Judul buku : Studi Pengalaman KDRT Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus
Tim Penulis : Karolina L Dalimunte, Vivi Widyawati, Rima Astuti, Ajeng Pangesti
Penerbit : Perempuan Mahardhika
Halaman : 108 halaman
Tahun terbit : 2021
Buku ini merupakan laporan penelitian tentang pengalaman Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami buruh perempuan. Penelitian yang diinisiasi oleh Perempuan Mahardhika ini, berhasil membongkar dikotomi ruang kekerasan terhadap perempuan yang seolah terpisah, ternyata memiliki hubungan yang saling menguatkan. Adalah kekerasan yang terjadi di ruang privat (rumah tangga) dan kekerasan yang terjadi di tempat kerja (pabrik).
Rumah tangga dan pabrik merupakan dua ruang yang sering tidak menguntungkan perempuan. Hal ini bukan hanya muncul karena konstruksi gender yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dan rentan terhadap kekerasan, tapi juga direproduksi dan dimanfaatkan oleh perusahaan untuk kepentingan produksi.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena KDRT yang terus meningkat di kalangan buruh perempuan. Empat penulis buku ini mengawali studinya dari temuan Komnas Perempuan pada 2019, bahwa kekerasan terhadap perempuan di ranah personal secara konsisten menempati angka tertinggi dalam lima tahun terakhir.
Temuan lainnya dari Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (PHPN) yang dilakukan BPS pada 2016, bahwa sebagian perempuan korban KDRT adalah mereka yang berpendidikan, mandiri secara ekonomi dan tinggal di perkotaan. Meskipun jumlah atau presentase berbeda, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) juga memiliki kesimpulan yang serupa. Bahwa, korban kekerasan bukan hanya perempuan, pasangan, atau ibu rumah tangga, tapi juga sebagai buruh.
Temuan di atas mengilhami beberapa pertanyaan kunci penelitian ini. Bagaimana KDRT memberi dampak pada buruh perempuan di tempat kerjanya? Apa saja cakupan dari dampak tersebut? Dan apa saja kebutuhan bagi buruh perempuan korban KDRT?
Dengan menggunakan metode wawancara semi terstruktur, penelitian ini mewawancarai 28 buruh perempuan korban KDRT yang tersebar di beberapa kota industri; Jakarta, Tangerang, Serang, dan Semarang.
Buku ini membatasi studinya pada buruh perempuan korban KDRT yang bekerja pada industri tekstil, sandang dan kerja rumahan. Secara detail penjelasan tentang kedua industri ini dibahas pada bab 2. Dengan maksud untuk mempermudah pembaca memahami konteks dan situasi tempat kerja buruh perempuan. Bagaimana struktur dan alur produksi di pabrik, kondisi kerja buruh seperti upah, status kerja, jam kerja dan hak buruh lainnya, serta apa saja praktik-praktik kekerasan dan pelecehan seksual yang sering dialami buruh perempuan di pabrik.
Proses produksi hingga kondisi kerja antara industri tekstil dan sandang tidak begitu mencolok perbedaannya. Di ruang pabrik, meraka sama-sama dihadapkan pada status kerja kontrak, jam kerja panjang, target tinggi hingga lembur dan upah murah. Sedangkan kondisi kerja buruh rumahan, semua proses produksi di rumah para buruh. Pekerjaan mereka dianggap fleksibel karena tak ada aturan jam kerja sebagaimana pabrik. Namun, narasi tentang mengatur sendiri pekerjaan mereka di rumah justeru malah merampas kualitas hidup buruh dan keluarganya. Selain itu, buruh rumahan tidak memiliki kepastian akan upah, tidak terlindungi dan terdomestifikasi.
Penelitian yang dilakukan sejak awal September hingga Desember 2019 ini, menemukan banyak informasi penting yang menunjukkan pengalaman KDRT buruh perempuan sangat dipengaruhi oleh kondisi kerja buruk di tempat kerja, begitupun sebaliknya.
Beberapa temuan penting dari buku ini diantaranya;
Pertama: persepsi tentang perempuan ketika menikah adalah pelayan suami mulai terbentuk sedari kecil di keluarga dan masyarakat. Persepsi semacam ini membuat perempuan tidak bisa lepas dari jerat KDRT. Pengalaman kekerasan yang panjang dan intens berujung pada kejadian kekerasan diterima sebagai bentuk penghukuman karena dianggap tidak melayani suami dengan baik.
