Yth,
Presiden Republik Indonesia,
Joko Widodo
dan
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI,
Puan Maharani
Di Tempat
Bapak Jokowi dan Ibu Puan yang terhormat,
Sebagai Rakyat dan sebagai perempuan muda pendamping korban kekerasan seksual di kampus, kami ingin menyampaikan pandangan kami terkait ditariknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR 2020. Kami sangat marah dan kecewa akan sikap Komisi VIII yang menyatakan sulit untuk membahas RUU ini dan Badan Legislasi yang memutuskan untuk mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 karena keterbatasan legislasi akibat wabah Covid-19. Kami harap dengan surat ini bapak dan Ibu dapat mendengar suara kami dan suara para korban.
Pertama, Perjalanan RUU PKS sangat panjang. Sejak RUU ini ditetapkan sebagai RUU inisatif DPR di tahun 2016, sampai selesai masa kepengurusan DPR pun, RUU ini tidak kunjung dibahas. Padahal selama RUU ini mangkrak, kasus kekerasan seksual semakin meningkat. Sampai ketika DPR Periode 2014-2019 tidak juga membahas RUU ini, DPR mengatakan bahwa RUU ini akan dibahas kembali dan menjadi RUU Prioritas di tahun 2020. Namun pil pahit lagi-lagi harus kami telan, sebab kenyataannya RUU ini justru dikeluarkan dari RUU Prolegnas Prioritas 2020. Selama 4 tahun menjadi prioritas, namun selama itu pula RUU PKS tidak dibahas, kini malah dikeluarkan dari prolegnas prioritas. Hal ini menandakan kemunduran dalam pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual secara umum, dan khususnya di kampus.
Kedua, Selama kita menunggu RUU PKS ini disahkan, kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es, karena terbatasnya ruang korban kekerasan seksual untuk melapor, serta nihilnya payung hukum yang mengakomodir kepentingan korban. Bahkan korban justru kerap dikriminalisasi. Melihat data terbaru Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2019 saja mencapai sebanyak 431.471 kasus Kekerasan Seksual. Data kekerasan yang dilaporkan mengalami peningkatan signifikan sepanjang lima tahun terakhir.
Kasus kekerasan seksual disebut sebagai fenomena gunung es karena dari sekian banyak kasus kekerasan, tidak sampai sepuluh persen dari korban yang melaporkan kejadian tersebut. Korban merasa takut ketika menyuarakan karena belum adanya payung hukum yang melindungi. Belum lagi, victim blaming yang dilakukan masyarakat atau aparat penegak hukum ketika korban melapor. Meski akhirnya, satu demi satu gema isu kekerasan seksual di sejumlah kampus menyeruak ke tengah publik dan berujung protes yang menuntut ketegasan pihak institusi pendidikan. Langkah-langkah preventif mesti ditekankan, pun sikap tegas dan metode penyelesaian kasus secara tuntas–yang tentunya berperspektif korban.
Beberapa kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang muncul dan tersebar di media di antaranya:
Dugaan kekerasan seksual di Universitas Negeri Padang yang melibatkan dosen sebagai pelakunya, pelecehan seksual di Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo yang lagi-lagi melibatkan dosen sebagai pelakunya, kekerasan seksual di UIN Malang, kekerasan seksual yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya) di Universitas Gajah Mada yang berakhir damai, Pelecehan di Universitas Palangka Raya dengan dosen sebagai pelakunya, dan seorang dosen Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) melakukan perkosaan pada mahasiswinya. Berdasarkan laporan dari lembaga pers mahasiswa UNJ, Didaktika, pelaku malah melaporkan kembali korban ke pihak kepolisian atas dasar pencemaran nama baik. Kasus ini menjadi bukti bahwa korban KS justru berpeluang dikriminalisasi oleh pelaku. Belum lagi kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah satu Mahasiswa berprestasi di Universitas Islam Indonesia (UII) – Yogyakarta. Total korban dalam kasus KS di UII ini bahkan sampai 30 orang yang melapor ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Efek dari kasus KS ini, tidak hanya korban yang mengalami trauma. Para pendamping korban dalam mendampingi kasus kekerasan seksual pun kerap diteror, diintimidasi, diancam DO. Lalu harus menunggu berapa banyak lagi korban, sehingga RUU ini dapat dianggap penting dan segera disahkan?
Ketiga, 2019 lalu, media jurnalistik Tirto.id, VICE, dan The Jakarta Post menginisiasikan survei terhadap 79 Perguruan Tinggi di Indonesia, yaitu Survei Nama Baik Kampus. Survei ini berhasil mendapat testimoni 174 penyintas kekerasan seksual di lingkungan kampus dari 29 Kota.
Bukan hanya perempuan yang menjadi korban, tujuh penyintas yang membagikan cerita adalah laki-laki. Hampir seluruh korban yang memberikan testimoninya berstatus mahasiswa. Namun, tidak menutup kemungkinan dosen dan staf bisa menjadi korban. Ada satu dosen dan seorang staf universitas yang menjadi korban pelecehan seksual yang membagikan kisahnya kepada tim survei. Kekerasan seksual yang di alami penyintas bukan hanya sekali. Setiap 1 dari 2 penyintas yang membagikan kisahnya, mengalami kekerasan seksual berulang kali.
