengeluh telah menerima banyak sekali pelecehan seksual.

Keluarganya terakhir melihat Jayasre pada 1 Januari 2021, ketika ia diminta untuk melaporkan sesuatu oleh atasannya ke pabrik, 4 hari kemudian, tepatnya pada 5 Januari, seorang petani menemukan tubuh Jayasre terbaring kaku yang tak bernyawa di tempat pembuangan sampah.

Kasus Jayasre sampai sekarang masih berlanjut dan banyak orang terkejut atas kekejaman yang terjadi. Padahal, India sendiri telah memiliki beberapa aturan terkait kekerasan seksual dan anti-diskriminasi terhadap komunitas Dalit – komunitas paling termarginalkan akibat sistem Kasta, Dalit merupakan Kasta terendah – misalnya saja Criminal Law Amandement Act tahun 2013 yang mengkriminalis tindakan kekerasan seksual, stalking dan voyeurisme. Di dunia kerja ada aturan bernama Prevention of Sexual Harrassment of Women at Work Place (Prevention, Prohibition, and Redressal) Act tahun 2013 atau yang lebih deikenal sebagai POSH Act. Aturan ini mewajibkan masing-masing kantor memiliki Internal Complaint Committee (ICC) yang berfungsi sebagai kanal aduan bagi pekerja yang mengalami kekerasan seksual di tempat kerja. Anggota ICC sendiri beragam, mulai dari jajaran atas di pabrik, orang yang memiliki ketertarikan pada isu perempuan, orang dalam perusahaan yang memiliki pengalaman terkait dengan hukum dan pekerja sosial serta anggota eksternal seperti LSM yang familiar dengan isu kekerasan seksual. Dalam perlindungan komunitas Dalit sendiri, pemerintah India mengeluarkan aturan Scheduled Castes and Tribes (Prevention of Attrocities) Act pada 1989 untuk menghukum siapa pun yang masyarakat adat dan orang-orang yang tidak boleh disentuh (Dalit).           Kasus Jayasre mengakibatkan kemarahan yang sangat besar dan menggerakkan berbagai elemen masyarakat karena Jayasre sendiri merupakan anggota serikat buruh. Dia datang dari komunitas Dalit dan isu kekerasan seksual yang menimpanya juga merupakan isu yang menjadi perhatian gerakan perempuan di India. Pasca kasusnya terbongkar ke publik, keluarga Jayasre sempat menerima ancaman dari preman setempat yang disewa oleh perusahaan. Mereka memaksa keluarga Jayasre untuk menandatangani kesepakatan yang menyatakan apa yang terjadi pada Jayasre tidak ada sangkut pautnya dengan perusahaan. Setelah ditekan dari banyak pihak, H&M setuju bahwa kesepakatan yang dibuat di bawah paksaan tidak berlaku dan mereka akan menginvestigasi kasus ini secara independen.

Counter narasi yang coba dikembangkan pihak supplier adalah Jayasre merupakan korban perkosaan dan pembunuhan yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan karena kejadiannya berada di luar lingkungan perusahaan. Padahal, sejak awal perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang sangat hierarkis, yang pada akhirnya sampai pada titik ini perusahaan sengaja mempekerjakan buruh garmen perempuan dari komunitas Dalit dan mempekerjakan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi sebagai supervisor. Sehingga ini membuat perempuan-perempuan tidak berdaya akibat relasi kuasa yang timpang dari segi gender dan kasta, meskipun di perusahaan sendiri terdapat ICC.

Nandita Shivakumar dari India Coordinator Asia Floor Wage Alliance (AFWA) dalam Ngobras, Ngobrol Santai Bareng Buruh pada Sabtu, 17 April 2021 lalu menjelaskan mengapa kasus Jeyasre bisa terjadi. Pertama, ICC sendiri adalah komite wajib sehingga biasanya perusahaan memilikinya hanya untuk kelengkapan administrasi saja, anggota-anggota ICC tidak diseleksi dengan benar sesuai kriteria dan tidak ada pengawasan khusus dari pemerintah India terkait efektivitas ICC yang dibentuk perusahaan. Kedua, hambatan bahasa dimana India memiliki banyak sekali bahasa daerah namun tidak ada satu pun bahasa nasional sehingga pekerja yang berasal dari luar Tamil Nadu kemungkinan tidak bisa berbicara dan melaporkan kasusnya karena perbedaan bahasa. Ketiga, adanya balas dendam yang dilakukan oleh perusahaan jika ada pekerja yang melaporkan atau berbicara mengenai kasus kekerasan seksual yang menimpanya. Banyak kejadian dimana setelah pekerja melaporkan kasusnya mereka dipecat. Keempat, sistem kasta dan budaya patriarki yang sangat kuat di India dan ini direplikasi oleh perusahaan dengan sengaja.

Saat ini, pelaku dinyatakan bersalah dan sedang menjalani hukumannya tanpa ada kesempatan untuk pengurangan masa tahanan. Pihak supplier dan brand pun setuju untuk membayar kompensasi terhadap keluarga Jayasre. Kompensasi ini merupakan hal yang baru karena dalam kasus-kasus serupa sebelumnya tidak pernah ada supplier atau brand yang membayar kompensasi terhadap keluarga korban. Namun, bukan berarti kasus Jayasre berhenti sampai disini, solidaritas yang terbangun masih berusaha mendorong agar ada perjanjian tertulis antara pekerja, supplier dan brand untuk menghindari kejadian yang sama, mengingat H&M sendiri mengatakan mereka memiliki zero-tolerance untuk kekerasan berbasis gender dalam rantai pasoknya.

Kiky

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lambung Mangkurat sekaligus penggerak di kolektif Narasi Perempuan. Saat ini berdomisili di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Tertarik pada isu HAM, feminisme, gender equality dan hak perempuan.

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close