Perkenalkan nama saya Eti Sulastri. Biasa dipanggil Eti. Sehari-hari saya bekerja sebagai buruh di PT. X, pabrik garmen yang bertempat di Kabupaten Sukabumi, bekerja di bagian pemotongan (cutting). Selain itu, saat ini, saya aktif berorganisasi di Perempuan Mahardhika Sukabumi.
Pada 2021, di saat makan siang kerja, ada salah satu kawan buruh perempuan, satu pabrik, namanya Rika, menyodorkan selebaran bertulis “Stop Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sembari mengajak saya datang ke acara Riung Pagawe.
“Teh, Perempuan Mahardhika mau adain Riung Pagawe, dateng ya” bujuknya
“Ini acara apa, ya?” jawabku sambil membaca dan membalik-balikkan kertas yang diberikan
“Acara kumpul para buruh perempuan untuk sosialisasi tentang KDRT”
“Emang yang adain siapa?”
“Perempuan Mahardhika, organisasi perempuan, disini kamu bisa belajar kalau saat perempuan dapet KDRT, bisa melawan dan melapor, ‘kan sudah ada undang-undangnya. Apalagi kalau perempuan bersama-sama itu kuat” pungkasnya untuk mempengaruhi saya
Saya memang tahu kalau Rika berorganisasi. Tapi, saat itu kali pertama mendengar organisasinya dan isu yang dibicarakan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), saya tertarik. Sebab, bertahun-tahun di garmen sering mendengar sesama buruh banyak yang menjadi korban KDRT, hal ini cukup membuat saya resah. Tetapi, saya belum tahu kemana keresahan tersebut dapat disalurkan dan diubah mewujud tindakan untuk melenyapkan budaya kekerasan termasuk KDRT di kalangan buruh. Akhirnya, saya mengabari Rika dan menyampaikan saya akan hadir ke Riung Pagawe. Dengan harap bisa menjawab ketidaktahuan.
Riung Pagawe yang sengaja dipilih di hari para buruh libur itu, diselenggarakan secara sederhana. Tetapi, berhasil memikat banyak buruh perempuan untuk hadir. Sekitar 50 s.d 60 buruh berdatangan dari berbagai pabrik di Kabupaten Sukabumi, termasuk saya. Saya ingat percis, yang berbicara di depan adalah orang-orang yang memang ahli soal KDRT dan berpengalaman dalam mendampingi korban.
“Oh, ada ya, undang-undang mengatur KDRT. Bahkan, sebab dan akibatnya bisa berkaitan dengan situasi kerja di pabrik, loh” gumam saya sembari lanjut serius mendengarkan pembicara.
Selama 2 jam duduk menyaksikan dinamika diskusinya, beberapa hal saya tangkap, seperti informasi dampak KDRT pada kelangsungan pekerjaan begitu sebaliknya, kemana saya melapor, dan bagaimana peran orang saat mendapati rekan kerja, kerabat, tetangga, saudara, atau siapapun itu menjadi korban. Para panitia acara, ada Rika disitu, di akhir acara memperkenalkan apa itu organisasi Perempuan Mahardhika dan tujuan mereka membuat acara Riung Pagawe. Ternyata organisasi ini ada di Sukabumi. Cita-citanya memberdayakan perempuan dan melawan apa yang menindasnya. Entah, energi apa ini namanya, yang pasti saya berantusias pada saat itu untuk mengetahui lebih jauh.
Rika sering mengajak saya ke Sekretariat Perempuan Mahardhika Sukabumi. Di sana, saya dikenalkan banyak kawan buruh, dari PT ini, dari PT itu, dan sialnya, saat cerita persoalan laki, anak, gawean, pengalamannya senasib. Semacam ada rantai yang tak terlihat mengikat kita bersamaan sebagai buruh perempuan. Meski demikian, bukan berarti kita hanya memundak saja pada realitas. Justru adanya organisasi itu bertujuan membangun agensi dan kekuatan untuk bergerak mentransformasikannya. Atas kesadaran, saya mendaftar menjadi anggota organisasi.
