“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: lawan!” –Wiji Tukul –
Komitmen untuk memberikan jaminan hak perlindungan dan pemulihan terhadap korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu menjadi salah satu janji presiden Jokowi yang sudah digaungkan sejak pertama kali beliau menduduki kursi kekuasaan tahun 2014.
Nyatanya, kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II serta beberapa kasus pelanggaran HAM berat lainnya sampai saat ini masih menjadi utang pemerintah kepada masyarakat Indonesia.
Hingga saat ini, belum ada langkah konkret yang dilakukan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara adil dan tuntas. Korban dari pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut belum mendapatkan perlindungan dan keadilan yang layak.
Bahkan di masa kampanye Pemilu 2024, peringatan ini justru dihadapkan dengan tantangan yang lebih besar. Seperti kita tahu, bahwa kandidat calon presiden memiliki catatan hitam dan terlibat dalam kasus penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Eddy O.S. Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, dalam bukunya yang berjudul “Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM” yang menyebutkan bahwa langgengnya impunitas disebabkan kuatnya arus politik yang mempengaruhi aspek penegakan hukum, sedangkan ranah politik sendiri masih dikuasai oleh para pelaku.
Tidak Akan Pernah Memaafkan dan Tidak Akan Pernah Lupa
18 Januari 2024, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama merenung dalam peringatan 17 tahun Aksi Kamisan. Selama 17 tahun itu pula, korban dan keluarga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat serta para pegiat hak asasi manusia menanti serta tidak lelah menagih tanggung jawab Negara terhadap ketidakadilan yang telah berlangsung puluhan tahun.
Namun, apa yang ditemui selama ini adalah pengabaian, tutup mata dan telinga bahkan upaya pemerintah untuk menghindar dari pertanggungjawaban terhadap kejahatan kemanusiaan yang terus berlangsung.
Narasi yang mencoba meminimalkan isu pelanggaran HAM berat sebagai “lima tahun sekali” tidak hanya menyebabkan disinformasi tetapi juga merendahkan perjuangan korban, keluarga mereka, dan para pegiat hak asasi manusia lainnya.
Di tengah upaya penuntasan perkara pelanggaran HAM yang dilakukan setengah hati, mereka menyaksikan penegakan HAM yang semakin memburuk. Kekerasan aktor negara, kriminalisasi kritik, kekerasan aparat terhadap gerakan sipil dan represi di Papua menjadi catatan hitam dalam perjalanan hak asasi manusia di Indonesia sampai saat ini.
Di 17 tahun aksi kamisan ini, mereka yang hak-haknya dikangkangi oleh segelintir kepentingan dan elite-elite politik, meminta untuk Negara membuktikan komitmen dengan langkah nyatanya. Menuntaskan pelanggaran HAM berat secara berkeadilan, menghapus impunitas, dan memenuhi hak-hak korban serta keluarga mereka merupakan langkah yang mendesak.
Jaksa Agung harus menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM dan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat undang-undang Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Ini yang dinamakan langkah konkret menuju keadilan.
Mereka, yang berdiri di depan Istana Negara, tidak hanya memperjuangkan tuntutan ini “lima tahun sekali,” tetapi secara konsisten, minggu demi minggu, dan tahun demi tahun selama hampir dua dekade.
Peringatan ini adalah bukti bahwa Negara harus segera memenuhi kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tuntutan dan perjuangan akan terus berlanjut hingga hak-hak korban dan keluarga mereka dipenuhi secara menyeluruh, termasuk hak atas keadilan, kebenaran, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan peristiwa.