Tidak adanya pertolongan dari lingkungan sekitar terhadap korban menandakan KDRT masih dianggap sebagai persoalan personal. Bahkan, perempuan masih dianggap sebagai korban yang bersalah sehingga tak perlu ditolong. Hal ini mencerminkan seksisme dan patriarki yang mengakar di masyarakat.
Pembagian kerja tradisional bahwa suami pencari nafkah dan istri mengasuh anak yang masih dianut dalam masyarakat patriarki ini, faktanya malah memberatkan para buruh perempuan. tidak jarang buruh perempuan menjadi tulang punggung keluarga bahkan menanggung beban tambahan dari luar keluarga inti. Beban ganda kerap dialami para buruh perempuan, di mana mereka harus bekerja di luar dan sekaligus pekerjaan domestik.
Sebagian besar suami responden buruh perempuan tidak bekerja atau bekerja tidak tetap, namun tetap melepaskan tanggung jawab pada pekerjaan domestik. Beban ganda ini kemudian menjadi pemicu ketegangan dan pertengkaran yang berakhir pada KDRT di dalam rumah.
Studi ini juga menemukan sekurang-kurangnya enam bentuk KDRT yang dialami buruh perempuan. Dari penganiayaan dan penyiksaan secara fisik, psikologis, lisan, seksual, penelantaran ekonomi, hingga menerapkan kuasa dan kendali dengan memantau, mengekang, mengancam dan mengucilkan korban.
Kedua: berbagai pengalaman personal sejak kecil hingga buruh perempuan bekerja menyelinap ke lingkungan dan situasi kerja. Sebaliknya, segala hal yang dialami buruh perempuan di tempat kerja terbawa dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini ditemukan pada cerita beberapa narasumber; penganiayaan Lazah, oleh suaminya di pabrik, begitupun Loren yang mengalami kekerasan verbal dan simbolik oleh suaminya di pabrik. Di tempat kerja pula Pratiwi dan Tata dipantau dikuntit oleh mantan suaminya. Tindakan-tindakan ini membuat buruh perempuan merasa tertekan dan terkadang menimbulkan pertengkaran dengan rekan kerja dan atasan di ruang kerja.
Rumah tangga dan pabrik bercampur dan bertukar. Longgarnya pengamanan, dan rendahnya perlindungan buruh oleh pihak perusahaan memungkinkan pelaku dengan mudah memasuki pabrik dan melakukan kekerasan dan pelecehan di tempat kerja. Bahkan untuk menghindari tanggung jawabnya, pihak perusahaan secara sengaja menetapkan batas antara ruang kerja dan rumah. Perusahaan tidak memperdulikan semua persoalan rumah tangga buruh dan hanya menekankan pentingnya pencapaian target produksi semata.
Sebagaimana kerja lembur. Perusahaan secara sepihak menetapkan jam lembur dan tak memperhitungkan dampak buruk dari kerja panjang tersebut akan memicu atau memperuncing pertengkaran dalam rumah tangga buruh. Perusahaan dengan sengaja ‘memainkan’ batas-batas antara ruang kerja dan keluarga demi menekan ongkos produksi, mencapai target dan keuntungan dibandingkan dengan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan buruh.
Tak cukup di situ, perusahaan juga memperluas wilayah produksinya dengan melempar sebagian pekerjaan ke buruh rumahan. Pemilik modal menembus batas ruang keluarga dan tempat kerja agar menekan ongkos produksi dan terbebas dari tanggung jawab kesehatan buruh atau pertengkaran keluarga akibatkan oleh sistem perburuhan yang merusak keluarga.
Semua konsekuensi fisik, ekonomi, psikis, bentuk yang paling suram yaitu KDRT. Semua itu dibebankan pada buruh perempuan yang dipaksa beradaptasi dengan sistem kerja yang tidak adil. Industrialisasi dan sistem kerja yang tidak adil, eksploitatif dan menindas ini terjadi karena narasi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang dipromosikan oleh pengurus negara.
Ketiga: tindakan KDRT tidak lepas dari langgengnya ketimpangan relasi dan budaya patriarki yang terpatri sejak lama dalam benak masyarakat. Perempuan kerap ditempatkan pada posisi rendah sehingga terdiskriminasi dan tercabut hak asasinya untuk hidup aman dan adil. Buruh perempuan dipaksa terus menerus menjalankan sistem yang tak adil atas perannya. Ketimpangan peran ini membuat perempuan sangat rentan terhadap kekerasan. Dipaksa menerima keadaan dengan mengikuti norma sosial untuk menjaga keharmonisan dan keutuhan keluarga atas penderitaan dan tekanan emosional.
