Maraknya pemberitaan media massa yang bias gender mendorong Narasi Perempuan bekerja sama dengan Perempuan Mahardhika mengadakan workshop dengan tema “Merebut Kesetaraan dari Dominasi Makulinitas di Dunia Pers” pada Sabtu, 26 September 2020. Kegiatan ini mendapat dukungan dari Korsorsium We Lead dan Global Affairs Canada (GAC). Workshop yang berlangsung selama kurang lebih 2 jam 30 menit ini menghadirkan Feby Indirani, seorang jurnalis, penulis, feminis muslim dan founder relaxitsjustreligion dan kalyanakata. Diikuti oleh peserta berlatar belakang anggota pers mahasiswa dan penulis dari pulau Kalimantan.
Bias gender yang terjadi di media dapat dilihat dari penggunaan diksi seperti penambahan embel-embel kata “cantik” ketika memberitakan perempuan atau menggunakan kata hubung seperti “meskipun”, “walaupun” dan lainnya. Sebagai contoh judul berita “6 Atlet Cantik ini akan Berlaga di Asian Games 2018, Bikin Susah Kedip” yang dikeluarkan oleh brilio.net atau kutipan berita dari abc.net.au, “sejumlah perempuan asal Indonesia telah membuktikan diri, mampu bersaing di bidang-bidang yang biasanya didominasi pria.” Contoh lain dari pemberitaan bias gender pun bisa terlihat dalam pemberitaan kasus perkosaan yang diksinya dihaluskan dengan menggunakan tanda kutip, seperti ‘disentuh’, ‘diterkam’, ‘dirudapaksa’ dan lain sebagainya. Ini diperparah dengan pemberian alasan pada pelaku seperti mabuk
Pemberitaan yang bias gender seperti itu memang bisa di call out seperti dengan menggunakan tagar #WTFMedia dan tak jarang teguran terbuka ini efektif untuk membuat media tersebut menurunkan pemberitannya. Namun, Feby menilai bahwa yang lebih penting dari call out adalah memberikan pendidikan publik. Pendidikan publik ini dapat dimulai dengan kemampuan untuk memetakan media dengan melihat pada beberapa aspek seperti konten, narasumber, komposisi awak media dan pengambilan keputusan. Semuanya saling berhubungan untuk meciptakan suatu pemberitaan.
Pemberitaan yang telah terbit biasanya sudah melewati proses editing oleh editor, sehingga bisa jadi reporter atau wartawannya menulis dengan baik tetapi diedit oleh orang lain menjadi bias gender. Bisa jadi, komposisi antara awak media laki-laki dan perempuan tidak seimbang, lebih banyak laki-laki misalnya akan menimbulkan bias. “Ketika seseorang tidak mengalami pengalaman perempuan, hal-hal itu kerap luput. Bukan secara sengaja, namun manusiawi jika tidak pernah mengalami maka luput,” jelas Feby.
Aspek lainnya mengenai pemilihan narasumber juga perlu disoroti, banyak media yang cenderung memilih narasumber laki-laki, kecuali isu yang diangkat atau diberitakan adalah spesifik mengenai isu perempuan. Riset PDAT pada tahun 2018 juga mengungkapkan bahwa hanya 11% perempuan yang menjadi narasumber media Indonesia, sisanya adalah laki-laki. Ada beberapa alasan mengapa sedikit sekali perempuan yang dijadikan narasumber oleh media. “Karena kita (wartawan) itu kepepet sehingga siapa saja yang duluan nyahut dijadikan narasumber dan biasanya ini adalah laki-laki. Kemudian, ada anggpan bahwa pengetahuan laki-laki dianggap universal dan mewakili pandangan umum,” terang Feby.
Menghadapi bias gender dalam media yang disebabkan beberapa faktor ada beberapa strategi yang ditawarkan oleh Feby. Pertama, harus sering-sering melakukan diskusi, berjejaring dan mentoring antara jurnalis senior dan junior. Perlu juga membangun daftar referensi buku yang harus dibaca berkaitan dengan gender agar tidak bias dalam menuliskan berita.
Kedua, perlu adanya database perempuan yang dapat dijadikan rujukan narasumber sehingga narasumber yang dirujuk bukan hanya laki-laki saja. Ketiga, dalam proses pemilihan berita, angle penulisan saat rapat redaksi, coba negosiasi untuk menemukan common ground untuk mengangkat berita yang tidak bias. Terakhir, harus berani melatih diri untuk mengungkapkan pendapat.
Hal terakhir tidak mudah, hanya dengan berlatihlah perempuan bisa mengemukakan pendapatnya karena berbagai hambatan yang dihadapi oleh perempuan yang berani untuk speak out. Hambatan ini datang dalam bentuk pelabelan SJW atau feminazi misalnya yang digunakan untuk membungkam suara perempuan. Belum lagi resistensi terhadap isu-isu feminisme atau kesetaraan, interpretasi ajaran agama yang bias gender dan pelanggengan stereotip dan perlawanan dari dalam diri perempuan sendiri.