Memaknai Hari Perempuan, Memaknai Identitas Perempuan sebagai Pekerja

Hari perempuan seringkali diperingati dengan perayaan-perayaan komersil seperti diskon dan gimmick lainnya. Namun hari perempuan memiliki sejarah yang lebih dari sekedar perayaan feminitas saja. Ia memiliki makna dalam memperjuangkan nasib perempuan melalui aksi-aksi yang berangkat dari masalah perempuan sehari-hari.

Aksi perempuan mulai muncul di masa industrialisasi pada tahun 1857. Di era ini muncullah identitas perempuan sebagai pekerja. Sehingga untuk perempuan bertahan hidup ia harus bekerja di dalam sistem kerja upah dari orang lain yang memiliki modal. Kondisi tersebut mendorong membongkarnya kesadaran feodal-patriarki dan memunculkan kesadaran baru tentang perempuan sebagai pekerja.

Pekerja perempuan hingga hari ini mengalami berbagai bentuk penindasan yang kurang lebih sama dari masa ke masa sehingga berujung pada kesejahteraan hidupnya yang memburuk. Dari webinar yang diadakan oleh Perempuan Mahardhika berjudul Perlawanan Perempuan yang Mengubah Dunia pada tanggal 8 Februari 2021, kita bisa melihat perjalanan kelompok perempuan sebagai pekerja yang terus memprotes akan kondisi kerja yang buruk dan upah yang tidak layak. Protes-protes ini sudah ada sejak tahun 1800-an dan fokus pada permasalahan perempuan sebagai pekerja.

Apa yang dialami oleh perempuan 150 tahun lebih yang lalu masih dialami perempuan hingga hari ini, sehingga protes melalui aksi-aksi turun ke jalan merupakan jalan bagi banyak perempuan untuk menyuarakan keresahannya.

Belum lagi saat pandemi Covid-19 yang telah kita alami sejak Maret 2020. Perempuan mengalami berbagai hantaman dari berbagai pihak. Dari pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja, UU Pertambangan Mineral dan Batubara hingga masalah banjir yang melanda tempat ia tinggal akibat krisis ekologi.

Tentunya setiap perempuan memiliki masalahnya sendiri. Mereka memiliki keresehan yang diangkat dari kehidupan pribadinya, baik itu dari kekerasan dalam rumah tangga, pacaran, kekerasan di tempat kerja hingga kerja yang tidak layak dan aman serta perebutan tanah adat. Itu semua adalah permasalahan yang dialami oleh perempuan.

Seringkali ketika perempuan ingin bergabung dengan sebuah gerakan perempuan, mereka sangsi akan keresahan dirinya sendiri. Mereka merasa bahwa masalah yang mereka alami bukan masalah penting. Namun jika kita tidak membicarakan masalah yang kita hadapi sebagai perempuan maka kita tidak akan tahu apa yang perempuan lain alami dalam hidupnya.

Akibat menginternalisasi nilai-nilai patriarki yang cukup lama, kita sendiri merasa malu dan sungkan untuk bersuara. Banyak perempuan yang merasa pengalaman dirinya tidak valid hanya karena lingkungan mereka tak bisa memahami apa yang mereka rasakan. Bisa jadi dengan mengutarakan apa yang kita rasakan di antara teman teman perempuan, kita bisa memahami lebih jauh lagi apa yang kita alami bahwa ada keterkaitan antara apa yang terjadi di dunia ini dengan kekerasan yang terjadi pada perempuan. Oleh karena itu penting untuk perempuan bergabung dengan sesama perempuan membahas keresahan mereka.

Ketika perempuan berkumpul dan membentuk kolektif maka perempuan akan membahas pengalaman hidupya. Disitu perempuan akan mengkaji dan mencari akar permasalahan yang ada dan menemukan kekuatan serta membangun kesadaran kritisnya. Dari kesadaran kritis ini, terbentuklah dorongan untuk melakukan sesuatu untuk melakukan perubahan. Disinilah perempuan mulai berdaya untuk membangun agensinya.

Proses untuk mulai terjun menyuarakan keresahannya bukanlah jalan yang pendek bahkan seringkali menemukan banyak benturan. Benturan ini datang dari lingkungan luar seperti masyarakat dan keluarga bahkan dari dirinya sendiri. Adanya hambatan psikologis yang membuat perempuan takut untuk berbicara membuat perempuan mengurungkan dirinya sendiri, ditambah dengan keluarganya yang mungkin masih menginternalisasi nilai-nilai konservatif.

Fakta bahwa setiap perempuan adalah pekerja, baik pekerja yang pergi ke kantor, ke pabrik, menjaga warung hingga membersihkan rumah orang lain, yang dilakukan oleh perempuan adalah bekerja. Seringkali fakta ini luput dari kesadaran kita, bahwa perempuan juga bekerja di segala sektor dan membuat dunia ini berjalan. Maka tak heran jika protes-protes perempuan seringkali disebut dengan Women’s Strike atau Mogok Perempuan. Karena tanpa perempuan yang mengasuh anak, membersihkan rumah hingga bekerja di pabrik maka dunia ini tidak akan berjalan. Oleh karena itu perempuan sebagai pekerja juga harus berani membangun agensi dan berkolektif dengan sesama perempuan untuk membahas nasibnya sebagai pekerja.

Membangun kolektif perempuan adalah cikal bakal untuk menyuarakan keresahan yang selama ini perempuan hadapi. Tanpa adanya perjuangan kolektif, maka pencapaian-pencapaian status perempuan hari ini tidak akan tercapai. Oleh karena itu kita harus terus menerus memaknai aksi hari perempuan dengan melihat lebih ke dalam diri dan melihat ke luar dan kepada perempuan di sekitar kita bahka perempuan yang hidupnya jauh dari kita seperti perempuan buruh pabrik hingga perempuan masyarakat ada.

Sesungguhnya apa sih yang membuat kita resah dengan kondisi perempuan hari ini? Dan apa yang membuat perempuan rentan mendapati kekerasan yang bertubi-tubi?

Untuk mendapatkan jawaban ini memang tidak akan tercapai dalam semalam, begitu pula dengan perubahan status kehidupan perempuan. Aksi perempuan tidak boleh dan tidak bisa berhenti di hari perempuan internasional saja. Namun ia harus terus menerus bergerak dan berproses dalam diri bersamaan dengan proses membangun agensi antar sesama perempuan.

Fira Bas

Seorang feminis Jawa yang sesekali melakoni sebagai dokter gigi serta melawan segala ketidakmungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan, dan semangat hidup.

Comments

wave
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Press ESC to close