Diskusi-diskusi tematik untuk anggota yang difasilitasi organisasi saya sambangi di hari libur ataupun malam hari selepas kerja. Mulai dari tentang kesetaraan gender dan gerakan feminisme, kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, sampai sistem kerja seperti target kerja, pengupahan, kontrak kerja, cuti kerja, cuti haid, lembur, dan masih banyak lagi. Dulu saya berpikir lembur mau dibayar ataupun tidak adalah kewajiban buruh. Bahkan keheranan saya terjawab, apa yang membuat pabrik kini dipenuhi oleh buruh harian lepas, kontrak pendek, ikatan kerja se-fleksibel mungkin. Dan tentu, dampak spesifiknya jika ia perempuan.
“Kenapa sih baru tau setelah 16 tahun bekerja? Kalau gini caranya buruh yang nggak tau dibuat bodoh sama perusahaan” dalam hati saya
Pendidikan demi pendidikan saya ikuti dengan bergairah. Belajar itu mengasyikkan. Saya merasa dipersenjatai. Saya memandang kehidupan perempuan menjadi luas, tidak semata-mata pabrik dan rumah belaka. Banyak hal yang perlu saya ketahui dan lakukan jika ingin sejahtera di pabrik dan di rumah.
Sebagai anggota organisasi massa, ekspresi politik saya adalah aksi massa di ruang publik. Selama di Perempuan Mahardhika, saya telah terlibat dalam aksi-aksi buruh perempuan. Pertama kali di depan Monumen Nasional memperingati Hari Buruh Sedunia dan 30 Tahun Marsinah Dibunuh dan aksi memperingati Hari Kerja Laya Sedunia di depan DPRD Sukabumi untuk menuntut penghapusan sistem kontrak dan upah murah.
***
Terhitung tahun 2024, sudah 17 tahun saya bekerja di PT. X. 2 tahun pertama dengan status kontrak, kemudian, 17 September 2009, saya diangkat menjadi buruh tetap. Kendati buruh tetap—yang katanya lebih sejahtera, bukan tanpa cela, namanya juga sektor garmen, kerjanya seperti kuda, sebentar saja nggak jalan pasti dicambuk. Target produksi yang membuatnya begitu. Bentakan, teriakan, tak jarang gebrakan meja adalah keseharian yang dilakukan atasan untuk menekan saya demi target. Kekerasan dan pelecehan seksual juga sering terjadi.
“Kerja, kerja, kerja!” “Targetnya, ayo!” pekikan chief membuat saya lengar. Awal-awal tahun bekerja, target produksi biasanya berhubungan dengan jadwal ekspor. Artinya, kalau mendekati ekspor saja. Sekarang-sekarang, target menjadi makanan harian. Lebih lagi, dalam satu hari dan delapan jam kerja, target terus menerus diperbarui. Dieksploitasi sedemikian rupa.
Dampaknya tidak main-main, saya dan semua buruh sulit ijin ke toilet, sekedar minum pun boro-boro, apalagi mengambil cuti, nggak dibayar yang ada. Terlebih pula, jika chief bilang target belum tercapai—buruh tidak pernah tahu target tidak tercapai itu benar adanya atau bohong—mewajibkan buruh tetap terus bekerja untuk menyelesaikan target hari berjalan, meskipun jam kerja sudah habis, dan tentu saja tidak dibayar dan dibarengi ancaman-ancaman. Praktik ini oleh buruh disebut skorsing. Di PT. X, hampir setiap hari jam pulang kerja molor, yang seharusnya pukul 16.30 sudah keluar pagar, karena skorsing, pukul 17.00 atau pernah sampai pukul 21.00 baru bisa pulang. Hari Sabtu yang seharusnya libur, sesekali diminta datang juga.
Saya geram jika terus menerus seperti ini. Rika, yang satu divisi dengan saya pun sama geramnya. “Bagaimana caranya agar tidak hanya aku dan Rika yang melek soal ini, ya?” Pertanyaan yang muncul di kepala saya.
Saat rapat rutin organisasi, kita mendiskusikan rencana aktivitas apa saja yang bisa dilakukan. Ternyata tidak hanya saya yang resah soal skorsing, kawan-kawan organisasi melihat hal itu bermasalah dan perlu disiasati perlawanannya. Skorsing adalah bentuk pencurian upah dan memiskinkan buruh, coba saja hitung berapa jam kerja yang seharusnya dibayar selama ini, dan betul, banyak sekali uang saya yang dirampas oleh perusahaan, kurang lebih 1,5 juta dalam sebulan. Makin-makin jika dikalikan sama jumlah buruh di dalam satu pabrik dan lamanya praktik skorsing berlangsung. Akhirnya, kolektif menyepakati bagi-bagi selebaran bertema ‘lembur tidak dibayar adalah bentuk pelanggaran hak’, dan salah satu titik penyebarannya di depan gerbang pabrik saya. Selain kampanye, bagi-bagi selebaran salah satu metode untuk merekrut buruh PT. X menjadi anggota.
Meski praktik skorsing sudah ada sebelum UU Cipta Kerja, sepengamatan saya situasinya justru makin memburuk. Ditambah saat terbitnya Permenaker No. 5 Tahun 2023. PT. X salah satu pabrik yang menerapkan regulasi itu. Bermodal dalih krisis global akibat perang Ukraina, yang negaranya juga baru saya dengar, kami semua sempat diliburkan di hari Senin setiap minggu selama 2 bulan lebih tanpa diupah. Upah terpotong hampir Rp. 800.000 dalam sebulan. Biarpun perusahaan menyampaikan orderan sedang menurun, nyatanya target produksi masih tetap tinggi.
Sistem tidak kerja tidak dibayar menempatkan buruh pada ketidakpastian kerja, dengan merubah status kerja menjadi kontrak maupun harian secara masif dan manipulatif. Contohnya, banyak buruh tetap di pabrik saya yang tergiur—atau mungkin dipaksa—uang kompensasi dan pencairan BPJS Ketenagakerjaan jika bersedia menjadi buruh kontrak, dengan pertama-tama menyuruh buruh membuat surat pengunduran diri, kemudian perusahaan proses, 1 minggu berikutnya buruh diminta membawa surat lamaran baru. Ini namanya pembodohan dan memutihkan rekam jahat perusahaan. Saya ditawarin, tapi nggak pernah mau.
***
Singkat cerita, beberapa bulan kemudian, situasi tak kunjung membaik. Hari-hari di pabrik saya lewati dengan berat, perasaan sedih dan tertekan. Sulit rasanya menahan marah mendapati diri saya diperlakukan seperti ini. Kalau sebelumnya saya bilang organisasi sudah mempersenjatai saya. Langkah selanjutnya tergantung kita, mau digunakan apa tidak. Saya memilih menggunakannya. Dengan terus membantah chief dan menolak skorsing. Di bagian cutting hanya saya dan Rika yang terlihat memberontak.
“Target belum nyampe!! Nanti skorsing ya…” teriak chief di ruangan cutting
“Berapa lagi targetnya?” tanya saya
“Intinya belum!” chief tidak bisa menjawab jika ditanya soal sisa target
“Skorsing terus, skorsing terus” jawab saya sambil mendengus
“Yaudah wae kalau gamau skorsing kasih solusi!” pungkas chief dengan nada menantang
“Makanya, masang target jangan gede-gede! Kalau apa-apa disanggupin mulu mah seneng” Rika ikut menantang
“Sana bilang ke Mr sendiri, ‘kan´target dari atas, bukan saya”
“Harusnya ada proses negosiasi dengan bawah tentang penetapan target harian, sanggupnya berapa? ini mah neken pekerja!” sahut saya
Chief terbelalak dan diam saat saya dan Rika berani menjawab seperti itu. Dia seperti menandai kami. Betul saja, hari Jumat, 29 Desember 2023, meeting yang dihadiri seluruh bagian cutting, chief menggertak semua buruh yang tidak mau menjalani skorsing.
“Saya mah terserah kalo kalian bandel, gamau ikut skorsing saya laporkan ke Mr, terserah Mr mau apakan. Karyawan tetap bakal dipindah bagian, karyawan kontrak diputus kontrak, saya gamau tau!!”
Saya menganggap perkataannya adalah intimidasi dan mengarah kepada saya dan Rika, sebagai yang menolak lembur tak berupah dan tidak menyetujui waktu tambahan kerja.
Sejak saat itu juga, saya dan Rika diperlakukan secara berbeda. Perusahaan meminta buruh-buruh lainnya mengikuti lembur bergilir yang berbayar di hari Sabtu. Lantaran menolak skorsing, sebagai bentuk hukuman, saya dan Rika tidak dilibatkan. Padahal tambahan uang lembur di luar upah pokok, bisa saya gunakan untuk kebutuhan anak dan dapur yang kini lagi membengkak, salah satunya beras dan susu anak.
Bel pulang berbunyi pada hari itu, dengan pikiran kalut saya bergegas ke sekretariat untuk memberi tahu organisasi. Singkat cerita, setelah mendengarnya, kawan-kawan organisasi mendorong saya melakukan advokasi kasus.
“Kalau begitu kita kasuskan aja, sudah ada tiga poin; skorsing, intimidasi dan diskriminasi, nanti tim advokasi akan bantu” jawab Shanty, kawan organisasi dan bagian dari tim advokasi
Dukungan kawan-kawan membuat saya makin mantap menempuh jalur advokasi. Bukannya apa, kalau saja buruh melulu manut lembur tanpa upah dan menerima begitu saja perlakuan atasan, kita makin dikontrol dan diperas. Ketika beranjak melawan, saya juga tahu, ini bukan hanya soal diri saya dan Rika saja, tetapi demi nasib semua buruh yang tengah mengalami hal yang sama. Lagipula ada Perempuan Mahardhika Sukabumi, sebagai kolektif yang akan membersamai. Saya merasa lebih kuat ketika bersama bakal melawan raksasa yang selama ini jarang tersentuh. Hak berorganisasi dan melakukan perundingan itu ada di setiap diri pekerja.
Tanpa berlama-lama, saya menyetujuinya dan menuliskan kronologi kasus. Rasanya menggebu-gebu pertama ikut serta di advokasi perburuhan, langkah awal yang baik. Di sisi lain, tim advokasi mempersiapkan strategi dan berkas-berkas pengajuan perundingan bipartit bersama perusahaan.
Dengan segala persiapan hingga akhirnya rampung, 2 minggu kemudian, hari Jumat, saya dan tim advokasi mengirimkan berkas-berkasnya ke perusahaan, dan diterima oleh Pak Urap selaku HRD. Di dalam surat perundingan diajukan di hari Rabu minggu depannya. Saya juga meminta salinan Peraturan Perusahaan (PP).
Sebelumnya, Rika menceritakan persoalan skorsing ke serikat yang ada di dalam pabrik. Respon serikat tidak mengagetkan, mereka menampik dengan alasan serikat sedang tidak aktif plus saya dan Rika merupakan anggota organisasi. Sementara itu, hampir semua buruh di PT. X membayar iuran serikat setiap bulannya, termasuk saya. Adakalanya saya bertanya dalam hati, “Perasaan dulu bayar iuran terus, tapi kok saya nggak diberdayakan?”
Setelah menerima surat, saya mengintip Pak Urap berbicara dengan Eceng, perwakilan serikat. Eceng yang telah mengetahui saya dan Rika mengajukan perundingan ke perusahaan tidak melalui serikat, sesudahnya mendatangi saya dan mengajak berbicara di saat saya bekerja.
“Eti, kamu betul mengajukan perundingan lewat Perempuan Mahardhika?” tanya Eceng kepada saya
“Iya, betul, saya udah kasih surat kuasa ke mereka”
“Sebetulnya sih bagus aja kamu mengadvokasi skorsing”
“…” saya masih diam dan menyimak apa tujuannya Eceng
“Tapi, nggak mudah loh melawan perusahaan, kamu yakin?” Eceng terdengar tengah membuat saya ciut
“Oh, saya yakin. Memang harus diadvokasi, nggak boleh diem” tegas saya dengan suara yang lantang
“Yang udah-udah nggak berhasil” kata Eceng seperti membenarkan perusahaan tidak perlu dilawan
“Apapun kesepakatannya, lihat nanti. Yang penting bergerak dulu”
Sejujurnya perkataan Eceng yang berusaha meyakinkan saya untuk mencabut pengajuan perundingan cukup menyebabkan saya down. Tapi, tetap harus dihadapi perasaan itu. Kalau dituruti sama saja memberangus hak berunding saya sendiri.
Di hari yang sama, pukul 17.00 waktu pulang, Pak Urap memanggil saya seorang diri ke ruangan. Sekutu perusahaan ada disitu semua. Chief, HRD, dan bagian administrasi melempar banyak pertanyaan ke saya.
“Kamu kenapa sampai segininya sih?” tanya Pak Urap sambil menunjuk berkas yang saya berikan tadi pagi
“Kan ada HRD, kamu bisa bilang saya dulu, nggak perlu sampai kaya gini” timpanya lagi
“Bapak kalau mau lebih lanjut, dijawab suratnya, nanti ngomongnya sama tim kuasa saya aja” jawab saya, padahal mereka berfungsi di pihak perusahaan
“Kamu maunya apa?!! Jangan sampai keluar pabrik omongannya” Bentak Pak Urap
“Saya mau berunding dan menuntut tiga hal yang saya alami; intimidasi, diskriminasi dan skorsing!” saya menjawab dengan tegas
Setelah dilayangkannya surat perundingan, alih-alih membalas surat, manajemen perusahaan kerap mengganggu saya bekerja, membuat saya tidak nyaman, dan memanggil saya berkali-kali. Debat alot tak terelakkan setiap harinya dengan manajemen perusahaan.
Kamis, 18 Januari 2024, lagi-lagi diminta ke ruangan, kali ini menghadap Mr selaku manajer pabrik. Mr tidak sendiri, tentu ditemani kaki tangannya.
“Aigoo, kalau kamu tidak mau skorsing dan pulang tepat waktu, jadi cleaning service aja!” ucap Mr dengan suara keras
“Gapapa saya dipindahin, asal beri saya surat pemindahan tertulis” jawab saya, teringat kawan organisasi berpesan kalau sampai dimutasi mintakan surat yang tertera alasan, yang dimana bisa menjadi bukti kalau di pabrik ini terdapat skorsing
“Mau kamu apa?! Hah? Nggak ikut skors bikin surat pengunduran diri sana!!” suaranya semakin keras dan jelas-jelas membentak saya
“Mr, jangan berteriak ke saya, ya! Itu bentuk kekerasan!” jawab saya dengan lantang
“Lagian saya karyawan tetap” tambah saya
“Suara dan karakter saya memang seperti ini. Namanya di garmen pasti ada skorsing. Mana ada pabrik yang tidak skorsing”
“Ada itu PT. Z” ucap saya
“Mereka mah kaya, kita pabrik miskin. Pindah saja kesana!”
Saya takut setengah mati. Meski suara bergetar, saya harus membela diri.
Sorenya, saya menerima kabar bahwa sekretariat mendapatkan paket surat balasan dari pihak perusahaan yang menanyakan legalitas organisasi dan salinan surat penunjukkan kuasa. Tim advokasi segera memenuhi kelengkapan berkas dan tetap menagih perundingan dengan perusahaan di 31 Januari 2024.
Besokan hari, di sela-sela bekerja Pak Urap memanggil saya ke ruangan HRD. Rika tadinya ikut bersama saya hingga ruangan, tetapi Rika diminta segera pergi dan diancam SP (Surat Peringatan) dengan dalih melanggar PP. Saya semakin terbiasa dengan segala rupa usaha untuk menyudutkan dan melemahkan saya. Manajemen pabrik juga menggunakan praktik mutasi dan demosi, terutama kepada saya. Praktik mutasi dilakukan dengan cara memindahkan saya ke jenis pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak kerja.
“Kata Mr kamu mulai hari ini tidak perlu ikut skorsing, tapi pindah ke bagian numbering”
“Saya nggak mau kalau nggak ada surat tertulisnya” jawab saya
“Tidak ada surat! Orang masih satu bagian” kata Pak Urip yang mengeles
“Tetap saja, saya mau surat tertulis, dan alasan perusahaan memindahkan saya ditulis” jawab saya yang bersikeras
“Tidak ada! Pokoknya kamu hari ini pindah ke numbering”
“Kalo bapak masih memaksa saya untuk pindah, saya kasuskan loh!”
“Oh kamu berani? Saya juga akan bikin laporan ke polisi atas pencemaran nama baik, karena nggak ada saksi” ancam Pak Urip
“Kalau kamu nggak mau pindah, saya buatkan surat peringatan karena tidak patuh sama atasan”
Pemaksaan dilakukan untuk menundukkan saya. Sejak menolak skorsing, yang sebelumnya di bagian ADM divisi cutting, saya sempat dimutasi ke bagian menggelar kain, dan sekarang ke bagian numbering. Jenis pekerjaan bagi saya baru, susah dan butuh fokus tinggi. Perasaan sedih dan marah terus terang saja ada, namun mendengar ancaman-ancaman tersebut tak membuat saya gentar dan mengurungkan niat. Polanya sama, dimana-mana pihak perusahaanpasti akan menggunakan kekuasaannya untuk meneror buruh yang tak patuh pada kehendak perusahaan. Sejak awal, saya sudah tahu bahwa ada risiko yang akan menimpa ke depannya.
Belum berhenti, 2 hari setelahnya, saya kembali mendapat perlakuan buruk dari perusahaan. Bahu saya didorong oleh supervisor bersama seorang ADM tiba-tiba datang dengan tangan membawa balok dan memukulnya ke besi di hadapan saya. Bahkan, suami Rika yang bekerja di PT. X ikut terseret dan terancam tidak perpanjang kontrak.
Saya menuliskan kronologi kasus kedua dan ketiga. Intensitas intimidasi semakin tinggi, kawan-kawan organisasi menginisiasi twibbon “Kita Bersama Eti & Rika” dan menyebarluaskan ke kolektif Perempuan Mahardhika kota-kota lain, jaringan serikat buruh dan organisasi lainnya. Selain diunggah ke kanal Instagram, saya dan Rika sengaja mengunggah foto-foto tersebut ke Whatsapp masing-masing, agar pihak perusahaan tahu. Solidaritas jaringan untuk Eti dan Rika merupakan taktik yang pas karena dapat memukul keras perusahaan. Perusahaan kocar-kacir berkat kasus saya dan Rika diintimidasi karena melawan skorsing tersebar kemana-mana.
Kesudahannya, Selasa, 30 Januari 2024, Pak Urap melalui pesan WhatsApp menyetujui perundingan bipartit. Perundingan bipartit dilaksanakan esok harinya di pukul 13.00. Saya, Rika, dan tim advokasi di malam hari sebelumnya mempersiapkan segala hal. Dibantu oleh kawan-kawan FSBPI, serikat yang telah memiliki pengalaman berunding.
Saya deg-deg-an. Skenario terburuk muncul di kepala saya. Biarpun begitu, saya lanjut meyakinkan diri bahwa perundingan adalah arena perjuangan saya sebagai buruh, saya hebat sudah sejauh ini dan harus semangat. Bersama Acong, Shanty dan Amel sebagai tim advokasi kita masuk ke dalam ruangan HRD. Secara garis besar terdapat tiga tuntutan dalam perundingan; pertama perlakuan intimidasi yang diterima oleh Eti dan Rika; kedua, perlakuan diskriminasi; dan ketiga, pelanggaran hak lembur yang tidak dibayar. Meminta perusahaan untuk menghentikan praktik skorsing untuk semua buruh di PT. X.
Singkat cerita, proses perundingan berjalan lancar dan mencapai kesepakan. Pertama, perusahaan akan melakukan pembinaan kepada chief dan supervisor agar tidak ada lagi bentuk intimidasi terhadap buruh, chief terkait akan membuat surat pernyataan. Kedua, buruh dapat melaporkan ke HRD jika terdapat kelebihan jam kerja yang tidak dibayar. Ketiga, tidak ada lembur tidak dibayar untuk Eti dan Rika dibuat secara tertulis. Pihak perusahaan telah menandatangani.
Landasan hukum yang digunakan dalam perundingan adalah UU Ketenagakerjaan, Pasal 77 tentang Waktu Kerja. Perusahaan telah melanggar ketentuan 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Serta, perusahaan juga telah melanggar UU Ketenagakerjaan, Pasal 5 dan Pasal 6 tentang Kesempatan dan Perlakuan Yang Sama. Bahwa, setiap buruh tidak boleh didiskriminasi dalam memperoleh pekerjaan dan perlakuan.
Saya, Rika dan tim advokasi menyambut kemenangan kita. Walaupun hasil perundingan bipartit baru diperuntukkan ke saya dan Rika saja, saya berharap proses perjuangan saya bersama kawan-kawan Perempuan Mahardhika Sukabumi bisa menjadi preseden baik bagi buruh yang akan dan tengah memperjuangkan hak.
Apa yang bisa saya petik dari kisah ini adalah perjuangan memang panjang. Dirasa mustahil apabila kita melakukannya sendiri. Menciptakan perubahan yang signifikan bagi kehidupan kita tidak bisa dilakukan seorang diri dan alatnya adalah organisasi. Organisasi adalah instrumen yang dapat memperkuat daya tawar kita sebagai perempuan dan pekerja dengan melakukan perjuangan advokasi, atau mogok kerja.
Pengalaman ini memperlihatkan bahwa kita bisa menantang hukum dan standar yang menyulitkan kita maju, contohnya, buruh baru bisa berunding jika dengan serikat pekerja, nyatanya organisasi perempuan bisa membuktikan sebaliknya dan meruntuhkan standar itu.