Aksi International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional tahun 2021 berbeda dari hari perempuan internasional sebelumnya. Jika tahun sebelumnya melibatkan berbagai lapisan masyarakat namun tahun ini peserta aksi lebih sedikit daripada biasanya. Akibat pandemi Covid-19 yang telah terjadi selama setahun terakhir, konsolidasi dan koordinasi untuk melakukan aksi menjadi terbatas. Namun itu tak menjadi kendala untuk aksi. Setelah kebijakan pembatasan sosial dilakukan, aksi untuk menuntut negara mensahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) terus dilakukan secara online
Pada tanggal 8 Maret 2021 yang jatuh pada hari Senin, Perempuan Mahardhika mengadakan aksi dari jam 10.00 hingga jam 12.00 di depan Monas, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi bersama GEBRAK, Gerakan Buruh Bersama Rakyat.
Aksi yang diadakan Perempuan Mahardhika pagi hari itu dihadiri oleh 30 orang. Aksi dimeriahkan dengan beragam poster tuntutan. Salah satunya untuk mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, memerhatikan kesehatan perempuan dan deretan tuntutan perempuan lainnya. Yang menarik adalah perempuan-perempuan muda banyak yang datang sendiri atau bahkan datang bersama temannya. Walaupun sedikit yang datang mereka tidak takut melayangkan protes mereka.
Ialah Fharawiya (Fhara) Difnubun dari Maluku yang kini sedang kuliah di Jakarta, dan pendiri kolektif BAPERAN GERBONG PATRIARKI (Barisan Perempuan Melawan, Gerakan Bongkar Patriarki) di kota asalnya, Tual di Maluku Tenggara. Fhara yang mengetahui aksi ini dari Instagram @MahardhikaKita mengatakan alasanya untuk datang ke aksi, “saya ingin sekali bersatu dengan perempuan-perempuan yang ada di Jakarta.” Adanya kekerasan seksual, diskriminasi terhadap perempuan dan budaya patriarki yang masih cukup tinggi, membuat Fhara resah untuk menyuarakan kegelisahannya.
Selain Fhara, ada Safina, seorang mahasiswa PGRI yang telah mengikuti aksi IWD sejak dia masih SMA. Kemudian ia terus ikut aksi selasaan di depan DPR dalam rangka menuntut agar disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Aksi Selasaan yang tidak pernah ramai dan selalu menjaga protokol kesehatan sehingga ia berani untuk datang ke aksi. Ia mengikuti aksi ini lantaran ia kesulitan untuk mencari ruang untuk membahas mengenai pelecehan seksual yang dialaminya. “Aku merasa dimengerti dan diberi ruang untuk berjuang bersama, dan diajak untuk bersama-sama memperjuangkan apa yang udah orang ambil dari kita.” Menurutnya isu pelecehan seksual yang terjadi secara daring merupakan salah satu isu yang krusial terlebih tidak ada payung pelindung untuk melindungi korban.
Menjelang siang ke sore, kelompok dari Extinction Rebellion yang tergabung dalam GEBRAK merayakan hari perempuan internasional datang dengan membawa tuntutan mereka terkait lingkungan. Salah satu pegiat lingkungan bernama Melisa menggunakan atribut aksi berbentuk lingkaran yang dia tumpu dipundaknya. Pada lingkaran tersebut ia menggantungkan tuntutan terkait gender dan iklim yaitu Keadilan Iklim = Keadilan Gender serta seruan lainnya seperti sahkan rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual, menolak punah dan seruan untuk bertindak sekarang.
Melisa menggunakan atribut tersebut dalam rangka mematuhi social distancing serta meyuarakan berbagai hal terkait iklim yang dekat dengan kehidupan perempuan. “Intinya sih aku takut covid. Tapi lebih takut lagi mati gara-gara krisis iklim, jadi turun ke jalan harus pakai physical distancing outfit. Aku mau menekankan bahwa keadilan gender itu sangat integral dalam keadilan iklim. Perempuan dan bumi sama-sama diperlakukan buruk (red) di dunia yang sistemnya masih sangat patriakis. Sama-sama dipergunakan, diperas buat keuntungan. Dan kalau kita mau terlepas dari krisis iklim, keadilan perempuan pun harus ditegakkan. Perempuan adalah kelompok yag paling dirugikan tapi perempuan jugalah yang bisa membawa perubahan karena mereka yg mampu membuat keputusan yang tidak egois, lebih community centric, dan long term planning. Jadi perlu dikasih platform dalam ranah pembuatan kebijakan.”
Aksi IWD tahun 2021 memang menjadi unik tatkala masyarakat datang untuk aksi menggunakan masker dan jas hujan yang terbuat dari plastik dan melakukan jaga jarak. Saat aksi pun polisi berupaya untuk membubarkan masa aksi namun pihak penyelenggara aksi berhasil menegosiasi. Parahnya polisi selalu menggunakan alasan pandemi untuk mencegah kerumunan masa aksi untuk menghalau upaya menyampaikan pendapat. Ini adalah salah satu bentuk represi aparat terhadap masyarakat sipil.
Melakukan aksi saat pandemi memang harus penuh pertimbangan, namun jangan sampai pandemi menghalangi kita untuk aksi ketika kita masih sanggup. Selama kita menjaga protokoler kesehatan maka aksi-aksi masih diperlukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan yang kian hari makin terpuruk kondisinya terutama di bawah pandemi Covid-19.