Seluruh 174 penyintas yang menulis testimoni mengalami bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana dalam rumusan Undang-Undang PKS, yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemerkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Bentuk kekerasan seksual yang paling sering dialami para penyintas adalah pelecehan seksual. Sebanyak 129 penyintas menyatakan mereka pernah dilecehkan; 30 penyintas mengalami intimidasi bernuansa seksual; dan 13 penyintas menjadi korban pemerkosaan. (Selengkapnya tentang survei Nama Baik Kampus: https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW)
Pada 29 Juni 2020 kemarin, survei ini juga mendapat penghargaan dari SOPA Awards dalam kategori Jurnalisme Publik. Dengan perhatian berbagai pihak terhadap survei ini, seharusnya DPR dan pemerintah justru memberikan perhatian lebih. Survei ini dapat menjadi pendorong bagi pemerintah untuk lekas merespon kasus kekerasan seksual, khususnya di kampus. Namun hingga kini, belum ada regulasi baik secara general maupun konteks khusus instansi pendidikan tinggi (di luar PTKI yang dinaungi Kemenag) yang mengatur perihal kasus kekerasan seksual dan keberpihakan terhadap korban.
Keempat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah merancang konsep Kampus Merdeka. Bagi kami, Kampus Merdeka adalah Kampus yang BEBAS DARI KEKERASAN SEKSUAL. Kami, pendamping korban kekerasan seksual merasakan langsung betapa sulitnya menindak pelaku kekerasan ketika pelaku adalah seseorang yang memiliki kuasa atas nilai atau prestasi akademik mahasiswa. Kampus Merdeka juga perlu melihat akar persoalan ketimpangan relasi kuasa tersebut, yaitu ketiadaan atau minimnya kurikulum pendidikan berperspektif gender.
Oleh karenanya, kehadiran Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum nasional yang secara menyeluruh memperhatikan bentuk dan prinsip-prinsip keadilan bagi korban adalah juga harapan bagi kami untuk mewujudkan Kampus Bebas dari Kekerasan Seksual.
Kelima, Beberapa tahun belakangan masyarakat semakin gencar berinteraksi di media sosial, membuat kekerasan berbasis digital pun naik statistiknya. Khususnya perihal Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dalam data pengaduan yang langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cyber crime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban. Pandemi covid-19 membuat KBGO semakin melonjak, karena hampir segala kegiatan masa pandemi beralih menjadi online. KBGO ini juga merupakan fenomena sosial yang korbannya bisa siapa saja, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan kaum marjinal. Hal ini mestinya juga menjadi perhatian Negara untuk menyikapinya. Baik offline maupun online, kekerasan tidak bisa dibenarkan. Selain itu, UU ITE bukan solusi atas KBGO. Alih-alih mendapat perlindungan hukum dari Negara, korban justru terancam dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet UU ITE. Kami sebut saja bahwa UU ITE memang tidak mengakomodir kepentingan korban KBGO, sehingga ini menjadi salah satu alasan korban kerap memilih mangkir, tidak melapor.
Untuk itu merujuk pada poin pertama kami, bahwa pembahasan RUU PKS oleh DPR tidak mengalami perubahan ke arah kemajuan, mangkrak pada pembahasan judul dan sekarang malah mengalami kemunduran. Sebagai Jaringan Muda Setara, jejaring perempuan muda kampus yang turut langsung memperjuangkan isu melawan kekerasan seksual di Pendidikan Tinggi, KAMI MEMBERI WAKTU PADA DPR UNTUK SEGERA MEMBAHAS DAN MENGESAHKAN RUU PKS PADA PERIODE TAHUN 2020 INI!
Kami menolak dikeluarkannya RUU PKS dari daftar prolegnas prioritas. Apalagi, alasan yang disebutkan DPR adalah karena “sulitnya pembahasan” RUU tersebut. Selain itu, DPR juga menyatakan bahwa RUU ini tidak dapat dibahas karena penyebaran Covid-19. Ini adalah alasan yang bagi kami sangat tidak masuk akal. Justru sudah seharusnya di tengah situasi COVID-19 yang sarat dengat kekerasan terhadap perempuan inilah RUU PKS yang mengakomodir kepentingan perempuan korban perlu segera disahkan!
Demikian surat ini kami sampaikan. Kami harap Bapak Presiden Jokowi, Ibu Puan Maharani beserta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang terlibat dalam pengesahan RUU PKS ini, segera mendengarkan suara korban kekerasan seksual di Negeri ini, agar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan sekadar mitos.
Terima Kasih.
Salam,
Jaringan Muda Setara:
LSF Tangerang | Gerpuan UNJ | Ruangaman | Swara Saudari | Gender Talk | Narasi Perempuan Perempuan Agora | Reswara UPI | ASP UPNVJ | Muda Bersuara | Puanisme Bogor | Jemari IKJ Kolektif Rosa | Lingkar perempuan | Waktu Perempuan | Perempuan Mahardhika | Perempuan Cisadane | STIGMA UIN Jakarta
Kontak Person:
Eva: 083899575452 -Tangerang | Nisyu: 089604430771 – Jakarta | Khansa 082236032601 – Depok | Kiky 08998843121 – Banjarmasin | Nuke 08569930938 – Karawang | Fredel 081908452890 – Purwakarta | Susi 085385874201 – Semarang | Dara 081213936813 – Ciputat | Revi 085840076706 – Bandung | Tyas 087887085871 – Nasional
[…] atas adalah cuplikan-cuplikan Surat Terbuka Untuk Jokowi dan Puan Maharani yang dibuat oleh Jaringan Muda Setara. Surat terbuka itu dibuat untuk mendesak DPR RI dan […]