Pelabelan maskulinitas dan feminim juga mengambil peran dalam terjadinya KDRT. Laki-laki dilekatkan dengan ketangguhan yang berarti keras dan kuat sehingga perempuan dengan lemah lembutnya tidak layak menantang atau dianggap melawan laki-laki. Ini juga terlihat dari KDRT secara fisik dan psikis banyak terjadi pada saat perempuan tinggal bersama orang tua laki-laki (patrilokal) dibandingkan ketika tinggal bersama orang tuanya sendiri (Matrilokal). Sebagaimana penelitian ini membagi tiga cara bermukim buruh perempuan berkaitan dengan pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan kecenderungan KDRT berlangsung (hal.66). Ketimpangan pembagian peran ini menjadi salah satu pintu masuk terjadinya KDRT.
Ketimpangan peran itu menyebabkan beban ganda dari pengasuhan anak dan pekerjaan rumah serta pembiayaan hidup yang dilimpahkan kepada istri. Suami kerap lepas tanggung jawab yang kemudian menambah tekanan psikis dan fisik terhadap istri.
Kuasa atas istri pun kemudian menimbulkan perilaku semena-mena terhadap istri yang berujung pada KDRT. Berbagai peristiwa KDRT yang dialami mereka menciptakan perampasan atas kebebasan dan harga diri mereka. Hal tersebut membuat frustasi yang kemudian terbawa ke tempat kerja.
Keempat: peristiwa KDRT masih dianggap ranah personal. Tidak adanya aturan untuk pencegahan terjadinya KDRT dari lapisan terdekat yaitu keluarga dan tetangga menjadi pembiaran kekerasan, meskipun terjadi di ranah publik. Minimnya perspektif gender pun menjadi faktor tambahan yang melanggengkan KDRT. Seperti salah satu responden dari penelitian ini yang mengalami KDRT dan melaporkan ke kepolisian namun tidak mendapatkan keadilan. Ini menunjukkan aparat penegak hukum tidak memiliki perspektif gender.
Kelima: tertindasnya buruh perempuan secara terus menerus turut membangun kesadaran pada beberapa responden. Penguatan tersebut diperoleh dengan tergabungnya dalam jejaringan sosial seperti organisasi atau serikat buruh yang menjadi wadah untuk mengekspresikan diri dari tekanan yang dialami, baik di rumah maupun di tempat kerja.
Perjuangan ini merupakan sebuah refleksi atas segala kekerasan yang diperoleh sebagai bentuk pembelaan terhadap teman lainnya seperti yang dilakukan oleh Desi. Dengan berjejaring buruh perempuan saling membangun dukungan dan menjadi tempat katarsis bagi persoalan yang mereka hadapi. Kemampuan daya juang buruh perempuan inipun muncul dalam dua karakter yaitu kritikal dan lenting, sedangkan yang dua lainnya berada pada karakter terpaku dan menormalisasi (hal.98)
Budaya patriarki yang menguatkan ketimpangan relasi kuasa menciptakan banyak sekat pada masyarakat untuk menyamakan persepsi. Semua pihak yang sepatutnya bertanggung jawab atas pemutusan kekerasan terhadap perempuan pun masih berdiri pada tempatnya masing-masing. KDRT tidak dijadikan kepentingan bersama sehingga batas-batas pembagian ruang personal dan publik terus digaungkan seperti di perusahaan yang lebih mementingkan produktifitas dan keuntungan kapitalis di atas penindasan dan eksploitasi hidup buruh.
Terakhir, buku ini menyarankan agar terus mengembangkan mekanisme pencegahan dan penanganan KDRT dari sistem terkecil yaitu keluarga dan lingkungan sekitar RT/RW, hingga organisasi atau serikat, perusahaan hingga pemerintahan. Upaya memutuskan mata rantai KDRT dan budaya patriarki bukan tidak mungkin, namun masih membutuhkan usaha yang keras dan berkelanjutan.
Hubungan sebab akibat dari persoalan rumah dan pabrik perlu dikaji secara terus menerus dalam rangka menemukan formulasi yang tepat untuk mencegah dan memutus rantai kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana yang digaungkan dalam Cedaw dan konvensi KILO 190. Buruh perempuan layak untuk mendapatkan hidup aman dan adil baik di dalam rumah maupun di tempat kerja.
Unduh selengkapnya di: