Pasca 1 minggu Pemilu selesai, dengan segala fenomena kecurangan dan kebusukan para oligarki yang melipir di banyak kanal, Aksi Kamisan tetap setia melingkar di sebrang Gedung Istana Negara RI. Tema “Adili Jokowi dan Jenderal Pelanggaran HAM” dipilih sebagai tuntutan aksi yang dilakukan pada tanggal 22 Februari 2024 ini. Massa aksi dari berbagai entitas turut serta hadir—tidak hanya aktivis, korban dan keluarga korban, tetapi juga orang muda yang mungkin baru saja mengenal Aksi Kamisan dan bersimpati pada isu Hak Asasi Manusia.
Seperti tradisinya, Aksi Kamisan dimulai dengan aksi diam. Atribut serba hitam salah satunya payung yang digunakan massa aksi, sambil membenamkan pandangan diri menghadap ke arah seberang merupakan simbol gerakan yang berhadapan langsung dengan pusat kekuasaan untuk mengecam diamnya negara pada kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Tidak lupa dengan spanduk bertuliskan tuntutan dan menampilkan wajah-wajah terduga para petinggi militer—Prabowo Subianto, Wiranto, Sutiyoso, Try Sutrisno, Hendropriyono, Sjafrie Sjamsoeddin—yang bertanggungjawab atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM, dan potrait Jokowi berseragam TNI untuk merepresentasikan impunitas yang dirawat selama 2 periode kekuasaannya.
Setelah aksi diam, dilanjutkan dengan sesi refleksi-refleksi sebagai wadah bersuara. Ambrosius, aktivis Papua dan sebagai Orang Asli Papua (OAP), menyuarakan selama ini rakyat Papua tidak pernah mendapatkan keadilan.
“Kami orang Papua lebih tidak percaya kepada pejabat Indonesia. Rakyat Papua tidak pernah mendapatkan keadilan selama ini. Di tanah Papua, kami mengalami hal yang sama, yaitu kekerasan negara. Jokowi itu tukang tipu dan pembohong, karena dia justru mengangkat Wiranto menjadi Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhumkan), Jokowi mengangkat Prabowo menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), dan Jokowi melahirkan UU Cipta Kerja. Dengan begitu, harapan warga Papua atas penyelesaian pelanggaran HAM tidak bisa terlaksana.”
Turut hadir, Paian Siahaan, orang tua alm. Ucok Munandar Siahaan—salah satu mahasiswa korban penghilangan paksai Mei 1998 dari 13 orang yang saat ini belum kembali, yang membacakan sebuah puisi yang dikirimkan oleh kawan Ucok. Puisi ini dibuat untuk mengenang sang mahasiswa aktivis 1998 dan orangtuanya yang masih berjuang menuntut keadilan kasus anaknya.
Berdasarkan surat terbuka yang dikeluarkan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) pada aksi ke-806 menyoroti bahwa selama masa 2 periode pemerintahan Jokowi tidak ada yang berhasil menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara utuh dan berkeadilan. Pada awal masa pemerintahannya, terjadi pelanggaran berat HAM Paniai pada 7-8 Desember 2014, di mana 4 warga sipil Papua tewas ditembak dan 21 orang lainnya terluka dalam aksi protes merespon kekerasan yang dilakukan oleh TNI. Dalam penyelesain kasus Paniai, justru Jaksa Agung sebagai penyidik hanya menetapkan satu terdakwa untuk diadili, tanpa menyentuh pelaku lapangan, komando, ataupun aktor intelektual yang seharusnya diseret ke dalam pengadilan.
Selama 10 tahun juga kasus-kasus pelanggaran berat HAM yang telah diselidiki oleh Komnas HAM mangkrak. Proses hukum yang dimandatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM tidak dilakukan. Jokowi mengambil jalan aman dan pintas dengan penyelesaian non-yudisial tanpa dibarengi pengungkapan kebenaran.
Di satu sisi, tidak hanya merawat impunitas kekerasan, untuk kepentingan elektoral, Jokowi sebagai aktor negara yang utama dan berlatarbelakang sipil justru melakukan, pengkhianatan terhadap sendi-sendi demokrasi, praktik-praktik kotor seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang menabrak batasan hukum, konstitusi, dan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Kita bisa melihat bersama, Jokowi justru berkolusi dengan para purnawirawan jenderal TNI, salah satunya Prabowo, yang tidak pernah tersentuh hukum atas keterlibatannya dalam kasus-kasus pelanggaran berat HAM seperti; Penculikan dan Penghilangan Paksa 1998, Tragedi Semanggi I & II – Trisakti, Peristiwa Talangsari, Pembunuhan Munir, Tragedi Tanjung Priok, dan Peristiwa Kudatuli.
Adapun beberapa tuntutan dari JSKK:
- Memerintahkan Jaksa Agung untuk melakukan proses penyidikan ulang atas kasus Paniai 2014 dan memastikan bahwa semua pelaku yang terlibat termasuk yang bertanggungjawab secara komando, untuk diproses hukum;
- Memerintahkan Jaksa Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai mandat UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM, termasuk membentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa 1997 – 1998 dan mengadili pada jenderal pelanggar HAM yang terlibat dalam semua kasus pelanggaran berat HAM
- Memenuhi hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat secara menyeluruh, termasuk hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan jaminan ketidakberulangan peristiwa.
Sumber foto: https://www.antarafoto.com/id/view/2161254/aksi-kamisan-ke-806